Ilustrasi

 

Denpasar, (Metrobali.com)

Suara Buruh, Tani dan Nelayan Nyaris tidak Dihiraukan di Tahun Politik 2024 ini. Berbagai keluhan disampaikan oleh buruh, tani dan nelayan nampaknya belum mendapat respon serius dari pemerintah.

Hal itu dikatakan pengamat kebijakan publik Jro Gde Sudibya, Senin 1 Mei 2023 menanggapi soal peringatan Hari Buruh Internasional.

Dikatakan dalam Perpu Cipta Kerja, posisi tawar buruh yang sudah lemah semakin diperlemah, lebih memberikan keleluasaan pengusaha dalam memutuskan hubungan kerja, dan dalam penentuan pegawai kontrak dengan alasan untuk lebih mendorong investasi.

Menurut Jro Gde Sudibya petani yang standar hidupnya sudah rendah, dan di banyak wilayah NTP (Nilai Tukar Petani) di bawah 100, di Bali tahun lalu NTP 96, yang berarti menjadi petani merugi (ongkos lebih tinggi dari pendapatan), nyatanya di lapangan banyak petani mengalami kesulitan untuk memperoleh pupuk bersubsidi, dan atau jatahnya dikurangi, sehingga menaikkan biaya produksi dan produktivitasnya berkurang.

Dikatakan, Pemda Bali nyaris tidak berbuat apa-apa untuk “nindihin” semeton Petani. Strategi pembangunannya prioritas pertama sektor pertanian, tetapi alokasi dana dalam APBD tahun lalu hanya 1.8 persen dari total dana pembangunan, itupun sudah termasuk dana rutin gaji dan belanja pegawai, yg.berarti ruang fiscal untuk mengangkat harkat dan martabat petani tidak ada.

Ia menambahkan, padahal idealnya menurut FAO alokasi anggaran sektor pertanian semestinya 8 persen.

Dikatakan, jumlah orang miskin di Bali naik sekitar 1.2 persen dalam satu tahun terakir, kenaikan ini nyaris setara dengan 33% berdasarkan data orang miskin tahun lalu, kenaikan yang significan, tetapi publik tidak tahu, apa strategi Pemda Bali untuk menekan jumlah orang miskin, di tengan APBD Bali yang sangat tertekan untuk membelanjai proyek infrastruktur.

“Untuk subsidi petani yang jumlahnya jutaan KK, Pemerintah sangat pelit, tetapi untuk proyek infrastruktur dana yang disediakan nyaris “melimpah ruah”. Kebijakan fiscal yang sangat tidak adil bagi petani,” kata Jro Gde Sudibya kepada Metrobali.com.

Lebih lanjut dikatakan, desa-desa nelayan kita, nyaris identik dengan perdesaan miskin dan tertinggal, sebuah ironi di negara maritim, kawasan pesisirnya jauh tertinggal.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, katanya hasil tangkapan nelayan di Buleleng terus mengalami penurunan, dan tampaknya tidak ada upaya serius dari Pemda Buleleng untuk peningkatan produktivitas nelayan, sebut saja melalui pembenahan budi daya trumbu karang dan upaya lainnya untuk peningkatan hasil tangkapan.

Keluhan yang sama disampaikan petani asal Karangasem, bahwa mereka mengatakan harga pupuk mangkin mahal sekali.

“Sampun harganya mahal susah lagi untuk mendapatkannya, gagal panen atau ongkos produksi tinggi nenten mresidayang bersaing, tyang jadi peternak harga pakan mahal sekali karena harga jagung mahal,” keluh petani asal Karangasem ini.

Petani ini lagi mengeluh, niki sampun tyang terima saat ini. Pemerintah kurang peduli terhadap kepentingan rakyat. Hanya memikirkan elektabilitas untuk bisa terpilih kembali.
Sangat memprihatinkan.

“Tyang perbandingan manten sebagai peternak ayam, kalau ring Brazil HPP unggas per 1 KG 9 ribu, ring Indonesia 15 ribu, jauh sekali nike. Kalau pemerintah mau expor daging unggas gak bisa karena kalah bersaing,” katanya. (Adi Putra)