Diduga Perparah Kondisi Lingkungan Bali, 3 Organisasi Kritisi Rencana Pembangunan The Standard Hotel & Oakwood Premiere Berawa Beach
Denpasar, (Metrobali.com)
Mengawali tahun 2025 Pembangunan akomodasi Pariwisata berupa Hotel dan Villa tetap masif terjadi. Hal ini dibuktikan dengan diadakannya pembahasan Formulir Kerangka Acuan Analisis Dampak lingkungan (KA-ANDAL) Pembangunan The Standard Hotel & Oakwood Premier Berawa Beach oleh PT Pantai Berawa Resort yang dibangun di Jl. Pantai Berawa, Gg. Kedaton No. 5, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Provinsi Bali oleh Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali (DKLH Provinsi Bali) pada Selasa, 7 Januari 2025. Acara tersebut dihadiri oleh Kefas selaku Direktur PT Pantai Berawa Resort bersama Tim Manajemennya mewakili penanggung jawab usaha.
Acara ini dipimpin oleh Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali serta dihadiri oleh berbagai instansi terkait. Acara ini dilaksanakan dengan melakukan kunjungan lokasi proyek di lapangan dan kemudian dilanjutkan dengan rapat pembahasan Formulir Kerangka Acuan ANDAL di Hotel Citadines Berawa Beach.
Made Krisna Bokis Dinata, S.Pd., M.Pd. selaku Direktur Eksekutif WALHI Bali turut hadir dalam acara pembahasan Formulir Kerangka Acuan ini. Di awal Krisna Bokis menyinggung dokumen proyek terkait ketidakjelasan mengenai sumber air dan adanya ketidaklengkapan surat dalam dokumen Formulir Kerangka Acuan ANDAL tersebut yakni Surat Permohonan dan Pernyataan Menjadi Pelanggan Perumda Air Minum Tirta Mangutama Kabupaten Badung (PDAM Badung). “Bali ini sudah krisis air, proyek seperti Hotel jelas rakus apalagi direncanakan dengan jumlah kamar sebanyak 601 ditengah sumber air tidak jelas dan surat kesanggupan PDAM dalam memenuhi kebutuhan air tidak ada”. Ujar Krisna Bokis.
Selanjutnya, Krisna Bokis mengungkapkan pembangunan Hotel tersebut justru akan memperburuk situasi Bali yang sudah Overtourism, Overbuild, dan Overdevelopment sebab daerah lokasi proyek merupakan daerah yang padat dan pertumbuhan akomodasi pariwisatanya sangat masif. “Alih fungsi lahan terus terjadi di Bali karena pembangunan pariwisata dan sudah terbukti merusak lingkungan, bahkan sosial budaya seperti banyaknya kasus-kasus Bule (wisatawan mancanegara) yang kerap bermasalah di Bali menunjukan bahwa hadirnya proyek pembangunan seperti hotel tidaklah menjadi urgensi, namun justru akan memperburuk situasi”. Tegas Krisna Bokis
Selanjutnya, Angga Krisna perwakilan dari FRONTIER Bali juga turut hadir dalam acara tersebut. Ia menuturkan jika lokasi proyek yang terkonfirmasi rawan bencana serta adanya dugaan pelanggaran tata ruang pada Sempadan Pantai berdasarkan ketentuan 100 meter kearah darat dari titik pasang tertinggi indikatif juga menjadi sorotan.
Selain itu lokasi ini sudah jelas-jelas berada pada lokasi rawan bencana yang terkategori tinggi untuk Tsunami, Banjir, dan Angin Kencang yangmana hal tersebut di afirmasi dalam dokumen, selain itu kami juga menemukan lokasi tersebut berstatus Abrasi dan berada dalam kualifikasi kerentanan yang sangat tinggi berdasarkan indeks kerentanan pesisir. “Mestinya hal tersebut sudah mampu meyakinkan DKLH jika proyek ini tidak layak, sebab apabila di paksakan Hotel ini justru akan menambah cerita Pariwisata Bali dimana terdapat peristiwa tourist yang sedang menginap di sebuah Villa mesti dievakuasi lantaran kebanjiran” ungkap Angga.
Di konfirmasi secara terpisah I Made Juli Untung Pratama S.H,.M.Kn dari Divisi Advokasi KEKAL (Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup) Bali juga menyoroti Proyek tersebut. Menurutnya Kabupaten Badung sendiri merupakan kontributor pertumbuhan Jumlah Hotel Bintang dan Jumlah Kamar Hotel Non-Bintang serta akomodasi lainnya tertinggi di Bali dan justru akan semakin merusak ekologi dan alam Bali. Catatan kami menunjukan bahwa jumlah Hotel Bintang di Bali sendiri sebanyak 541 di tahun 2023 dan terdapat 66.340 kamar hotel Non-Bintang di tahun 2020, dan jumlah tersebut melipat ganda sebesar 2-3x lipat dari sekitar 20 tahun terakhir dan Badung menjadi kontributor tertinggi. Selanjutnya penelitian dari Departemen Sains dan Informasi UGM sendiri mengungkapkan perubahan masif di sekitar wilayah pesisir Kecamatan Mengwi dan Kecamatan Kuta Utara yang merupakan wilayah dari lokasi proyek ini dimana tahun 2000 ke tahun 2015 yakni penggunaan lahan sawah menjadi bangunan permukiman sebesar 25% dari total luas wilayah. Hal ini tentu catatan yang amat buruk terkait keadaan lingkungan Bali, terlebih Daya Dukung Bali telah terlampaui” Ujar Juli Untung.
Diakhir Krisna Bokis bersama Angga Krisna menyerahkan Surat tanggapan dan diterima oleh Ida Ayu Dewi Putri Ary selaku pimpinan rapat yang mewakili Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali. (RED-MB)