20171103_124900
Penggiat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Yosep Yulius Diaz/MB
Denpasar, (Metrobali.com) –
Penggiat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Yosep Yulius Diaz menjelaskan, Bali saat ini sudah menjadi tempat transit dan tujuan human trafficking. Umumnya, para korbannya berasal dari provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Yang mengejutkan rata-rata usia para korban masih anak-anak dibawah umur. Dan mereka banyak dipekerjakan menjadi pembantu rumah tangga (PRT)
“Jika sebelumnya Bali hanya menjadi tempat transit, kini Bali sudah menjadi kedua-keduanya yakni tempat transit dan sekaligus tujuan perdagangan orang. Yang lebih menarik lagi, korbannya lebih banyak berasal dari anak-anak dibawah umur asal NTT dan NTB, yang kebetulan pendidikannya rendah dan secara ekonomi rata-rata dari keluarga miskin. Mereka kebanyakan menjadi PRT,” ujarnya, di Denpasar, Jumat (3/11).
Umumnya, mereka adalah wanita di bawah umur, berusia dari 14 tahun hingga 16 tahun, dan berasal dari keluarga miskin di pedalaman NTT, berpendidikan rendah dan seterusnya. “Dalam kondisi ini, ketika diiming-imingi gaji yang besar, tinggal di kota, maka anak-anak itu tergiur tetapi hasilnya menyedihkan,” ujarnya.
Modusnya para perekrut, pencari, masuk sampai di kampung-kampung. Umumnya mereka sudah memiliki jaringan yang mengantongi informasi bahwa di desa tersebut ada anak-anak gadis dari keluarga miskin. Jaringan di tingkat desa ini akan merekrut anak-anak dibawah umur.
“Bila berhasil, perorang akan mendapatkan upah Rp 3,5 juta. Uang ini diberikan oleh pengepul, penampung, berkedok tempat pelatihan kepada oknum yang merekrut. Artinya, satu orang dibayar biaya Rp 3,5 juta. Yang ini bukan untuk biaya transportasi dan akomodasi tenaga kerja mulai dari tempat asal sampai ke tempat penampungan. Tetapi memang upah bagi para perekrut mereka ini sindikat orangnya teman mereka juga,” jelasnya.
Rata-rata perminggu bisa memboyong 20 orang. Jadi penghasilan seorang perekrut Rp 70 juta perminggu. Tentu saja ini bukan diterima sendiri tetapi jaringan. Dengan penghasilan besar tersebut, semua orang pasti tergiur.
“Dalam wawancara kami dengan para korban, mereka diberangkatkan dengan menggunakan truk ekspedisi. Para sopir truk biasanya menampung di belakang kopartemen,” terangnya.
Untuk yang transit di Bali, mereka ditampung di beberapa rumah, dilarang keluar rumah tanpa sepengetahuan majikan, bahkan KTP korban banyak yang ditahan oleh agennya. Untuk menutupi kedoknya, mereka akan melatih beberapa ketrampilan kerja seperti cara mencuci pakaian, cara setrika, dan sebagainya. Setelah itu mereka akan dikirim ke beberapa kota di Indonesia seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, Bogor, Batam, Medan dan sampai Malaysia.
Sementara untuk yang bekerja di Bali, mereka akan dipekerjakan dengan klausul kontrak yang tidak wajar seperti tiga bulan pertama tidak mendapatkan gaji karena majikan sudah membelinya di agen.
“Selama tiga bulan pertama, HP pribadi pun diambil. Bila salah dalam pekerjaaan, hukumannya diketok, hormat matahari, berpeluk mobil atau masa kerja tidak ada gaji diperpanjang,” ujar Yusdi yang juga menjabat sebagai Ketua Flobamora Bali ini.
Meski tidak bisa menyebutkan data pasti namun pihaknya banyak menangani kasus human traficking. Kini dalam dua tahun terakhir kasus ini terus berkurang karena banyaknya LSM, penggiat TPPO, pemerintah terutama di NTT bekerja cukup sinergi mengantisipasi kasus tersebut.
Data International Organization for Migration (IOM) menunjukkan, sekitar 7.193 orang NTT yang menjadi korban human trafficiking. Dari jumlah itu 82 persen korban adalah perempuan usia dibawah 18 tahun dan 18 persen laki-laki. Dari total korban, sebanyak 42 persen adalah korban yang direkrut dan terjerembab akibat bujuk rayu dan penipuan agen dan sisanya adalah karena kemiskinan dan pendidikan yang rendah dan tidak bersaing di pasar kerja setempat. SIA-MB