Ahmad Sofian

Jakarta (Metrobali.com)-

Lembaga Swadaya Masyarakat End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes (Ecpat) Indonesia menyebut terdapat sejumlah koruptor yang terbukti mengalirkan dana untuk pembayaran seks anak.

“Saya tanya sama korbannya siapa, dan si korban menunjuk orang itu yang sedang terkena kasus korupsi, dan setelah kita cek benar, hanya dia dihukum bukan karena kasus prostitusi,” kata Koordinator Nasional Ecpat Indonesia Ahmad Sofian saat konferensi pers di Jakarta, Jumat (29/8).

Sofian mengatakan lalu lintas uang terkait pembayaran jual beli seks anak tersebut menggunakan fasilitasi jasa perbankan berupa transfer uang antarrekening bang, pembayaran elektronik, seperti kartu kredit atau pembayaran “online” melalui internet.

“Publik juga sudah mengetahui dan dia sudah dihukum, transfer juga secara rutin dilakukan untuk membeli seks anak,” katanya.

Dia menyebut salah satunya, yakni pejabat publik, seperti anggota DPR dan calon walikota dan calon wakil wali kota.

Untuk itu, dia mendesak sektor perbankan dan lembaga penyedia jasa keuangan agar peduli terhadap transaksi jual beli seks anak yang menggunakan teknologi dan fasilitas jasa keuangannya.

“Sektor perbankan dan institusi keuangan perlu menyusun langkah-langkah strategis untuk menghentikan praktik jual beli seks anak itu,” katanya.

Sofian mengimbau kepada institusi perbankan untuk mengidentifikasikan berbagai transaksi keuangan yang mencurigakan dan berkoordinasi dengan aparatur hukum yang memiliki kewenangan penyidikan.

Dalam kesempatan yang sama, Penghubung Kerja Sama Pertukaran Informasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Budi Syaiful Haris mengatakan pihaknya juga telah mencurigai adanya sejumlah transaksi keuangan yang diduga melibatkan jaringan mafia pedofilia di Indonesia.

Budi mengaku sulit melacaknya karena nilai uang yang ditransferkan biasanya dalam nominal kecil.

Dia menyebut sejak Januari 2014 terdapat empat kasus pembayaran seks anak.

“Kepedulian sektor perbankan dalam mencermati aliran dana terkait transaksi jual beli seks anak menggunakan fasilitas jasa, seharusnya bisa menjadi salah satu pintu masuk bagi aparatur hukum untuk membasmi jual beli seks anak,” katanya.

Berdasarkan data Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal (Dittipideksus Bareskrim) Polri, kasus kekerasan seksual pada anak, terdapat dua kasus pada 2014.

Menurut Kanit IT dan Kejahatan Cyber Dirtipideksus Bareskrim Polri, maraknya kejatahan seksual pada anak karena kebebasan penggunaan internet dan jejaring sosial yang tidak terawasi dan terkendali.

“Seluruh aspek kehidupan tidak terlepas dan teknologi informasi, salah satunya adalah internet. Kita terlalu bebas menggunakan internet sehingga kebablasan,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Perwakilan Regional LSM Terre des Hommes Netherlands Reggie Florendo mendukung upaya kerja sama sektor perbankan dan aparat hukum dalam menghentikan praktik jual beli seks anak di Indonesia.

“Pihak perbankan dan aparatur hukum serta masyarakat sipil di Indonesia perlu menyusun strategi dan prioritas sebagai agenda bersama dalam menghapuskan praktik eksploitasi anak,” katanya. AN-MB