I Gde Sudibya
Keberadaan sampradaya Hare Krisna (HK) di Bali digugat oleh sejumlah orang yang merasa diusik keyakinan di Bali. Perdebatan yang panjang antara bakta Hare Krisna dan orang yang merasa terusik keyakinannya sebagai umat Hindu di media sosial begitu melelahkan dan berujung gerakan demonstrasi di depan Monumen Bajra Sandhi, Senin (3/8).
Menurut AD/ART PHDI semestinya kalau ada perbedaan tentang ajaran Hindu, mesti didialogkan dalam forum Pesamuan Pendeta PHDI yang jumlahnya kalau tidak salah 11 atau 33. Diambil keputusan yang kemudian dijalankan oleh Pengurus Harian PHDI.
Dialog dapat menyangkut: filsafat, teologi atau penyelenggaraan  ritual/upakara. Penyelesaian dialog ini sangatlah penting. Bukan demonstrasi dan sejenisnya yang diutamakan. Dan, pemaksaan kehendak harus dihindari.
Menurut penulis, semestinya kita dapat belajar dari mereka:  militansi, sikap asketik, keingintahuan yang tinggi tentang pengetahuan dan kemampuan membangun jaringan. Kalau ada yang dirasa kurang pas, manut Desa, Kala, Patra, swadharma kita untuk mepewungu.
Jalan Tengah membuat peradaban dan kebudayaan Bali menjadi kenyal. Semestinya kita dapat terinspirasi dari ucapan R. Tagore waktu mengunjungi Bali, pertengahan tahun 50’an, ” Saya menemukan India di mana-mana, tapi saya tidak lagi mengenalnya “.
Benar, kalau ada ekses berupa Gita yang dimaksud menjadi dogma kaku dan mengklaim kebenaran tunggal, ini semestinya diluruskan melalui dialog oleh PHDI.
Krama Bali yang cintai damai, sudah barang tentu menginginkan Pengurus Harian PHDI segera melakukan Paruman Sulinggih untuk mencari jalan keluar damai dengan cara mengundang berbagai pihak yang terkait dan punya kompetensi. Jalan perdamaian bagi krama Bali yang leluhurnya dan dan juga DNA-nya sama.
Menurut penulis, belakangan ini ada agenda besar bersama yang memerlukan antisipasi dan solusinya. Di mana ada radikalisme dan missionarisme yang berupaya menggerus dan mengancam budaya dan adat istiadat krama Bali.
Radikalisme yang mengancam: NKRI dan Pancasila kita. Mari kita bercermin dengan keadaan yang berlangsung di Suriah, Irak dan juga Mesir.
Misionarisme yang sudah berlangsung lama, semenjak tahun 30’an  pada masa depresi ekonomi, tetua di Bali menyebutnya xaman meleset, karena sulitnya kehidupan. Diikuti oleh eksodus pindah agama yang menyertainya. Bukan sesuatu yang sulit. Karena jalan pedang pembebasan adalah penderitaan. Hanya saja sebagian besar orang Bali, tidak siap untuk ini.
Untuk tidak menjadi salah mengerti, penderitaan bagi bhakta yang vairagya, adalah hal biasa. Contohnya: para suci di Bali yang mewariskan ratusan dan bahkan  ribuan Pura di Segara – Ukir Bali. Dalam sejarah kontemporer kita bisa menyebut: Mahatma Gandhi dan juga Nelson Mandela. Ucapan Mandela yang sangat terkenal: selama 28 tahun saya di penjara, saya tidak memupuk dendam, tetapi penjara yang mengkrangkeng saya secara fisik justru membebaskan saya mengembangkan cita-cita pembebasan dan kemanusiaan.
Di era kebebasan ke depan termasuk kebebasan ekspresi sikap keagamaan, semestinya Desa Adat mempunyai kebijakan penapisan/penyaringan terhadap aneka rupa ekspresi keagamaan yang datang dari luar desa, dengan kriteria yang jelas. Tidak untuk menutup diri, tetapi untuk meyakinkan ekspresi yang dimaksud tidak bersifat negatif terhadap tradisi agama dan budaya yang telah mengakar. Catatannya: tradisi yang pantas dilestarikan sesuai dengan tantangan zamannya.
Keterbukaan konstruktif tidak saja perlu, tetapi juga sangat penting, untuk dinamisasi kehidupan masyarakat adat. Karena dalam fakta sejarah, masyarakat yang cerdas merespons perubahan, termasuk perubahan sikap keagamaan konstruktif, yang akan mampu “berselancar ” dalam semangat dinamika zamannya. Sebaliknya yang menutup diri dan bahkan anti perubahan, punya risiko paling besar untuk mengalami kepunahan.
Ucapan Mahatma Gandhi yang terkenal, berenang dalam tradisi adalah kenikmatan, tetapi ditenggelamkan oleh tradisi adalah keburukan.Pesan moralnya, harus ada sikap kritis terhadap tradisi.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, Ketua Pusat Kajian Hindu dan Ketua FPD.( Forum Penyadaran Dharma ), Denpasar.