Foto: Anggota Komisi IV DPRD Kota Denpasar Emiliana Sri Wahjuni (kiri) saat bersama anak-anak berkebutuhan khusus atau “anak-anak istimewa.”

Denpasar (Metrobali.com)-

Perlakuan diskriminasi terhadap anak-anak berkebutuhan khusus atau lebih tepatnya disebut “anak istimewa” ternyata masih saja menjadi momok bagi anak-anak itu sendiri maupun bagi orang tuanya.

Diskriminasi ini juga masih “menghantui” dalam hal akses terhadap pendidikan. Walau sudah ada kebijakan dan dorongan pendidikan inklusi yang memungkinkan “anak-anak istimewa” ini diterima di sekolah-sekolah pada umumnya, namun kenyataannya masih “cukup pahit.”

“Saya banyak menerima keluhan dari para orang tua yang punya anak-anak berkebutuhan khusus atau anak istimewa bahwa anak-anak mereka masih kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif,” kata Anggota Komisi IV DPRD Kota Denpasar Emiliana Sri Wahjuni, Minggu (1/12/2019).

Anggota Dewan yang membidangi pendidikan, olahraga, sosial, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat ini mengungkapkan keluhan orang tua anak-anak istimewa ini dimana di sekolah–sekolah pada umumnya, anak-anak mereka ternyata masih sulit diterima.

Kepada Emiliana, para orang tua anak-anak ini mengeluh katanya anak-anak berkebutuhan khusus memang sudah ada yang diterima di sekolah negeri.

Namun anak-anak ini  ditaruhnya di perpustakaan. Kalau musim ujian mereka diliburkan takut mengganggu siswa yang  lain.

“Ini kan namanya tidak fair, tidak adil. Terkesan masih ada diskriminasi. Walau anak-anak ini berkebutuhan khusus tapi mereka punya hak yang sama untuk sekolah dan dapat pendidikan yang layak. Negara harus pikirkan ini dong,” kritik Emiliana, politisi perempuan dari PSI (Partai Solidaritas Indonesia) ini.

Sekretaris Fraksi Partai NasDem-PSI DPRD Kota Denpasar ini pun mempertanyakan bagaimana implementasi pendidikan inklusi yang mulai diterapkan Pemerintah Provinsi Bali sejak tahun 2015.

Pendidikan inklusif yang dimaksud adalah sekolah reguler yang bisa menampung anak normal maupun anak berkebutuhan khusus atau “anak istimewa.” Jadinya anak-anak ini diberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan secara bersama-sama di sekolah reguler.

Gagasan pendidikan inklusi ini juga berdasarkan  kondisi dimana saat ini di kabupaten yang ada di Bali belum ada sekolah luar biasa untuk tingkat SMA/SMK. Sekolah luar biasa hanya ada di tingkat SD dan SMP. Itupun jumlah sangat minim dan sebagian juga terkesan tidak layak.

“Lewat pendidikan inklusi sebenarnya tidak ada lagi alasan anak berkebutuhan khusus yang telah memasuki usia sekolah tidak diterima di sekolah reguler. Jangan lagi ada dikriminasi. Pendidikan inklusi ini jangan setengah hati,” kritik Emiliana.

Ia pun berharap para guru juga bisa lebih bersimpati dan berempati kepada para “anak-anak istimewa” ini. Guru harus mampu menjadi sahabat siswa membantu mengembangkan bakat dan kecerdasan “anak-anak istimewa” ini.

“Kami harapkan guru diseleksi yang benar-benar punya hati, agar sekolah punya guru yang baik,” kata Emiliana yang juga ibu dari dua orang putri ini.

Dikatakannya, bakat-bakat terpendam dan kecerdasan  “anak-anak istimewa” ini harus terus digali. Mereka harus diberikan semangat, dukungan penuh agar rasa percaya dirinya bangkit.

Menurut Emiliana “anak-anak istimewa” ini sebenarnya juga punya potensi terhadap sembilan jenis kecerdasan. Yakni kecerdasan visual dan spasial, kecerdasan naturalis, kecerdasan musikal, kecerdasan logika matematika, kecerdasan eksistensial, kecerdasan interpersonal, kecerdasan kinestetik jasmani, kecerdasan linguistik dan kecerdasan interpersonal.

“Tapi bagi orang tua anak istimewa tidaklah mudah. Mereka kadang harus mempunyai pola pikir di atas rata-rata. Hati yang istimewa. Iman dan doa yang dipanjatkan harus double porsi. Karena anak mereka istimewa, pasti Tuhan siapkan juga orang tua yang istimewa,” pungkas Emiliana.

Ia memang konsisten menunjukkan empati dan memberikan perhatian besar kepada orang tua dari anak-anak yang berkebutuhan khusus atau anak istimewa.

Misalnya sebelumnya ia bekerjasama dengan progam Womenwill Gapura Digital (program pelatihan digital dari Google untuk kalangan perempuan) memberikan pelatihan digital marketing atau pemasaran digital dalam menjalankan bisnis online.

“Kami ingin orang tua anak istimewa ini bisa mandiri. Walau punya anak istimewa, merka sambil jaga anak tetap bisa cari uang. Misalnya bisa jugalan dari rumah secara online,” ungkap Emiliana.

Ia juga akan mengusulkan ke DPRD Kota Denpasar agar ada Ranperda Inisiatif mengenai Anak Istimewa ini. Hal ini penting untuk memberikan perlindungan kepada para anak-anak ini. (wid)