Dari Kemah Pelatihan Pelatihan Produksi Film Dokumenter – DFF 2017

_MG_0712

Denpasar, (Metrobali.com) –

Sebagai wahana untuk mengekspresikan gagasan atau pandangan mengenai sebuah realitas tertentu, film dokumenter sesungguhnya memiliki hubungan berkesesuaian dengan realitas yang difilmkan. Namun dalam perkembangannya hal itu tak selalu terjadi. Saat ini film dokumenter selalu melibatkan perlakuan kreatif untuk keperluan narasi atau pun artistik yang tetap meyakinkan bahwa subyek, situasi, atau peristiwa yang difilmkan benar-benar terjadi dalam dunia nyata. Karena itu, penguasaan teknis maupun artisktik harus dikuasai dengan baik oleh para pembuat film dokumenter.  Dan, pengetahuan mengenai hal itu sebaiknya dikuasai sedini mungkin.

Demikian Panji Wibowo, sutradara film dokumenter jebolan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), di sela-sela kesibukannya memaparkan materi mengenai proses produksi film dokumenter pada Kemah Pelatihan Produksi Film Dokumenter untuk SMP-SMA/SMK Sekota Denpasar dalam rangkaian Denpasar Film Festival yang puncaknya akan digelar pada September mendatang. Kemah pelatihan tersebut digelar di tepian Danau Buyan, Buleleng, selama lima hari dari tanggal 7 Maret hingga 11 Maret 2017.  Menurut Panji, selain cara membuat yang benar, generasi baru kita juga perlu diajari mengenai cara “membaca” film yang benar.

“Mereka harus paham bahwa sejak lama film dokumenter diposisikan sedemikian rupa, bahkan diberi muatan ideologi dan ‘berpihak’ sehingga tidak pernah menjadi sesuatu yang ‘netral’. Karena itu saat menontonnya mereka harus melakukan interpretasi secara hati-hati sebagaimana halnya menonton film fiksi,” ujarnya.

Menurut Panji, agar para peminat film dokumenter mendapat pemahaman yang baik tentang media tersebut, pembelajaran haruslah ditata secara baik mulai dari sejarah, tata bahasa, teknik, manajemen, dan pengetahuan-pengetahuan lain yang berkait.

“Dengan pembelajaran yang baik dan tepat, para pembuat dokumenter kita akan menjadi duta-duta yang cemerlang dalam menyuarakan realitas untuk kemuliaan bangsanya,” imbuh aktivis gerakan perfilman yang juga alumni Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara Jakarta itu.

Rangkaian DFF

Sebagaiman telah diketahui, Denpasar Film Festival (DFF) adalah ajang film yang diselenggarakan Yayasan Bali Gumanti yang disokong penuh oleh Pemerintah Kota Denpasar. Festival ini sudah berlangsung sejak 2010 dan lebih memfokuskan diri di bidang dokumenter. Selain lomba, festival ini menggelar pelatihan, pendampingan produksi,  grant program, pemutaran film, lomba resensi film, pameran foto esai, diskusi, lomba film dokumenter, dan malam penganugerahan.

Sebagaimana tahun lalu, rangkaian program Denpasar Film Festival tahun ini pun diawali dengan Kemah Pelatihan Produksi Film Dokumenter. Sebelumnya, pelatihan dilakukan di seputaran Kota Denpasar dan dengan metode pembelajaran dalam kelas. Sejak tahun 2016, pelatihan diubah dengan pendekatan perkemahan di mana peserta dimungkinkan untuk dapat berinteraksi lebih lama dengan para pemateri dan peserta lain untuk menjalin keakraban  dan semangat bekerjasama sebagai tim produksi film dokumenter.

Pada pelatihan tahun ini, instruktur utama pelatihan adalah Panji Wibowo. Panji memaparkan modul rancangannya sendiri yang telah diterbitkan atas sponsor Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia. Modul macam itu terbilang masih langka di Indonesia.

Di sela-sela paparan Panji, tampil Rio Helmi (Fotografer Senior, Juri DFF), I Wayan Juniartha (Juri DFF, Jurnalis, Ketua Program Ubud Writers and Readers Festival, Editor The Jakarta Post), Anton Muhajir (Jurnalis, Pengelola Sloka Institute dan Editor BaleBengong.net), Totok Parwatha (Fotografer Senior) dan Olin Monteiro (Aktivis Perempuan, Produser Film Dokumenter dan Koordinator Peace Woman Across The Globe Indonesia) untuk memberi tambahan wawasan yang berguna bagi peserta dalam proses pembuatan film dokumenter.

Sebagaimana tahun sebelumnya, peserta pelatihan tahun ini adalah pelajar SMP, SMA dan SMK di Kota Denpasar yang dipilih melalui seleksi. Ada sepuluh kelompok yang terdiri dari satu kelompok siswa SMP, empat kelompok siswa SMA dan lima kelompok siswa SMK. Mereka merupakan kelompok yang berhasil lolos dari 27 kelompok peserta seleksi.

“Setiap kelompok terdiri dari sutradara, penulis cerita, kameramen atau editor. Pada jam-jam tertentu peserta dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok mengikukti pelajaran videografi, kelas lainnnya mengikuti pelajaran fotografi,” papar Budi Antara, Ketua Panitia Kemah Pelatihan.

Dalam perkemahan, selain teori, peserta juga dituntun melakukan praktik lapangan tahap demi tahap. Pada akhir pelatihan semua kelompok videografi diwajibkan menyerahkan karya dokumenter berdurasi dua hingga empat menit, sedangkan kelompok fotografi diwajibkan menyerahkan masing-masing dua foto esai yang mereka buat sebelum dan sesudah mendapat pelajaran.

Direktur Denpasar Film Festival, Agung Bawantara memaparkan bahwa kemah pelatihan film dokumenter ini merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dari program DFF lainnya yakni Grant Program  dan Pemeran Project 88. Project 88  adalah pameran foto esai di mana setiap fotografer menghadirkan delapan karya foto dilengkapi dengan delapan alenia paparan (teks).

“Jadi ini kait berkait dalam konsep penyelenggaraan terpadu yang menyakup edukasi, produksi, kompetisi, ekspresi, eksibisi, dan apresiasi,” ujar Agung.

Walikota Denpasar IB Rai Dharmawijaya Mantra pada sambutan yang dibacakan Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, Dra. Ni Nyoman Sujati, MM, pada upacara pelepasan peserta menyatakan, melalui kemah pelatihan produksi film dokumenter ini diharapkan semakin banyak bertumbuh sumber daya manusia di bidang perfilman yang berkualitas di Kota Denpasar.

Rai Mantra juga berharap setelah pelatihan peserta terus dituntun dan diarahkan agar menjadi entrepreneur-entrepreneur di bidang perfilman yang tidak saja mampu membuat karya untuk kesenangan, melainkan turut membangun dan menggerakkan indutri kreatif di Kota Denpasar.

Tentang penyelenggaran festival yang terintegrasi dari sejak pelatihan, pendampingan produksi, apresiasi, hingga lomba film ini, Panji Wibowo mengatakan bahwa menurut pengamatannya ini hanya satu-satunya di Indonesia.

“Sepanjang pengamatan saya mengikuti berbagai festival film di Indonesia, bahkan di dunia, belum pernah saya temui penyelenggaraan festival terintegrasi macam ini,” tandasnya. RED-MB