Seminar Pengelolaan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Energi Biomassa secara daring pada (23-03-2021).

Jakarta (Metrobali.com)-

Mengawal pengelolaan kawasan hutan untuk pengembangan potensi energi biomassa di Indonesia, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan menyelenggarakan Seminar Pengelolaan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Energi Biomassa secara daring pada (23-03-2021). Webinar ini diselenggarakan sebagai komitmen pemerintah untuk meningkatkan nilai ekspor produk kehutanan sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor energi. Kemenko Marves menggandeng Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Perhutani dan Kementerian Perdagangan dalam seminar ini. Tema yang diangkat meliputi pengelolaan hutan produksi lestari (KLHK), bedah potensi ekspor wood pellet dan woodchips (Kemendag) dan Pengembangan Sistem Produksi dan Penyediaan Bahan Baku Industri Biomassa (Perhutani). Seminar ini juga ditayangkan langsung pada akun Youtube Kemenkomarves.

“Kuatnya komitmen Kemenko Marves dalam mengawal isu ini dapat dilihat dari bersinerginya dua deputi, yaitu Deputi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan bersama Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi untuk membahas isu ini,” buka Deputi PLK Nani Hendiarti. Menurutnya, setelah KLHK mengalokasikan lahan seluas 11 juta Ha, sekarang diperlukan usaha untuk menjawab target bauran energi sebesar 23 persen yang berasal dari energi baru terbarukan (EBT) dalam RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) dan menjawab target yang telah ditetapkan dalam penurunan emisi GRK sebesar 29 persen pada tahun 2030.

“Kita tahu bahwa biomassa ini begitu menjanjikan. Biomassa bisa berasal dari tegakan pohon energi atau dari limbah industri kayu yang diolah,” tambah Deputi Nani. Menjawab isu bahwa industri biomass wood pellet memicu deforestasi, Deputi Nani menegaskan bahwa pengelolaan Kawasan hutan untuk pengembangan energi biomassa bukanlah deforestasi. “Biomassa yang berkualitas, berasal dari tanaman yang memiliki kalor tinggi, limbah industri kayu yang diolah hingga dapat menghasilkan kalor sekitar 4200 kkal/kg”. Biomass memang memiliki kalor hampir menyamai batu bara tapi emisi CO2 yang dihasilkan sepuluh kali lebih rendah. “Pemanfaatan biomass pada co-firing pembangkit listrik, tentu mendukung tujuan clean energy dan renewable energy.” Deputi Nani juga mengatakan, selain untuk kebutuhan co-firing pada pembangkit energi dalam negeri, biomass wood pellet dan wood chip juga memiliki peluang ekspor yang besar.“Wood pellet dapat dimanfaatkan untuk industri sampai jadi bahan bakar penghangat di negara-negara subtropis. Potensi ekspor begitu tinggi dan masih bisa terus dioptimalkan,” tambahnya.

Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo memberikan pidato kunci dalam seminar. Dalam paparannya, Indroyono menegaskan bahwa hutan tanaman energi dikatakan terbarukan karena dilakukan penanaman, pemeliharaan, penebangan (pemanenan), penanaman kembali dan seterusnya. Tanaman energi seperti Gamal dan Kaliandra merupakan fast growing species yang tumbuh cepat di lahan yang kurang subur. Hutan tanaman energi telah tersedia di7 propinsi dengan total 123,917 ha. “Pohon Kaliandra dibuat woodchips atau wood pellet bisa untuk pembangkit listrik, bisa pula untuk diekspor” Tegasnya.

Menggandeng Perusahaan Batu bara

Terkait kebutuhan dalam negeri, Indroyono menyampaikan bahwa PLN memerlukan 8-12 juta ton/tahun biomassa untuk substitusi batu bara. Kebutuhan yang tinggi ini menimbulkan berbagai pertanyaan seperti apakah industri kayu dalam negeri dapat menyanggupinya, apakah harga yang ada cukup kompetitif. “Yang penting dan harus clear..harganya harus cocok,” tegasnya.

Indroyono juga mengingatkan peserta webinar bahwa masalah EBT dan komitmen mengurangi emisi GRK adalah amanat undang-undang. “Undang-undang Energi, Ratifikasi Paris Agreement, Undang-Undang Cipta Kerja. Jadi ini bukan sekedar target perdagangan.” Untuk mendorong co-firing, Indroyono mengusulkan untuk menggandeng perusahaan batu bara, “Komposisinya diatur agar perusahaan batu bara wajib menyuplai sedikitnya 5% dari biomass, perlu dibuat kebijakan” Indroyono menekankan pentingnya penerbitan Peraturan Presiden agar seluruh kegiatan yang ada berjalan dengan baik dan memiliki payung hukum yang kuat. “Pemanfaatan Biomassa tidak hanya mejadi kepentingan satu pihak saja. Ada kolaborasi lima Kementerian di dalamnya, sehingga diperlukan komunikasi serta kolaborasi yang maksimal.” Indroyono memaparkan KLHK adalah focal point terkait ratifikasi Paris Agreement, KemESDM pada UU Energi, Kemenko Marves, Kemenristek-Brin dan BPPT terkait inovasi PLTBm . Indroyono menyarankan agar BPPT mengadakan riset untuk propotype pembangkit listrik biomassa (PLBM) kapasitas 9 Mega watt.

Menutup seminar, Asisten Deputi Farianna Prabandari, menegaskan pihaknya siap mengawal pengembangan energi biomassa dengan program pendorong seperti “Forest for Energy” (FfE). Perlu didorong pula pembentukan Hutan Tanaman Energi (Energy Plantation Forest/EPF) dengan dukungan regulasi terkait. Selain itu, perlu juga dibuat satu peta hutan biomassa (One Map – Energy Forests), agar seluruh program pengembangan biomassa energi berjalan dengan maksimal. Dukungan riset dari KLHK, Perhutani diperlukan dalam keberlanjutan stock biomassa. Litbang Kemendag berperan dalam riset terkait harga.

Biro Komunikasi
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi