Disambut Antusias, Kelenteng Tertua di Bali Caow Eng Bio Gelar Sembahyang Rebutan, Persembahan untuk Roh Gentayangan dari Neraka
Foto: Suasana ritual Sembahyang Rebutan pada Selasa malam 30 Agustus 2023 di Kelenteng Caow Eng Bio yang berlokasi di Tanjung Benoa, Badung.
Badung (Metrobali.com)-
Kelenteng Caow Eng Bio yang berlokasi di Tanjung Benoa, Badung yang merupakan kelenteng tertua di Bali menggelar ritual Sembahyang Rebutan pada Rabu malam 30 Agustus. Ritual ini memperebutkan persembahan dari pengurus dan umat Caow Eng Bio berupa sembako seperti beras lebih dari 1 ton, mie instan, minyak goreng, gula, kue-kue hingga buah-buahan dan lainnya.
Ritual Rebutan ini merupakan ritual persembahan untuk para roh gentayangan yang dipercaya setahun sekali dibebaskan dari neraka untuk mencari makanan di bumi. Ritual ini dimulai dengan persembahyangan ke laut di sore harinya, persembahyangan di Kelenteng Caow Eng Bio, kemudian dilanjutkan prosesi puncak Sembahyang Rebutan pada jam 9 malam.
Dewan Pertimbangan Kelenteng Caow Eng Bio Nyoman Suarsana Hardika didampingi Ketua Pengurus Kelenteng Chaow Eng Bio I Made Juanda Aditya mengungkapkan semua umat dipersilahkan untuk ikut ambil bagian dalam ritual Rebutan tersebut, karena memang persembahan-persembahan tersebut memang disuguhkan untuk fakir miskin yang kurang berkecukupan.
Sementara dari pihak pengurus Kelenteng tidak diperbolehkan untuk ikut berpartisipasi memperebutkan persembahan dalam ritual Rebutan tersebut. Tujuan utama ritual ini adalah bersedekah kepada umat yang kurang mampu selain juga untuk melestarikan tradisi dan budaya leluhur umat Tionghoa.
“Apapun yang kita suguhkan di altar itu tidak bisa diambil kembali, baik peralatan berupa piring supaya diambil sama yang ikut merebut. Ya kalau mungkin di Jogja di Jawa itu identik dengan Grebekan ya,” kata Nyoman Suarsana Hardika.
Persembahan Untuk Para Roh Gentayangan, Disambut Antusias Umat Lain
Ritual Sembahyang Rebutan disambut antusias tidak hanya warga di sekitar Tanjung Benoa tapi juga warga dan umat dari luar daerah ini juga ikut tumpah ruah. Mereka begitu bersemangat mengikuti ritual Rebutan ini dan juga begitu gembira ketika mendapatkan persembahan dari pengurus dan umat Kelenteng Caow Eng Bio.
Lebih lanjut dijelaskan ritual kali ini disebut sebagai Zhongyuan Festival dalam istilah agama Tao atau di Inggris lebih dikenal dengan Hungry Ghost Festival, dan di Indonesia disebut Sembahyang Rebutan. Sembahyang Rebutan ini dimulai pada dinasti Sung. Ini merupakan ritual persembahan untuk para roh gentayangan yang dipercaya setahun sekali dibebaskan dari Neraka untuk mencari makanan di bumi. Ritual ini jatuh pada penanggalan China, tanggal 15 bulan 7.
“Kebetulan hari ini jatuh pada tahun masehinya 30 Agustus. Jadi ritualnya itu kita jam 5 sore sembahyang ke laut. Setelah itu jam 6 mulai pembukaan persembahyangan bersama. Jadi setelah selesai persembahyangannya itu jam 9 malam baru diadakan Rebutan,” papar Nyoman Suarsana Hardika.
Dalam persembahyangan Rebutan tersebut, sembako-sembako, buah buahan, kue dan makanan lainnya yang ada di Klenteng Caow Eng Bio akan disuguhkan di panggung untuk pada fakir miskin di sekitar klenteng untuk merebut. “Nah itu dikenal dengan istilah Sembahyang Rebutan. Jadi ritualnya itu persembahan untuk para roh gentayangan. Ada yang mati muda, ada yang tidak punya keturunan, itulah yang kita bisa berikan, persembahkan makanan seadanya supaya tidak mengganggu kita di dunia ini. Nah, tradisi ini dimulai dari dinasti Sung, kurang lebih 1000 tahun lebih, sudah seribu lima ratusan tahun lalu,” terang Nyoman Suarsana Hardika lebih lanjut.
“Itu ada makanan, masakan, kue, buah-buahan, serta sembako berupa beras, minyak goreng, supermi, ada gula pasir, teh dan lain sebagainya yang disumbangkan oleh para umat. Persembahan umat itu kita persembahkan kembali kepada umat yang kurang mampu,” paparnya lagi.
Nyoman Suarsana Hardika menjelaskan bahwa penanggalan yang dipakai untuk Persembahyangan Rebutan ini adalah penanggalan Imlek, yakni pada tanggal 15 bulan 7. Tanggal 15 tersebut identik dengan bulan Purnama karena penanggalan China itu adalah penanggalan bulan. “Jadi tanggal satu itu Tilem, tanggal 15 itu Purnama karena umat Tridharma ini kan sembahyang Purnama Tilem juga,” ungkapnya.
Terus Lestarikan Budaya Leluhur, Perkuat Toleransi Antar Umat
Nyoman Suarsana Hardika berharap melalui ritual rebutan ini pihaknya bisa terus melestarikan budaya leluhur yang sudah turun temurun diwariskan, dan bahkan sudah ribuan tahun. Kegiatan keagamaan ini juga bertujuan untuk memberikan sedekah kepada umat. Jadi artinya umat yang telah menyumbangkan persembahan ke Kelenteng, kemudian disalurkan kembali kepada umat yang kurang mampu.
Nyoman Suarsana Hardika kemudian menceritakan sejarah keberadaan Kelenteng Caow Eng Bio tersebut yang kelenteng tertua di Bali yang dibangun tahun 1548 dan menjadi klenteng nomor 5 tertua di Indonesia. Ia mengatakan bahwa tuan rumah di Caow Eng Bio adalah Dewi Lautan Shui Wei Shen Niang, yang berasal dari pulau Hainan, tepatnya di Desa Dong Chiao, Kabupaten Wenchang.
Kelenteng Caow Eng Bio menjadi satu-satunya di Indonesia yang memiliki Dewi Laut Shui Wei Shen Niang. Di mana Dewi Laut Shui Wei Shen Niang hanya ada di empat negara di dunia, yaitu Thailand, China, Malaysia, dan Singapura.
“Jadi tahun 1548 itu mulai orang-orang di pulau Hainan itu sebetulnya bersembunyi menghindari angin barat, nelayannya bersembunyi di sini. Terus setelah anginnya reda baru kembali berlayar. Di sini mereka mulai membuat tempat sembahyang yang kecil. Lama kelamaan para nelayan itu ya tahu mereka bersembunyi di sini, bikin tempat sembayang, terus itu dirintis oleh para pelaut-pelaut dari Hainan. Jadi di sini tuan rumahnya adalah dewi lautan Shui Wei Shen Niang. Jadi agama Tridharma ini adalah identik dengan menyembah para dewa dewi,” tutur Nyoman Suarsana Hardika.
Di sisi lain keberadaan Kelenteng Caow Eng Bio dan pelaksanaan ritual Sembahyang Rebutan ini juga terus mengedepankan toleransi antar umat beragama. “Pembauran juga di sini karena di sini Purnama Tilem dan hari-hari jadinya di sini kalau di Bali dengan sebutan Odalan, itu banyak masyarakat sekitar sini juga yang bersembahyang di sini. Jadi pembauran itu bukan hal baru, kita cuma melanjutkan saja. Sudah beberapa generasi di atas kita,” pungkas Nyoman Suarsana Hardika.
Rebutan Tapi Bukan Bikin Ribut
Sementara itu Ketua Pengurus Kelenteng Chaow Eng Bio I Made Juanda Aditya menjelaskan persiapan ritual Rebutan ini. Selain itu pihaknya juga bersinergi dengan pihak desa adat, pecalang dan jajaran kepolisian untuk mengamankan acara.
Ritual Rebutan yang rutin dilaksanakan tiap tahun ini juga sangat ditunggu warga sekitar dan umat. I Made Juanda Aditya mengatakan lebih lanjut, pihaknya juga telah menginformasikan kepada umat-umat lainnya jauh-jauh hari sebelumnya, terutama di daerah sekitar Kongco, baik dari pihak Muslim maupun Hindu bahwa akan ada persembahyangan rebutan di Klenteng Caow Eng Bio. Jadi bisa dikatakan bahwa kegiatan ini memang sudah ditunggu-tunggu oleh umat lain.
“Jadi setiap tahun bisa dibilang ini yang diharapkan juga dari pihak-pihak lain, di luar dari agama kita, Tionghoa. Jadi sudah mulai ramai dari sebelumnya menanyakan acara ini. Jadi syukur saling mensupport, baik kita berbeda agama pun tetap kita solid, khususnya di Tanjung Benoa ini,” ungkap Made Juanda Aditya.
Untuk kedepannya pihaknya lebih menyadarkan diri karena ini sebuah ritual, bukan kegiatan yang bertujuan untuk bikin ribut. Jadi ini adalah ritual yang kebetulan dilaksanakan dengan cara berebut. Dipastikan ritual Rebutan tidak sampai menimbulkan keributan atau permasalahan sehingga akan terus bisa dilaksanakan ke depannya sebagai bagian melestarikan tradisi leluhur.
“Jadi harapan saya selaku pengurus berharap agar persembahyangan ini berjalan lancar tentunya. Jadi karena akan sedikit membuat keributan, keributan dalam artian karena ini kan sistem berebut, biar tidak ada kesalahpahaman dan sampai ada perkelahian. Itu yang kita harapkan biar tidak terjadi. Dan kedua, apa yang sudah menjadi warisan leluhur agar tetap kita jalankan, karena setiap satu tahun sekali kita adakan seperti ini. Jadi kesannya itu biar tidak nanti negatif,” ungkap Made Juanda Aditya.
“Kalau setiap persembahyangan rebutan terjadi masalah, kemungkinan kedepannya kita tidak akan mengadakan persembahyangan rebutan ini. Jadi dari dulu sampai sekarang syukurnya tidak pernah terjadi masalah, baik dari pihak luar pun sangat menghormati persembahyangan yang kita adakan ini,” katanya lebih lanjut.
Saat ditanya apakah anak-anak juga diizinkan untuk mengikuti ritual Rebutan ini, Made Juanda Aditya mengatakan bahwa pihaknya tidak melarang, namun membatasi usia mereka, dimana yang masih berusia di bawah 10 tahun tidak diizinkan mengikuti ritual tersebut. Begitupun juga para lansia yang umurnya sudah di atas 60 tahun tidak diizinkan berpartisipasi melainkan diberikan langsung bantuan sembako tanpa harus ikut berebut.
Berdampak Nyata, Diapresiasi Tokoh-Tokoh Bali
Prosesi Sembahyang Rebutan ini juga dihadiri sejumlah tokoh Bali dan mendapat apresiasi seperti halnya yang disampaikan Made Arka Dewan Guru Pusat Perguruan Pencak Silat (PPS) Kertha Wisesa Pusat yang mengapresiasi kebersamaan dan toleransi dalam ritual Rebutan ini.
Ia mengungkapkan telah menjalin hubungan yang sangat baik dengan pihak Kelenteng Caow Eng Bio. Terlebih lagi dirinya berasal dari desa Pemecutan, yang mana Raja Pemecutan sendiri memiliki kaitan dengan Kelenteng Caow Eng Bio.
“Hubungan saya dengan pihak Kongco yang ada di Tanjung Benoa ini adalah sangat baik karena kebetulan juga saya adalah dari desa Pemecutan yang tentunya adalah Raja Pemecutan yang ada kaitannya dengan Kongco yang ada di Tanjung Benoa ini, sehingga kami mau tidak mau sebagai Trah dari Pemecutan minimal bertanggung jawab terhadap Kongco yang ada di Tanjung Benoa ini,” ungkap Made Arka.
Made Arka berharap melalui ritual Rebutan yang digelar setiap tahun ini bisa membuka mata masyarakat bahwa toleransi antar umat beragama di Bali masih sangat kuat. Ia juga berharap ritual rebutan ini bisa menjadi sentral kebersamaan di dalam keberagaman agama dan budaya.
“Harapan daripada saya di dalam ritual yang setiap tahun diselenggarakan oleh Kongco yang ada di Tanjung Benoa ini adalah tentunya harapan saya melalui daripada acara Rebutan atau grebek panggung ini ini bisa membuka mata kita, yang di luar daripada agama pemeluk agama yang lain untuk mencontoh yang baik sehingga di dalam acara grebek panggung ini merupakan suatu sentral kebersamaan di dalam ragam agama,” ungkapnya.
“Harapan saya ke depan minimal ritual Rebutan ini adalah contoh yang baik, karena di sini adalah erat hubungannya rasa persaudaraan diantara pemeluk-pemeluk agama yang lain. Tidak harus Agama Budha saja, tetapi bercampur di dalamnya untuk menyatukan diri di dalam grebek panggung ini,” kata Made Arka lebih lanjut.
Made Arka menilai ritual rebutan ini memberikan dampak yang nyata kepada masyarakat. “Tentunya besar dampaknya kepada masyarakat karena acara ini langsung bisa dinikmati, bisa dilihat secara langsung oleh masyarakat, sehingga tentunya adalah dampaknya ke masyarakat adalah sangat baik sekali,” pungkasnya.
Warga dan umat mengaku senang dengan adanya ritual Rebutan ini dan berterima kasih kepada pihak pengurus Kelenteng Caow Eng Bio. (wid)