Badung, (Metrobali.com) 

 

Indonesia, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menjadi tuan rumah Regional Steering Committee (RSC) program Arafura and Timor Seas Ecosystem Action Phase II (ATSEA-2). Pertemuan ini berlangsung di Bali pada 10 Desember 2024, menandai akhir program lima tahun yang dimulai sejak 2019.

Pertemuan ini melibatkan empat negara—Australia, Indonesia, Papua Nugini, dan Timor-Leste—dan bertujuan memperkuat kerja sama dalam melestarikan ekosistem Laut Arafura dan Timor serta mendukung ekonomi biru berkelanjutan.

Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari deklarasi bersama yang ditandatangani oleh Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono, dengan perwakilan negara peserta pada 5 Desember 2024. Deklarasi tersebut menjadi landasan implementasi Arafura and Timor Seas Strategic Action Programme (ATS SAP) 2024–2033.

Dr. I Nyoman Radiarta, Kepala BPPSDM KKP, menekankan pentingnya kolaborasi untuk mengatasi tantangan lintas batas seperti penangkapan ikan ilegal, polusi, dan perubahan iklim. “Kerja sama regional memastikan tata kelola yang lebih baik demi keberlanjutan kawasan,” ujar Radiarta.

Iwan Kurniawan dari UNDP Indonesia juga menekankan perlunya mekanisme tata kelola jangka panjang melalui Regional Governance Mechanism (RGM) sebagai fondasi keberlanjutan.

Selama lima tahun implementasi, ATSEA-2 mencatat keberhasilan seperti:

Kawasan Konservasi Laut: Pembentukan Marine Protected Area (MPA) di Pulau Kolepom, Papua Selatan, seluas 350.000 hektare.
Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem: Meningkatkan stok ikan di Kepulauan Aru melalui pendekatan Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM).
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir: Pembentukan kelompok pengawas berbasis komunitas (Pokmaswas) yang efektif dalam mengurangi penangkapan ikan ilegal.
Pengelolaan Pesisir Berkelanjutan: Pelatihan pengawas perikanan dan sistem peringatan dini untuk tumpahan minyak di NTT.
Program ini juga mendukung pengembangan sistem Ocean Big Data berbasis AI sebagai langkah strategis menuju pengelolaan kelautan berbasis data.

Menurut Yayan Hikmayani, Direktur Nasional Proyek ATSEA-2, tantangan utama seperti penangkapan ikan ilegal, polusi minyak, dan pengelolaan spesies penyu membutuhkan solusi berbasis ekosistem dan kolaborasi lintas negara.

“Kita berbagi tanggung jawab untuk melindungi Laut Arafura dan Timor. Dengan dukungan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), kita memastikan manfaatnya dirasakan bersama oleh masyarakat pesisir,” jelas Yayan.

Program ATSEA-2 didanai oleh Global Environment Facility (GEF) sebesar USD 9,7 juta, dengan total pendanaan bersama mencapai USD 60,2 juta. Lebih dari 100.000 orang di wilayah pesisir telah menerima manfaat langsung, termasuk pelatihan, literasi perbankan, dan pengembangan usaha lokal seperti produksi sabun berbahan rumput laut dan garam dari mangrove.

“Pertemuan ini menjadi momentum untuk memperkuat implementasi rencana strategis dan mendirikan kelembagaan regional demi keberlanjutan kawasan. Kolaborasi erat antara negara-negara peserta diharapkan mampu melindungi sumber daya laut sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir,” pungkas Yayan dan Dr. Handoko Adi Susanto, Manajer Proyek Regional ATSEA-2.

(jurnalis : Tri Widiyanti)