Foto: Suasana Se Jit di Klenteng Caow Eng Bio, Tanjung Benoa, Kabupaten Badung dimeriahkan berbagai atraksi budaya nusantara pada Sabtu 16 November 2024.

Badung (Metrobali.com)-

Klenteng Caow Eng Bio, yang berdiri megah di Tanjung Benoa, Kabupaten Badung sejak tahun 1548, kembali menggelar upacara Se Jit pada Sabtu 16 November 2024 untuk memperingati hari jadi atau Hari Ulang Tahun (HUT) ke-476 Dewi Laut Shui Wei Shen Niang, dewi yang disembah khusus di klenteng ini.

Sebagai klenteng tertua di Bali dan klenteng nomor lima tertua di Indonesia, Caow Eng Bio memancarkan kharisma sejarah dan budaya yang mendalam. Uniknya, Dewi Laut Shui Wei Shen Niang hanya dapat ditemukan di empat negara lain, yakni Thailand, China, Malaysia, dan Singapura.

Tidak hanya persembahyangan, upacara Se Jit kali ini terasa istimewa dengan hadirnya atraksi seni budaya nusantara. Komunitas Ikatan Keluarga Banyuwangi (Ikawangi) Dewata Bali mempersembahkan kesenian khas Banyuwangi, Jawa Timur seperti Jaranan Buto, Gandrung Marsan, dan Jejer Gandrung, yang memikat perhatian penonton. Suasana malam menjadi hidup ketika tarian Jaranan Buto, dengan penari yang mengayunkan cambuk kepada sosok buto, menciptakan nuansa magis yang penuh decak kagum.

Tidak hanya itu, ibu-ibu dan lansia dari komunitas Happy Angklung Dewata turut memukau dengan alunan musik tradisional angklung yang merdu dan harmonis. Suara angklung memecah keheningan malam, berpadu indah dengan gerak penari yang kompak, menghadirkan simfoni yang membawa pesan pelestarian seni tradisional untuk generasi muda.

Masyarakat yang hadir begitu antusias, larut dalam suasana penuh kebersamaan. Kehangatan malam dipadukan dengan ragam seni yang memukau, menjadikan momen ini tak hanya sebagai perayaan, tetapi juga pengingat akan pentingnya menjaga warisan budaya Indonesia yang adiluhung.

Para penonton juga larut ikut menari dalam atraksi Jaranan Buto, Gandrung Marsan, dan Jejer Gandrung yang ditampilkan dengan sangat memukau oleh komunitas Ikawangi Dewata Bali. Bahkan sejumlah ibu-ibu tidak mau ketinggalan merasakan sensasi menggunakan pecut untuk mencambuk para penari Jaranan Buto.

Sebelum atraksi budaya dimulai, Klenteng Caow Eng Bio juga menggelar aksi sosial berupa pengobatan gratis dengan melibatkan praktisi kesehatan dan dokter yang menggunakan metode pengobatan tradisional dari Tiongkok. Inisiatif ini memberikan manfaat nyata bagi umat dan warga sekitar dalam menjaga kesehatan dan meningkatan kualitas hidup mereka, memperkuat nilai kepedulian sosial yang menjadi inti kehidupan di Caow Eng Bio.

Dewan Pertimbangan Klenteng Caow Eng Bio Nyoman Suarsana Hardika didampingi Ketua Pengurus Klenteng Caow Eng Bio I Made Juanda Aditya mengungkapkan, Kelenteng Caow Eng Bio merayakan Se Jit ke-476 Dewi Laut Shui Wei Shen Niang yang berlangsung selama tiga hari dari 15 November hingga 17 November 2024.

Perayaan ini dimulai dengan acara pembukaan persembayaan pada hari pertama di tanggal 15 November 2024 yang menampilkan atraksi Barongsai dan Tari Naga.

Selanjutnya persembahyangan berrlanjut di hari kedua pada tanggala 16 November 2024 dan juga dimeriahkan penampilan atraksi seni budaya nusantara dari grup Happy Angklung Dewata dan kesenian khas Banyuwangi oleh Ikawangi Bali Dewata.

“Makna perayaan Se Jit ini tidak hanya sebatas hari lahir atau hari jadi Dewi Laut Shui Wei Shen Niang, tetapi juga menjadi momen umat untuk menghaturkan sembah bakti serta memberikan sumbangan yang akan disalurkan kepada fakir miskin. Perayaan ini juga menjadi pengingat bagi umat untuk terus bersyukur, berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta mendoakan keutuhan dan kedamaian Negara Kesatuan Republik Indonesia,” terang Suarsana Hardika.

Sementara atraksi budaya nusantara di Caow Eng Bio ini telah menjadi tradisi tahunan yang akan terus dirawat dengan menghadirkan seni dari berbagai daerah di Indonesia. Hal ini menjadi simbol nyata toleransi dan akulturasi budaya yang harmonis di klenteng ini.

“Rencana ke depan, perayaan Se Jit akan terus menampilkan keberagaman budaya Indonesia, seperti Ondel-Ondel Betawi dan seni tradisional lainnya, sebagai wujud penghormatan terhadap kekayaan budaya nusantara,” ungkap Suarsana Hardika.

Ketua Pengurus Klenteng Caow Eng Bio I Made Juanda Aditya menambahkan, pihaknya berkomitmen untuk melanjutkan tradisi yang diwariskan sekaligus memperkuat nilai toleransi melalui perayaan Se Jit. Dalam perayaan kali ini, seni budaya Nusantara kembali ditampilkan, seperti Gandrung Banyuwangi oleh Ikawangi Bali Dewata. Sebelumnya, atraksi Reog Ponorogo juga pernah dihadirkan, memperkenalkan kekayaan tradisi Indonesia kepada masyarakat setempat.

Pelibatan budaya dari berbagai daerah bertujuan agar masyarakat mengenal keragaman seni Nusantara, meskipun acara diadakan di desa kecil. Setiap tradisi yang ditampilkan menjadi cerminan kekayaan budaya Indonesia dan wujud penghormatan terhadap keberagaman.

Kepengurusan Klenteng Caow Eng Bio saat ini juga berupaya mengubah pola pelestarian tradisi dengan melibatkan seni budaya dari luar komunitas mereka. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi tidak hanya terbatas pada adat istiadat tertentu, tetapi juga membuka ruang untuk memperkenalkan dan melestarikan budaya dari berbagai daerah di Indonesia.

“Langkah ini menjadi bagian dari upaya untuk memupuk toleransi dan kebersamaan di tengah masyarakat multikultural, sekaligus menjaga kekayaan tradisi Indonesia tetap hidup dan dikenal luas,” ujar Juanda Aditya.

Sementara atraksi budaya nusantara diantaranya kesenian khas Banyuwangi Jawa Timur diantaranya Jaranan Buto, Gandrung Marsan dan Jejer Gandrung yang dipersembahkan komunitas Ikawangi Dewata Bali menjadi pusat perhatian dalam rangkaian acara Se Jit di Chao Eng Bio ini.

Istiyono selaku Wakil Ketua Umum Ikawangi Dewata Bali menjelaskan, pihaknya turut memeriahkan Se Jit di Kelenteng Caow Eng Bio di Tanjung Benoa dengan menampilkan seni budaya khas Banyuwangi seperti Jaranan Buto, Gandrung Marsan, dan Jejer Gandrung, yang menjadi bagian dari upaya melestarikan warisan budaya nenek moyang.

“Kami sangat mengapresiasi diberikan kesempatan tampil memeriahkan Se Jit di Klenteng Chao Eng Bio ini. Ini bentuk toleransi dan harmoni yang luar biasa,” ujarnya.

Menurut Istiyono, meskipun berada di Bali, budaya Banyuwangi tetap dijaga dan dipertahankan melalui kolaborasi dengan budaya setempat serta budaya dari daerah lain. Kesenian Jejer Gandrung, yang menjadi ikon Banyuwangi, dihadirkan sebagai bentuk rasa syukur masyarakat atas hasil panen sekaligus penyambutan tamu dalam berbagai perayaan.

Selain itu, Gandrung Marsan, yang diperankan oleh laki-laki, juga ditampilkan. Tarian ini memiliki nilai historis karena digunakan sebagai strategi perjuangan pada masa penjajahan Belanda. Dengan memerankan Gandrung, para pria mampu berkontribusi dalam perjuangan tanpa dicurigai oleh penjajah.

Ikawangi Dewata Bali berharap partisipasi ini tidak hanya memperkaya keberagaman budaya dalam perayaan Se Jit, tetapi juga semakin memperkuat semangat solidaritas antarbudaya. Istiyono menyampaikan harapan agar Kelenteng Caow Eng Bio terus berkembang dan jaya di masa mendatang.

Sementara itu Haryo Bagus Sujatmiko, seorang Budayawan Rumah Nusawantoro menyoroti makna mendalam dari akulturasi budaya yang tercermin dalam perayaan Se Jit di Kelenteng Caow Eng Bio. Menurutnya, momen ini menjadi wujud nyata dari penggabungan nilai-nilai budaya Jawa dan Tionghoa, yang berakar pada ajaran leluhur.

Haryo Bagus mengutip ramalan Prabu Joyoboyo dari Kediri pada abad ke-11 atau ke-12, yang menyebutkan bahwa akan datang zaman “Gonjangganjing,” di mana “Wong Jowo kari separo” dan “Wong Cino kari sajodo.” Ramalan ini menggambarkan bahwa masyarakat Jawa dan Tionghoa dapat kehilangan identitas budaya mereka jika tidak menjaga dan melestarikan tradisi leluhur.

Dalam konteks ini, perayaan Se Jit dianggap sebagai simbol persatuan yang mengingatkan pentingnya mempertahankan ajaran leluhur masing-masing, baik dari tradisi Jawa maupun Tionghoa. Inilah tonggak awal dari kebersamaan dan persatuan  sebagai bangsa Indonesia yang berbudaya.

Perayaan tersebut menjadi pengingat bahwa kebersamaan dalam keragaman budaya tidak hanya memperkuat identitas bangsa, tetapi juga menegaskan pentingnya menjaga warisan leluhur di tengah perubahan zaman.

“Kami apresiasi akulturasi budaya yang sangat kuat dan masih lestari dirawat di klenteng ini. Toleransi juga begitu kuat. Inilah yang harus teru kita rawat dan jaga,” ujar Haryo Bagus.

Penampilan tidak kalah memukau juga ditampilkan Komunitas Happy Angklung Dewata melalui alunan musik tradisional angklung yang merdu dan harmonis. Ketut Suarjana selaku penasehat Komunitas Happy Angklung Dewata menjelaskan, sebagai komunitas non-komersial, Happy Angklung Dewata berfokus pada partisipasi sosial, terutama dalam acara-acara budaya dan keagamaan seperti perayaan Se Jit di Kelenteng Caow Eng Bio ini.

Melalui penampilan mereka, komunitas ini berupaya menanamkan kecintaan pada musik tradisional Indonesia, dengan harapan agar generasi muda kembali tertarik untuk mempelajari dan melestarikan angklung sebagai bagian dari warisan budaya.

Happy Angklung Dewata secara rutin mengadakan pentas sukarela di berbagai tempat, seperti tempat ibadah dan acara pernikahan, sebagai bagian dari kegiatan ngayah mereka. Dengan tampil di berbagai acara, mereka berharap dapat mengenalkan musik angklung kepada generasi muda dan mendorong mereka untuk lebih mengenal serta melestarikan tradisi ini.

I Nyoman Suwitra Merta selaku Ketua Komunitas Happy Angklung Dewata menambahkan, Komunitas Happy Angklung Dewata terus berusaha untuk mengembangkan dan melestarikan musik tradisional angklung, meskipun tantangan besar dihadapi karena banyaknya pemain angklung yang sudah lanjut usia.

Meskipun mayoritas pemainnya adalah lansia, komunitas ini tetap bersemangat untuk mempromosikan angklung, meskipun sulit menarik generasi muda untuk terlibat. Happy Angklung Dewata hadir untuk menghibur dan memberikan kegembiraan melalui musik tradisional, baik di acara-acara keagamaan, perayaan, maupun resepsi pernikahan.

Selain sebagai bentuk pengabdian, kegiatan ini juga menjadi cara Happy Angklung Dewata untuk memperkenalkan dan mempertahankan eksistensi musik angklung agar tetap eksis di tengah masyarakat, serta mengenalkan budaya tradisional kepada generasi mendatang.

Selain atraksi budaya nusantara, aksi sosial berupa pengobatan gratis yang juga melibatkan praktisi kesehatan dan dokter yang menggunakan metode pengobatan dari Tiongkok juga menjadi daya tarik tersendiri bagi umat maupun warga sekitar yang ingin hidup lebih sehat.

Oka Putra selaku Praktisi Pengobatan Kuno Leluhur Tiongkok menjelaskan aksi sosial pengobatan tradisional ini dilakukan untuk memeriahkan Hari Ulang Tahun Dewi Laut Shui Wei Shen Niang dan melayani umat di Caow Eng Bio. Metode pengobatan yang digunakan seperti siatsu  refleksiologi, pemijatan, hingga edukasi pola makan, pola hidup dan makanan sehat serta gizi seimbang.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk membantu masyarakat menjaga kesehatan secara alami dan berkelanjutan, tentunya dengan metode yang sederhana dan mudah diterapkan. Oka Putra mengundang masyarakat untuk bergabung dalam acara serupa di masa depan, di mana mereka bisa memperoleh manfaat kesehatan dari pengobatan tradisional yang disediakan.

Dokter Irawan Soni yang akrab disapa Dokter Wong juga terlibat dalam bakti sosial pengobatan tradisional di Caow Eng Bio dengan menggunakan metode pengobatan tulang saraf Tiongkok seperti akupunktur dan fisioterapi untuk membantu pasien yang membutuhkan perawatan.

Hasil pengobatan sudah mulai terlihat, seperti peningkatan penglihatan bagi mereka yang mengalami gangguan mata dan peningkatan kekuatan fisik pada orang tua yang kesulitan berjalan. Layanan ini menjadi salah satu cara untuk menyebarkan manfaat kesehatan melalui pengobatan tradisional yang sudah terbukti efektif.

Bendesa Adat Tanjung Benoa, I Made Wijaya, yang akrab disapa Yonda mengapresiasi berbagai rangkaian acara yang digelar serangkaian upacara Se Jit untuk memperingati hari lahir atau Hari Ulang Tahun Dewi Laut Shui Wei Shen Niang yang disembah di klenteng ini. Terlebih juga atraksi budaya nusantara yang ditampilkan begitu menghibur masyarakat Tanjung Benoa.

Yonda memuji keberagaman atraksi budaya yang ditampilkan, termasuk kolaborasi antara seni budaya Bali dan Jawa, yang berhasil menghibur masyarakat Tanjung Benoa. Menurutnya kegiatan ini tidak hanya menjadi sarana hiburan, tetapi juga sebagai upaya melestarikan budaya dan tradisi leluhur.

“Acara ini sungguh luar biasa memberikan hiburan untuk warga kami, merawak tradisi dan toleransi serta menjagi bagian upaya melestarika budaa nusantara,” kata Yonda yang juga Anggota DPRD Badung itu.

Ia mengungkapkan pentingnya mengadakan pertukaran budaya, termasuk menampilkan tarian dan seni dari Jawa, sebagai bagian dari penghormatan terhadap warisan budaya tanah Jawa.

Yonda juga mengapresiasi pelaksanaan pengobatan gratis selama tiga hari yang diberikan kepada masyarakat Tanjung Benoa, khususnya bagi mereka yang menderita penyakit kronis. Pengobatan ini menjadi kesempatan bagi masyarakat yang enggan ke kota untuk berobat, dan Yonda berharap kegiatan ini terus dijaga agar dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.

Umat dan warga yang hadir mengaku sangat senang dan terhibur dengan berbagai atraksi budaya ini. Mereka pun berharap kegiatan seperti ini terus rutin digelar ke depannya.

Seperti lilin yang menyala di tengah gelap, Klenteng Caow Eng Bio terus menyalakan semangat untuk merawat seni dan budaya nusantara. Melalui pementasan atraksi budaya nusantara ini, pengurus klenteng menanamkan komitmen mulia untuk menjaga toleransi, memperkuat persaudaraan, dan menyatukan keberagaman dalam harmoni yang indah. (wid)