Diperlukan Sikap Kenegarawanan dalam Wacana Kembali ke UUD 1945
Ilustrasi
Denpasar, (Metrobali.com)
Dalam catatan sejarah konstitusi di banyak negara, diperlukan sikap kehati-hatian dan karakter kenegarawanan dalam perubahan konstitusi, untuk tidak terjebak kepada kepentingan politik jangka pendek, perpolitikan sempit, atau sekadar pengalihan isu, yang biayanya bisa amat mahal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan kecenderungan masa depan, anggota Badan Pekerja MPR RI Fraksi PDI Perjuangan 1999 – 2004, Rabu 11 Desember 2024.
Dikatakan, ada tamsil dalam kearifan kehidupan yang menyatakan: “jika ada rayap dalam rumah, rayapnya yang mesti dibersihkan, jangan buru-buru membakar rumahnya.
Menurutnya, problem berbangsa dewasa ini, yang tidak pernah dialaminya sebelumnya pasca Indonesia Merdeka: korupsi kekuasaan yang “menggila”, hasil kolusi penguasa – pengusaha, yang nyaris meluluh-lantakkan alam kita, meminggirkan jutaan masyarakat adat, kesenjangan pendapatan dan ketidak-adilan ekonomi yang nyaris tidak tertahankan pada puluhan juta masyarakat miskin.
Dikatakan, Politik menjadi sekadar alat instrumen industri kekuasaan, untuk memperpanjang kekuasaan, power feed to power, dengan menghalalkan semua cara. Melanggar etika moral, kepantasan sosial dan menabrak aturan termasuk konstitusi. Kemiskinan menjadi elegi, “dipertontonkan”, kemudian “dibeli” melalui bansos dan dana “gelap” lainnya untuk tujuan kekuasaan.
“Pangkal penyebab pokok dari problem bangsa di atas, ada pada penyimpangan pelaksanaan konstitusi, bukan pada design kebijakan dasarnya,’ kata I Gde Sudibya.
Menurutnya, lemahnya pengawasan DPR terhadap Presiden, bukan pada kesalahan design konstitusi, tetapi pada pelaksanaannya, akibat kolusi di antara cabang kekuasaan itu sendiri.
Dikatakan, terjadi penyimpangan terang-terangan terhadap konstitusi, khususnya pasal 33 UUD 1945,akibat revisi UU Minerba, jutaan hektare tanah yang semestinya kembali ke negara, diberikan kembali ke pemegang HPH lama, dan atau kelompok elite ekonomi lain, dengan jangka waktu 99 tahun, yang sebelumnya hanya 50 tahun.
Dicontohkan, UU Cipta Kerja tahun 2020, yang sangat liberal kapitalistik, menabrak banyak UU, termasuk pasal 33 UUD 1945. Liberalisasi ekonomi yang tidak pernah terbayangkan oleh para perintis bangsa, yang merumuskan UUD 1945 dengan pilihan ideologi politik Sosialisme.
“UU Cipta Kerja tahun 2020 merupakan mimpi buruk dalam sejarah konstitusi Indonesia dan dalam perjalanan sejarah negeri ini. Tantangan Besar bangsa di hari-hari ini, mengoreksi ketidak adilan struktural yang justru “diproduksikan” oleh negara,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan kecenderungan masa depan, anggota Badan Pekerja MPR RI Fraksi PDI Perjuangan 1999 – 2004. (Sutiawan).