Oleh : I Gde Sudibya
Resesi demokrasi di tengah ancaman resesi ekonomi. Sebetulnya ini berbahaya bagi proses demokrasi, di tengah isi ” kantong ” yang menipis, ada semacam ” sumbatan”  dalam berekspresi. Wacana nyaris total diambil oleh penguasa, yang sayangnya sebagian besar kontennya kurang cerdas.
Orang berkerumun memperebutkan dana publik, akan tetapi defisit anggaran negara sudah defisit di atas Rp.1000 trilliun, total dibelanjai dengan hutang, sekitar Rp.370 trilliun di tahap 1 melalui pencetakan uang oleh BI. SHN ( surat hutang negara ) ada dengan jangka waktunya 50 tahun. Hutang menjadi beban generasi berikut. Sebagian pejabat publik tidak peduli dengan realitas ini.
Menurut Menteri Keuangan diperlukan waktu sampai akhir tahun 2021 untuk pembenahan ekonomi, dengan syarat pandemi mengalami penurunan. Dan, pembenahan ekonomi belum berarti ekonomi pulih.
Menyimak realitas di lapangan, sebagian besar masyarakat tidak tertib menjalankan protokol kesehatan, terjebak ke rasa aman palsu. Berdasarkan pendapat para ahli, jumlah kasus di Bali bisa ” meledak ”  dalam kurun waktu yang lebih panjang. Doa diperlukan tetapi tidak cukup, tanpa kebijakan trengginas dari pejabat publik dan disiplin masyarakat ikut protokol kesehatan.

Tantangan yang sangat berpengaruh meniadakan protokol kesehatan datang dari kelompok orang yang tidak setuju dengan protokol kesehatan yang masif berkembang di medsos. Kelompok ini cenderung melihat Covid-19 merupakan konsfirasi yang sengaja diciptkan elite global. Hal ini tentu sangat berbahaya dan sebagai ancaman kesehatan secara masal. Ini akan menambah deretan panjang penanganan dan penanggulangan covid-19 di Bali.

Alih alih pariwisata Bali mau normal kembali, malah kelompok anti protokol kesehatan membawa pariwisata Bali semakin tenggelam sebagai tumpuan sektor ekonomi. Terlebih lagi penanganan covid-19 di Bali seperti petugas pemadam kebakaran.

Diperlukan Sikap Trengginas dan Berkomitmen
Jumlah terpapar Covid – 19 terus bertambah di Pulau Dewata, masih termasuk 10 besar provinsi dengan jumlah terpapar terbanyak diantara 34 provinsi. Krama Bali yang kritis dan juga memahami sastra tentang: purifikasi kosmik, upakara, simbol dan energi yang diyakini mampu mentransformasi Alam Raya sampai partikelnya yang terkecil ( matters ), dalam proses nyomya: transformasi Buta menjadi Dewa ke kondisi Butha Hita ( kesejahyeraan semua mahluk di Alam Raya ini ).
Menimbulkan tanda tanya reflektif tentang bobot kualitas yasa kerthi krama Bali di Pulau Dewata ini dalam beberapa tahun terahir.

Kalau disimak upaya penanggulang pandemi selama ini di Bali, kesan dari pemberitaan, kebijakannya bersifat reaktif, tidak tampak strategi besar komprehensif, grand strategi, dengan program fokus terukur ( ambreg parama artha ). Akibatnya, diperkirakan petugas kesehatan: dokter, perawat dan keseluruhan sistem penunjangnya bekerja amat sangat keras, berjibaku dengan risiko, dengan risiko kelelahan dan efektivitas kerjanya tidak optimal.
Di lapangan dengan mudah kita melihat krama Bali yang tidak disiplin dalam menjalankan prokol kesehatan, akibat dari rasa aman palsu ( rasa aman yang tidak aman akibat tingginya risiko pandemi ), plus persepsi keliru tentang New Normal ( keadaan normal kembali sebelum pandemi ). Di tambah lagi di medsos, ada selebriti yang berupaya mengajak krama Bali untuk menolak test.
Dengan argumentasi sederhana di atas, kasus di Bali  bisa ” meledak “, dengan masa penanganan yang lebih panjang,  kalau kita tidak mewaspadainya, diikuti dengan langkah cerdas, kongkrit, terukur.
Di sini diperlukan sikap trengginas dalam penanggulan penanggulan.pandemi di pulau Dewata ini, dari perspektif manajemen strategi mempersyaratkan:

Pertama, kepemimpinan pada keseluruhan lapisannya, provinsi, kabupaten, kota, dan sistem birokrasi pendukungnya, menjadi satu  kesatuan komando. Para “Jendral ” berada di garda terdepan, mengerti pasti persoalan dan dinamika di lapangan, pemegang risiko terbesar- highly rist taker – dalam ” peperangan” melawan pandemi. Fenomena yang mungkin terjadi, lepas tanggung-jawab, melimpahkan risiko secara tidak bertanggung, lempar tanggung jawab dan mencari ” kambing hitam”, harus dihilangkan, karena risikonya ” kalah perang ” melawan pandemi.
Kedua, penajaman prioritas dalam alokasi anggaran: penyediaan alat test, APD., pasokan obat, biaya penelusuran, kompensasi dan insentif petugas kesehatan dan keseluruhan sistem pendukungnya, tersedia,dibuka secara transparan ke publik. Sidang-sidang DPRD. tentang alokasi anggaran ini dibuka ke publik, dan dilaporkan melalui media secara akurat, benar dan proporsional.
Kepemimpinan yang berkomitment ini, akan membuat rekan-rekan petugas kesehatan yang merupakan pahlawan kemanusiaan, tidak merasa ditinggalkan sendirian, bersabung nyawa melawan risiko kehidupan. Merasa di wongke, mendapat dukungan,  apresiasi dan kemudian terjaga motivasinya dalam mengemban panggilan tugas yang mulya dan bersejarah.
Ketiga, lakukan sosialisasi protokol kesehatan  secara massif, terukur dan efektif, sehingga pelanggaran yang dimaksud dapat diminimalkan.
Jelaskan risiko pandemi masih sangat tinggi karena sejumlah alasan: keterbatasan test, sulitnya memperkiran jumlah orang tanpa gejala (OTG) tingginya possitivity rate,  klaster pasar tradisional, risiko klaster krumunan orang dalam penyelenggaraan upakara keagamaan.
Risiko klaster di tempat perjudian seperti Tajen dan sejenisnya.

Tentang Penulis
I Gde Sudibya, berpengalaman lebih dari 25 tahun sebagai konsultan straregi manajemen pada sejumlah industri di Denpasar. Sekarang tinggal ring palebahan Kaja Kangin Bukit Sinunggal, Desa Tajun, Den Bukit, Bali Utara.