Oleh: I Gde Sudibya
Upaya penanggulangan pemberian respons pandemi Covid-19 di Bali, memasuki babak baru, dengan terbitnya kebijakan pemerintah daerah Bali, tentang  dimulainya Era Kenormalan Baru.
Era Kenormalan Baru, era dimulainya pelonggaran aktivitas ekonomi masyarakat, dengan jadwal sebagai berikut : 9 Juli, dibukanya fasilitas usaha wisata untuk masyarakat lokal. 31 Juli dibuka untuk wisatawan Nusantara. 11 September, rencananya, pembukaan fasilitas usaha wisata bagi wisatawan manca negara, kalau trend yang berkembang memungkinkan untuk itu.
Menyimak kondisi di lapangan dan juga beberapa pemberitaan, era ini disambut antusias oleh pelaku ekonomi pada umumnya dan juga masyarakat, karena sejumlah faktor: tuntutan kehidupan untuk melakukan aktivitas ekonomi, kejenuhan terlalu lama tinggal di rumah, yang berdampak tidak saja dalam pengertian ekonomi tetapi juga dalam pengertian psikis-psikologis.
Penurunan aktivitas ekonomi akibat pandemi, menurut release BI perwakilan Denpasar, telah mengakibatkan pertumbuhan ekonomi negatif untuk Bali 1,15 % ,  untuk triwulan pertama, untuk triwulan kedua pertumbuhan negatifnya 6 %, Radar Bali (10/7).
Sedangkan pertumbuhan ekonomi secara nasional  pada triwulan pertama, masih positif pada pusaran 2,9 %. Data stastik pertumbuhan ekonomi triwulan pertama, memberikan indikasi sementara, dampak ekonomi akibat Covid-19 di Bali lebih keras dibandingkan dengan rata-rata nasional.
Risiko ancaman pandemi
Era kenormalan baru yang dimulai tanggal 9 Juli, pada saat curve pandemi secara kumulatif terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang dikeluarkan Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 Provinsi Bali, tanggal 7 Juli sampai pukul 18.00 wita. diperoleh info bahwa curve pandemi kumulatif terus mengalami peningkatan, dan sejak tanggal 17 Juni, trend curve meningkat lebih tinggi.
Berdasarkan data harian bulan Juni, rata-rata kasus per hari untuk 10 hari Pertama: 17,5 kasus, Kedua: 37,3 kasus, Ketiga: 48 kasus. Penambahan kasus dari 10 hari pertama ke ketiga: 174 %. Persentase kenaikan kasus yang tinggi.
Sedangkan kasus positif per hari dari tanggal 1 – 7 Juli: 62, 15, 38, 24, 7, 60, curve pandemi harian fluktuatif, tetapi tetap pada posisi trend yang tinggi.
Rasio atau prosentase kasus positif Bali terhadap data nasional 1 Mei 2020: 2,2 %, sedangkan  untuk 10 Juli 2020 naik menjadi: 2,9 %, yang berarti pertumbuhan kasus di Bali selama 1 Mei 2020 – 10 Juli 2020 relatif lebih tinggi dari pertumbuhan secara nasional.
Berdasarkan data di atas, risiko pandemi di Bali dengan trend terus meningkat, sehingga kebijakan New Normal, tanpa protokol kesehatan yang ketat dan berdisiplin, bisa membuat risiko pandemi terus menaik, dengan seluruh implikasi yang menyertainya.
Tantangan di Era New Normal
Ada tantangan ” kembar ” yang dihadapi Bali di Era New Normal. Pertama, pengendalian pandemi pada tingkatnya yang minimal, sebagai bagian strategi untuk memenangkan ” perang ” melawan pandemi, dan tidak menjadi ” batu penghalang ”  bagi upaya pemulihan ekonomi.
Kedua, target, sasaran ekonomi dan non ekonomi seperti kegiatan pendidikan dapat tercapai, sesuai dengan program, jadwal dan time table nya.
Tantangan pada butir pertama menyebut beberapa diantaranya adalah Program penanggulangan pandemi  yang lebih fokus, dengan sense of crisis yang tinggi. Tidak terjebak ke politisasi mitigasi pandemi, misalnya: alokasi anggaran kurang fokus ke upaya penanggulan, tetapi bias ke pertimbangan politis, yang mengorbankan kebijakan teknokratis pembasmian pandemi.
Tantangan pada butir kedua, upaya pemulihan kembali ekonomi, menyebut beberapa diantaranya dari sisi produksi, supply/penawaran  barang dan jasa, di samping aspek teknis produksi yang sudah dikuasai oleh para pelaku ekonomi, ada kepastian dana talangan bagi seluruh pengusaha terlebih-lebih UMKM tersedia tepat waktu, sesuai kebutuhan pemulihan, sebagai realisasi dari Perpu No.1/2020 dan Perpres No.72/2020.
Meminjam ucapan keras dari Presiden Jokowi, jangan terlambat memberikan bantuan dana talangan,  kalau usaha mereka bangkrut lebih dulu, maka bantuan menjadi sia-sia.
Kemudian dari sisi pemasaran jasa industri pariwisata, pandemi telah melahirkan paradigma baru pariwisata, pentingnya komponen kesehatan dan persepsinya dalam paket produk wisata, gelembung pariwisata, kesempatan pariwisata yang berbasis G to G dengan mewajibkan para pelaku di industri ini dan juga pengambil kebijakan, mengasah ketrampilan dan kepekaan adaptasinya merespons perubahan.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, ekonom, pengamat: ekonomi dan kebijakan publik.