MENGAPA usulan otsus Bali yang diperjuangkan selama 8 tahu ini mandeg di pusat, seakan-akan tidak ada gerakan dan perkembangan? Seorang jurnalis senior, Rofiqi Hasan menanyakan apa benar sumber kemacetan untuk berlanjutnya Otsus Bali masuk dalam pembahasan di DPR, konon karena landasan faktualnya tidak cukup, dimana dipertanyakan apakah otsus ini bukannya hanya wacana kelompok elit, sementara suara dibawah tidak jelas seperti apa dukungannya. Di Aceh dan Papua, sejumlah kekerasan berdarah merupakan landasan faktual yang menyebabkan pemerintah memberikan otonomi khusus, sementara di Bali, tidak ada situasi yang mengharuskan adanya otonomi khusus untuk provinsi ini. Benarkah demikian?

                Menanggapi pertanyaan itu, anggota DPD RI Wayan Sudirta menegaskan, landasan faktualnya sedang dikaji oleh Tim Ahli yang sudah diagendakan dan dianggarkan di DPD RI. Yang jelas, selama melakukan reses di masyarakat sepanjang tugasnya sebagai wakil Bali di DPD RI, dia sangat sering menerima aspirasi yang menginginkan otsus. Beberapa kali aspirasi otsus itu disampaikan dalam rapat paripurna DPD RI, selain dia perjuangkan untuk masuk daftar Prolegnas DPD RI dan DPR RI.
                ‘’Usulan otsus ini bukan keinginan saya, tetapi aspirasi masyarakat Bali, karena mereka merasakan ada kebutuhan seperti ini,’’ jelas Sudirta.
                Mantan birokrat senior Anak Agung Ngurah Parwata yang pernah bertugas di Bappeda menegaskan, sebetulnya ada sejumlah landasan faktual yang bisa dijadikan dasar untuk mengusulkan otonomi khusus. Disebutnya gagasan untuk otonomi khusus di Bali muncul sekitar tahun 2000-an di era reformasi dalam diskusi yang digagas oleh sejumlah tokoh dan budayawan Bali yang prihatin melihat otonomi daerah yang menimbulkan ‘’raja-raja kecil’’ di daerah. Salah satu yang krusial dalam diskusi tersebut, gagasan agar otonomi Bali dibawa ke provinsi, karena Bali merupakan daerah geografis yang satu provinsi dan satu pulau yang kecil. Usulan itu muncul untuk menjaga tata ruang Bali, alam Bali dan manusia Bali agar segala sesuatunya menyangkut Bali ke depan bisa dipertahankan dan menjadi lebih baik,’’ jelas Arwata.
                Prof. Made Bakta menambahkan, kalau disimak dari data-data tentang Bali yang berkembang belakangan ini, seperti kesenjangan sosial ekonomi dan pembangunan antar kabupaten dimana ada kabupaten yang sangat berkembang dan jadi kaya seperti Badung dan yang lamban seperti Karangasem dan Klungkung, kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin yang semakin besar. Kesenjangan ini merupakan benih-benih konflik yang bisa menjadi bensin, yang bila disiram api, bisa meledak sewaktu-waktu.
Konflik yang muncul bisa sangat bervariasi bentuknya, mulai dari konflik antar kabupaten, bisa antar agama atau antar suku. Yang dirugikan tentu semuanya, orang Bali maupun pendatang, karena dengan kekacauan di Bali, wisatawan berhenti datang, lapangan kerja berkurang, dolar pun tak datang, selanjutnya penduduk Bali akan kelaparan. Hal itu merupakan salah satu kondisi faktual yang krusial menjadi perhatian. Jangan sampai Bali dilanda konflik primordial seperti yang terjadi di Lampung, Sumbawa, Kalimantan, Poso dan lain-lain. Agar potensi-potensi itu tidak muncul, otonomi khusus merupakan jawaban. Karenanya, otonomi khusus untuk melindungi budaya, manusia dan tata ruang Bali, benar-benar menjadi keniscayaan.
                Tapi, karena otsus ini merupakan kerja lembaga negara, aspirasi-aspirasi yang berkembang di masyarakat akan dirumuskan oleh Tim Ahli, selanjutnya dituangkan dalam naskah akademik, sebelum akhirnya dibuatkan RUU Otsus Bali yang sifatnya obyektif, melindungi Bali ke depan, sekaligus memberi tempat yang nyaman bagi pendatang, karena Bali adalah daerah yang merupakan bagian dari NKRI. PW-MB