Denpasar, (Metrobali.com)-

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof Mahfud MD menyatakan, ada sejumlah hal dan gejala dalam proses hancurnya sebuah negara. Jika gejala-gejala ini mulai muncul, apalagi massif, artinya sebuah negara perlu waspada.

Gejala-gejala ini, kata Mahfud, mulai mengemuka di Indonesia. Terjadi disorientasi di kalangan pengambil kebijakan yakni pemerintah atau negara. “Gangguan yang pertama adalah kekurangbersatuan kita. Misalnya muncul gejala intoleransi,” ungkap Mahfud pada acara dialog “Merawat Kebhinekaan, Memperteguh Kesatuan Bangsa” dengan puluhan tokoh tokoh di Bali, Jumat (30/09/22) di Prime Plaza Hotel, Sanur.

Hadir dalam dialog tersebut, Jajaran Kodam IX Udayana, Polda Bali Dr. I Dewa Gede Palguna, SH M.Hum (akademisi dan mantan Hakim MK), Drs. Ketut Ngastawa, SH (Intelektual dan advokat, Dr. Gde Suardana (intelektual muda Bali) Nyoman Sutiawan (Jurnalis, aktivis Sosial) dan LK Suryani, Nyoman Wiratmaja (akademisi Unwar).

Selanjutnya, sambung Mahfud, apabila disorientasi terus berlanjut, maka terjadi public distrust atau ketidakpercayaan publik kepada negara. Setelah rakyat tidak percaya kepada pemerintah dan negaranya, maka akan terjadi disobedience atau pembangkangan. Nah, lebih jauh, jika pembangkangan terus berlanjut, dan dihadapi dengan ketidakadilan, akan terjadi disintegrasi. “Kalau disobedience terus terjadi dan dibiarkan terus, maka akan terjadi disintregasi,” ingat Mahfud.

Mahfud mengimbau masyarakat Indonesia harus waspada. Dia menyebut hancurnya, kerajaan-kerajaan di Indonesia yang dulu pernah berjaya juga disebabkan hal-hal yang telah ia sebutkan.

“Sebutlah apa saja. Majapahit, Mataram, Demak, dan Sriwijaya. Itu hancur karena disorientasi, distrust di tengah-tengah masyarakat, disobedience yang akhirnya terjadi disintregasi,” tegas Mahfud seraya menambahkan jika disintegrasi terjadi akan sulit disatukan lagi.

Mahfuf mengingatkan Indonesia adalah masyarakat majemuk dan akan selamanya demikian, beraneka suku bangsa, budaya dan agama.

Sementara itu, mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) I Dewa Gede Palguna mendorong agar meningkatkan kualitas pendidikan dalam merawat kemajemukan, plural atau berbineka menuju 100 tahun Indonesia merdeka pada tahun 2045.

“Hanya melalui sistem pendidikan. Tidak ada jawaban lain,” kata Dewa Palguna.

Pendidikan diselenggarakan dengan cara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Pendidikan sebagai suatu proses pembudayaan serta pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat sudah seharusnya mampu menumbuhkan karakter anak bangsa yang mengedepankan nilai-nilai Pancasila sehingga tidak ada lagi tindakan-tindakan merugikan di lingkungan lembaga pendidikan dan sekitarnya.

Dewa Palguna yang juga Dosen Fakultas Hukum Unud menegaskan, keberagam itulah sebabnya ketika Bung Karno (sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan/BPUPK) diminta pendapatnya perihal dasar negara (jika nanti Indonesia merdeka), beliau terlebih dahulu memberi pengertian “siapa dan bagaimana yang disebut Bangsa Indonesia” itu, yaitu bangsa yang mendiami seluruh wilayah nusantara ini terlepas dari apa pun suku, ras, agama, daerah, bahasa, status sosialnya di mana mereka merasa bersatu dengan tanah tumpah darahnya.

Jadi, bangsa Indonesia itu bukan bangsa dalam pengertian yang sempit yang hanya didasarkan suku atau ras atau agama tertentu.
Karena itulah, dalam pandangan Bung Karno (dan kemudian diterima secara aklamasi oleh seluruh anggota BPUPK) hanya Pancasila yang tepat dijadikan sebagai dasar negara.

Sebab, hanya Pancasila yang mampu mempersatukan Bangsa Indonesia yang plural atau berbineka itu. Jadi kalau ditanyakan bagaimana tantangan merawat kebhinekaan itu, jawabannya adalah sungguh-sungguhlah berpegang pada Pancasila.

Berpegang pada Pancasila bukan sekadar menghafal sila-sila Pancasila (sebab sila-sila Pancasila itu hanyalah asas-asas yang terkandung dalam Pancasila) tetapi juga harus memahami dan sungguh-sungguh melaksanakan konsep-konsep dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Konsep-konsep yang terkandung dalam Pancasila itu ialah (1) Konsep Religositas , (2) Konsep Humanitas, (3) Konsep Nasionalitas, (4) Konsep Sovereinitas, dan (5) Konsep Sosialitas. Sedangkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu ialah (1) Nilai keimanan, (2) nilai kesetaraan, (3) nilai persatuan dan kesatuan, (4) nilai mufakat, dan (5) nilai kesejahteraan. Pemahaman terhadap konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai Pancasila itu harus pertama-tama ditanamkan lewat lingkungan keluarga kemudian lingkungan sekolah, dan terakhir masyarakat.

Selain itu, Pancasila itu yang menjiwai UUD 1945. Maka, bukan hanya generasi penerus tetapi seluruh cabang kekuasaan negara dan seluruh warga negara mesti berpegang teguh pada UUD 1945.

Sementara itu, Agus Maha Usdha seorang praktisi pariwisata mengatakan pendidikan pancasila harus mulai dari seorang Ibu. Karena mereka yang membentuk generasi yang akan melahirkan generasi yang akan mampu dan bisa menerapkan nilai pancasila kelak. (SUT/MB)