Denpasar, (Metrobali.com)-
Kalangan elite di ekskutif dan legislatif di tingkat provinsi dan kodya di Bali di dalam pengambil keputusan dan kebijaksanaan yakni perlu melakukan ambreg parama artha ( fokus pada program, dan konsisten dalam pelaksanaan ).
Hal itu dikatakan pengamat politik dan ekonomi I Gde Sudibya, Minggu (21/2) dalam menanggapi kebijakan pemerintah  di kalangan netizen.
Program yang mesti dilakukan adalah pemberian bantuan sosial dan sejenisnya ke masyarakat miskin dan rentan menjadi miskin, ( pekerja pariwisata skala usaha kecil, bisa menjadi kelompok menjadi rentan miskin ).
Selanjutnya melakukan design kebijakan untuk penyelamatan UMKM dari risiko kebangkrutan, melalui kebijakan dana talangan kredit yang diperpanjang, dengan keringanan bunga dan angsurannya.
Ia mengatakan, pemerintah semestinya melakukan koreksi kebijakan distribusi dan pengawasan harga produk pertanian: beras, kelapa, cengkeh, coklat, dan produk holtikultura, untuk meningkatkan daya beli petani, dan meningkatkan konsumsi masyarakat dan kemudian berdampak significan untuk pertumbuhan ekonomi Bali ( yang sekarang amat sangat tertekan ).
Dikatakan, penempatan dana pemerintah cq.Kementrian Keuangan di BUMN dan Bank-bank Pemda, semestinya diprioritaskan untuk penyelamatan dan memperkuat sistem keuangan mikro: LPD, Koperasi dan BPR yang selama ini terbukti menjadi tulung punggung ( back bone ) ekonomi rakyat kecil, dan juga berkontribusi nyata dalam pengembangan budaya masy. Bali ( khusus untuk kinerja LPD).
Sekadar catatan untuk LPD yakni lembaga keuangan tradisional Desa Pakraman ini, dengan total  kekayaan sekitar Rp 23,6 triliun ( sebelum pandemi ), kinerjanya di luar bayangan impian perintis- pelopornya ( beyond expetation ) yakni IB.Mantra, Dewa Gede Wedagama. Dengan modal awal Pemda Bali Rp.1 juta.
“Tokoh pergerakan ekonomi perdesaan ini menyebar di banyak desa, lascarya ngayah di awal berdirinya,” kata Sudibya.
Industri pariwisata yang bertumbuh membuat LPD Kita bertumbuh pesat, pekerja/perintis pemula yang umumnya otodidak, but last but not least LPD ring sawewengkon Bali besar, terutama karena adanya modal sosial ( social capital ) dari krama kepada pengurus dan juga prajuru.
Dikatakan, protes keras sebagian krama Bali di medsos bertema kain Endek, agaknya juga memberikan penggambaran dari ketidak-puasan masyarakat terhadap kebijakan  penanganan pandemi dan dampak ekonominya, yang tidak dilakukan secara maksimal. Wacana tentang Endek, oleh sebagian publik dipersepsikan dari kebijakan yang tidak fokus, nir sense of crisis dan tuna empati.
Ditambahkan, berangkat dari para politisi berpengalaman semestinya kita banyak bisa belajar, politik pada dasarnya persepsi, baru menyusul yang lain, realitas dan juga kinerja. Kalau persepsi ( publik ) ada masalah, distrust muncul, sehingga komunikasi publik yang efektif menjadi semakin sulit.
Editor : Sutiawan