Denpasar, (Metrobali.com)

Tampaknya “drama” babak ke dua di MK akan segera dimulai, ada rencana sejumlah anggota DPR akan menggagas revisi UU MK.

Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, aktivis demokrasi dan pengamat ekonomi politik, Rabu 29 November 2023, menanggapi gagasan sejumlah anggota DPR merevisi UU MK.

Kompas, dalam Tajuk Rencana nya, Selasa, 28 November 2023 dengan tema BUKA DRAFT REVISI UU MK, berpendapat: MK memang sedang sakit parah, dikhawatirkan revisi terhadap UU MK ini, akan mengintervensi prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman. Bisa saja untuk tujuan politik praktis jangka pendek kekuasaan.

“Karena MK akan menjadi lembaga pemutus dalam sengketa hasil Pilpres dan Pileg. Kalau “drama”babak ke dua ini sampai terjadi, legitimasi hasil Pemilu bisa menjadi masalah besar, dan kembali proses demokrasi akan dinodai,” kata Gde Sudibya, aktivis demokrasi dan pengamat ekonomi politik.

Menurutnya, “drama” babak pertama sudah Kita saksikan bersama, tipu daya politik dinasti yang tertuang dalam keputusan MK No.90 yang kontroversial ini, terjadi “penyelundupun” hukum, “pembajakan”konstitusi, pelanggaran etika berat oleh Ketua MK Anwar Usman (sesuai keputusan MKMK).

Dikatakan, Keputusan MK ini melahirkan “luka” demokrasi: konstitusi “diplintir”, agenda reformasi dikhianati, upaya bersama merawat demokrasi ternodai.

“Akibat “drama” babak pertama ini, kepercayaan publiik (public trust) kepada Jokowi diduga turun tajam, sudah semestinya pemerintah mengambil inisiatif untuk membatalkan rencana revisi UU MK tersebut,” katanya.

Selain itu, membatalkan rencana revisi UU MK tersebut, untuk menghindarkan terjadi implikasi politik serius. Apalagi revisi tersebut untuk target jangka pendek pemenangan Pemilu, dengan menghalalkan semua cara.

“Proses Pemilu akan banyak mengalami tantangan dan tekanan, karena tamsilnya “sudah ada dusta di antara kita”, katanya.

Dikatakan, aalah guna kekuasaan semakin jelas, konsolidasi gerakan masyarakat sebagai potensi untuk lahirnya gerakan “people power” untuk membela demokrasi tampaknya belum terlalu kuat, yang tampak di permukaaan pragmatisme masyarakat yang akan menguntungkan status quo.

“Saat ini demokrasi di Indonesia betul-betul dalam ancaman. Di sini perlu gerakan politik, sehingga “public trust” amat sangat penting dalam Pemilu, tenang, adil dan bermartabat,” kata Gde Sudibya, aktivis demokrasi dan pengamat ekonomi politik. (Adi Putra).