Oleh: I Gde Sudibya

Pandemi Covid-19 yang datang begitu tiba-tiba, tidak ada satu akhlipun yang memprediksikan kehadirannya, merambah begitu cepat, dalam waktu kurang dari 5 bulan: 5 juta orang terpapar positif Corona dan angka kematian seputar 250 ribu orang. Banyak negara mengalami kegugupan dalam memberikan respons penanggulangan, terlebih-lebih masyarakat.

 Timbul banyak pertanyaan di masyarakat. Berapa banyak korban yang akan terpapar, berapa lama ” derita ” ini harus ditanggung dari risiko keselamatan jiwa dan kesehatan phisik serta beban berat ekonomi akibat dari turun tajamnya kegiatan ekonomi akibat dari pandemi ini?
Untuk mendekati jawaban atas pertanyaan ini, menarik untuk disimak liputan Majalah Tempo, edisi: 18 – 24/5/2020 dengan tema: Belajar dari Sejarah Wabah Nusantara.
Dalam laporannya majalah ini mengulas 3 kategori pagebluk ( sebutan untuk pandemi ) yang pernah terjadi di Bumi Nusantara selama pemerintahan Hindia Belanda.
Pagebluk yang dimaksud, Pertama Pagebluk Kolera. Berdasarkan data pemerintah Hindia Belanda, jumlah korban mulai dilaporkan tahun: 1881, 1882, 1889, 1892  1897, 1901, 1902, 1909, 1910, 1911. Dan  tahun 1910 dan 1911 sebagai: ” tahun kolera “, karena korbannya lebih dari 10 ribu orang. Bahkan pada saat itu: kota Batavia disebut sebagai: Graf der Hollanders, sebagai ” kuburan” orang Belanda, dan juga dengan sebutan: Ongezond Batavia: Batavia yang tidak sehat. Sebagai akibat dari banyaknya korban di pusat pemerintahan  Hindia Belanda ini.
Diberitakan, untuk menanggulangi wabah ini, pemerintah Hindia Belanda membentuk Hygiene Commissie, tahun 1911, dan pada tahun itu juga dr.Nijland menemukan vaksinnya, tetapi pagebluk kolera ini baru dapat duhentikan penularannya tahun 1927. Ini berarti diperlukan waktu kurang lebih 46 tahun untuk menghentikan penularan Kolera.
Kedua, Pagebluk Pes. Wabah virus yang berasal dari Tikus ini diketahui oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1911 setelah mewabah di kota Malang, dengan jumlah korban ribuan orang. Rincian  korban Pes tahun 1910 – 1939: Jawa Timur: 39 ribu orang, Jawa Tengah: 76 ribu orang, Yogyakarta: 4,355 orang dan Jawa Barat: 70 ribu orang.
Diberitakan, besarnya korban dari wabah ini, karena keterlambatan pemerintah memberikan respons terhadap dugaan awal pandemi, sehingga mengakibatkan jumlah korban banyak di kota Malang. Upaya pemerintah Hindia Belanda menanggulangi wabah ini: a. Melakukan karantina wilayah dengan bantuan militer. b. Melakukan pembakaran terhadap tikus dan juga rumah penduduk yang dianggap sebagai sarang tikus.
 c. Mengerahkan para dokter terutama dokter pribumi lulusan Sekolah Dokter Jawa ( STOVIA ), salah satu diantaranya dr.Cipto Mangun Kusumo, yang banyak melakukan protes terhadap diskriminasi yang diterima oleh kaum pribumi serta kemiskinan dan ketidakadilan yang menimpa kaumnya. d. Mendirikan Sekolah Mantri Pes, yang kemudian lulusannya populer di masyarakat sebagi Mantri Pes.
e.Memberikan bantuan tunai model BLT sekarang, hanya diberitakan jumlahnya sangat kecil. Diperkirakan pemerintah Hindia Belanda baru mampu membasmi wabah ini setelah 25 tahun.
Ketiga, Pagebluk Flu Spanyol ( 1918 – 1919 ). Jumlah korban dari wabah ini diperkirakan: 1.5 juta menurut penelitian Colin Brown, sedangkan menurut penelitian: Siddhaarth Chandra dari Michigan State  University, AS, jumlah korban: 4.26 – 4.37 juta. Diberitakan ada keterlambatan dalam pemberian respons oleh pemerintah Hindia Belanda dan sempat terjadi kekosongan hukum di awal pandemi yang membuat keterlambatan dalam penanganan.
Ekonomi Pandemi
Pendekatan ekonomi melawan pandemi Covid-19 dengan target sasaran: 1. Berkontribusi maksimal untuk pembrantasan pandemi, dengan jaminan alokasi sumber daya terbatas dapat dilakukan secara optimal. 2. Berkontribusi optimal untuk terciptanya peluang pemulihan ekonomi, karena pemulihan ekonomi ini akan berdampak positif terhadap sasaran nomer 1 di atas.
Mengambil pengalaman dari pagebluk: Kolera,  Pes dan Flu Spanyol oleh pemerintah Hindia Belanda di atas, dengan jumlah korban besar dan waktu pemulihan yang cukup panjang, diperlukan penajaman strategi pada sejumlah isu.
Pertama, Pemberian kepastian hukum dengan sanksi yang lebih tegas untuk diikutinya PSBB – memgambil pelajaran dari lock down “setengah hati” di Malang pada saat pandemi Pes berlangsung, dan juga pada waktu pandemi Flu Spanyol di awal penularannya ( sebelum influenza Ordonantie 1919 berlaku ).
Kedua,  Alokasikan sumber daya terbatas, yang target sasarannya: mengurangi jangka waktu penularan pandemi, berupa alokasi dana yang cukup untuk melakukan test massal ( rtd.dan pcl.) dengan uji petik yang terukur. Keterlambatan dalam melakukan test ini, akan memperpanjang masa transmisi dan memperluas cakupannya, yang akan berdampak kepada keterlambatan upaya pemulihan ekonomi.
Ketiga, diperlukan kecerdasan dan inovasi dari pengambil kebijakan, sesuai dengan tuntutan dan perkembangan situasi ( Desa, Kala, Patra, merujuk nilai dalam budaya Bali ),  pada berbagai isu strategis:  variabel strategis yang harus dicarikan solusinya, penentuan prioritas alokasi dana yang terbatas, perencanaan  matang tentang jadwal ” new normal ” di masing-masing wilayah.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, ekonom, pengamat: sosial ekonomi dan kecendrungan masa depan ( trend watcher ).