PDI Perjuangan merayakan hultahnya yang ke 52 tahun. Partai pemenang Pemilu tahun 2024, yang basis ideologinya kebangsaan, merujuk ke pemikiran dan ajaran Soekarno, kita mengucapkan DIGAHAYU, dalam menempuh perjalanan bangsa yang sarat “deru campur debu”, pasang surut dengan segala suka dan duanya.

Dalam fenomena umum terjadinya krisis kebangsaan, yang dalam kalimat pendek: “korupsi kekuasaan telah meracuni kehidupan bernegara, sehingga bisa membawa bangsa ke tubir jurang kehancuran secara sosial kultural”. Menjadi semakin relevan dikenang pernyataan Presiden Soekarno di bulan Juli 1957 di Istana Negara Jakarta, di hadapan sejumlah mahasiswa, “perjuanganku lebih mudah karena melawan bangsa asing yang penjajah, perjuangan kalian lebih berat, karena harus berhadapan dengan bangsa sendiri”.

Dalam krisis multi dimensi yang sedang berlangsung, bisa disimak Sajak “Orang-Orang Miskin” dari WS Rendra:
“Orang-orang miskin di jalan/yang tinggal dalam selokan/yang kalah dalam pergulatan,/yang diledek impian,/janganlah mereka ditinggalkan”.
Dalam krisis yang sedang berlangsung, dalam perspektif berpikir budayawan Soetan Takdir Alisjahbana (STA), krisis bukanlah sesuatu yang patut ditangisi dan disesali, tetapi melahirkan spirit untuk bangkit, optimisme baru dalam mengelola krisis dalam logika tesis – anti tesis -sintesis. Melahirkan kegairahan, kebangkitan intelektual , opini baru lebih cerdas lahir dan gerakan sosial sebagai anti tesis dan sintesis, lahir dan bersemi.

Dalam konteks pemikiran di atas, menjadi menarik disimak kembali pemikiran dan keteladan Soekarno dalam mengarungi krisis yang sedang menimpa bangsa. Menyebut beberapa, pertama, perjuangan adalah pengabdian total buat bangsa, penyerahan diri secara total, tanpa pamrih. Seperti pengakuan Soekarno, pemikiran perjuangan, pilihan hidup dalam perjuangan, dipengaruhi oleh intelektual ternama India Cri Aurobindo dalam bukunya yang merupakan tafsir intelektual Bhagavad Githa, dan juga pemikiran dan keteladan negarawan India Mahatma Gandhi, tentang: basis etika dan moralitas dalam politik, politik emoh kekerasan AHIMSA. Soekarno, konsisten dengan pemikiran dan pilihan perjuangannya, semua kekayaannya selama menjadi Presiden, milik negara, terkecuali sebuah rumah sederhana di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Dalam bahasa Soekarno “fight to the nation, with totally surounding”, berjuang demi bangsa dengan penyerahan diri secara total. Kedua, sebagai pemimpin cerdas dan punya kesadaran kesejarahan, dalam banyak kesempatan Soekarno menyampaikan “bangsa yang besar, bangsa yang menghargai para pahlawannya”. Sebagai intelektual pejuang cum filosof Soekarno amat sangat paham, hikmah dari pelajaran sejarah adalah manusia tidak mau belajar dari sejarah, sehingga tamsilnya “masuk lubang yang sama berkali-kali”. Krisis berulang berkali-kali, memerosotkan peradaban dan juga kebudayaan. Ketiga, sebagai pemimpin visioner, yang amat sangat mencintai bangsanya dan masa depannya, percaya dan menaruh harapan terhadap generasi muda, dengan ucapannya yang begitu tetkenal: “berikan aku 100 pemuda, gunungpun akan sanggup aku pindahkan”.
Pemimpin dengan kesadaran kesejarahan, mengerti arti penting keberlanjutan kepemimpinan demi masa depan Indonesia tercinta.
Sebagai penutup renungan tulisan ini, dikutipkan sajak WS Rendra bertema “Ketika Udara Bising”:

“Apakah artinya janji yang ditulis di pasir?/Apakah artinya pegangan yang hanyut di air?/Apakah artinya tata warna dari naluri yang rendah kuasa?/Apakah artinya kebudayaan plastik dan intimitasi ini?.

I Gde Sudibya, ekonom, pembelajar pemikiran Soekarno, anggota Badan Pekerja MPR RI Fraksi PDI Perjuangan 1999 – 2004, pengamat kecenderungan masa depan.