Denpasar (Metrobali.com)-
 Anggota Komisi X DPR Nyoman Dhamantra mengusulkan pemberian dana bagi hasil (DBH) untuk kegiatan pelestarian budaya masyarakat Bali.
“Sekitar 70 hingga 80 persen dari delapan miliar dolar AS devisa negara yang mengalir ke Indonesia, disumbangkan dari Bali,” kata anggota DPR asal Bali di Denpasar, Sabtu.
Menurut dia, seharusnya dalam format dana bagi hasil pemerintah pusat itu tidak hanya memberikan perimbangan keuangan pada daerah-daerah penghasil sumber daya mineral.
Daerah yang mempunyai potensi sumber daya budaya atau dari kegiatan eksplorasi budaya pun, lanjut dia, juga berhak menerima DBH.
“Mau tidak mau harus dilakukan karena pariwisata hidup dari budaya. Jika tidak ada keunikan budaya yang ditawarkan Bali, tentunya wisatawan mancanegara tidak akan datang jauh-jauh ke sini,” kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.
Selama ini, ungkap dia, beban pelestarian budaya tersebut ditanggung masyarakat Bali. Mereka memperbaiki berbagai bangunan dan melaksanakan kegiatan kebudayaan secara swadaya, namun hasil pelestarian itu dinikmati secara luas oleh dunia pariwisata tanpa ada imbal balik yang seimbang.
“Seyogyanya ‘domain privat’ pelestarian budaya ini diubah menjadi ‘domain’ publik yang ditanggung pemerintah dan masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya lagi,” katanya.
Dengan demikian, lanjut dia, kesejahteraan masyarakat Bali dapat meningkat seiring dengan perkembangan pariwisata. Bukan malah masyarakat Bali menjadi korban industri pariwisata.
Sejauh ini Pulau Dewata hanya mendapat DBH dari pendapatan pajak bumi dan bangunan serta pajak perseorangan, sedangkan perolehan dari pajak perusahaan yang beroperasi di Bali itu nihil.
“Alasan pemerintah karena perusahaan hotel-hotel di Bali neracanya terkonsolidasi di Jakarta dan NPWP-nya juga di Jakarta. Dengan sistem pemerintahan yang otonom, seharusnya hal itu tidak didaftarkan semuanya terkonsolidasi di pusat,” katanya.
Dhamantra menambahkan, seharusnya sistem keuangan juga mengikuti sistem politik. Pajak dipungut sesuai dengan tempat investasi itu berada.
“Itu sudah kami bahas dalam rapat kerja dengan menteri keuangan dan sudah dimasukkan dalam rencana kerja program pemerintah. Celakanya, walaupun telah masuk namun tidak diinformasikan dari Menkeu ke Menbudpar,” ujarnya.
Akibatnya, kata dia, hingga saat ini belum mendapatkan respons.
“Untuk optimalitas pembiayaan pelestarian budaya juga diperlukan revisi UU tentang Provinsi Bali selain telah memasukkan klausul pelestarian budaya dalam UU tentang Kebudayaan yang saat ini sedang dibahas di DPR,” tambahnya. (ant)