DESA PEKRAMAN
Oleh:
I Gede Sutarya
Dosen Fakultas Brahmawidya IHDN Denpasar
 
Arus besar menjadikan desa pakraman sebagai desa dinas, semakin membesar. Suara-suara dari majelis desa pakraman mulai mengemuka tentang hal itu. Hal ini memang mendapatkan peluang dari undang-undang pemerintahan desa, untuk menempatkan kesatuan adat sebagai pemerintahan otonom terbawah. Kesempatan ini juga memberikan peluang bagi kesatuan adat untuk mengelola desanya sesuai dengan adat setempat. Bahkan pengelolaan ini akan mendapatkan dukungan pemerintah sebesar Rp 1,4 Milliar per tahun. Kesempatan ini memang merupakan kesempatan yang besar, tetapi apakah ini akan menguntungkan Bali di masa-masa yang akan datang?
Desa pakraman, pada awalnya memang merupakan pemerintahan otonom terbawah dari raja-raja Bali pada masa Bali Kuno. Desa pakraman pada Prasasti Kahen sekitar abad ke-12 disebut dengan “kramani”, yang merupakan turunan dari Bahasa Sanskerta “Gramani” yang artinya kesatuan masyarakat terkecil (desa). Tetapi pada masa itu, masyarakat Bali adalah masyarakat homogen, dimana setiap “kramani” mendapatkan kewajiban untuk mengelola pura yang merupakan kewajiban raja-raja ketika itu. Pada saat itu, “kramani” terdiri dari sekitar 800 rumah yang disebut dengan “gebog domas”. Karena itu, wilayah “kramani” sebenarnya sangat luas membentang dari hulu sungai sampai wilayah hilir yang sawahnya dialiri hulu sungai itu. Di hulu sungai biasanya berdiri pura besar, seperti misalnya di Kramani Bangli terdapat Pura Kahen yang dekat dengan hulu Sungai Melangit yang bernama Taman Sari.
Kramani ini terbagi lagi dalam kesatuan masyarakat yang berdasarkan aliran bendungan yang disebut dengan “Subak” yang khusus mengelola saluran air ke sawah-sawah. Kramani ini juga terbagi lagi menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih kecil, yang kemudian disebut “banjar”. Karena itu, luas wilayah “kramani” sangatlah besar sehingga pada masa Majapahit di Bali (zaman Gelgel), wilayah “kramani” dijadikan “anglurah”, sehingga “Kramani” Bangli pun kemudian dipimpin “anglurah” pada masa Kerajaan Majapahit di Bali (Gelgel) sekitar abad ke-15 Masehi. Terinspirasi dari “kramani” inilah, Gelgel menetapkan bahwa setiap satu “anglurah” (pejabat kerajaan terbawah) memimpin sekitar 800 kepala keluarga.Mulai saat itu, daerah otonom pemerintahan terbawah dipegang “anglurah” bila pejabatnya ditunjuk oleh raja. Sedangkan bila pejabatnya merupakan pejabat asli dari daerah setempat disebut dengan “pemekel gde”.
Setelah “kramani” berkembang menjadi “anglurah” pada masa Gelgel, maka banjar-banjar berkembang menjadi desa pakraman sehingga desa pakraman kemudian berada di bawah “anglurah”. Tetapi kumpulan ini terlihat sekali tidak mengakui “anglurah”. Kesatuan-kesatuan ini mengelompokan diri ke dalam kesatuan adat yang terpisah dengan pemerintahan, yang disebut dengan “gebog domas”. Setiap “gebog domas” dipimpin seorang pemimpin spiritual yang disebut dengan “Jro Gde”. Kedudukan “Jro Gde” ini menyaingi kedudukan “Anglurah” yang memerintah secara formal. Melalui “gebob domas” inilah, orang-orang Bali melakukan perlawanan terhadap para “anglurah” yang mencoba memasuki kehidupan beragama orang Bali. Sehingga sebagai jalan tengah muncul konsep kuasa “sekala-niskala”. Kekuasaan sekala dipegang para anglurah, sedangkan kuasa niskala dipegang “Jro Gde” yang memimpin “gebog domas”. Hanya “dalem” (raja) yang mengambil peran tunggal sebagai kuasa “sekala-niskala”.
Pada masa berikutnya, kuasa “dalem” jatuh karena pemberontakan Kryan Agung Maruti sekitar abad ke-16-an. Setelah Kryan Agung Maruti dapat dikalahkan maka tidak ada satupun raja yang mengambil peran “dalem” karena merasakan bahwa kuasa spiritual “dalem” sudah tercemar. Raja Klungkung yang mewarisi Gelgel tidak lagi menyebut dirinya “dalem”, tetapi telah menggunakan gelar “Dewa Agung” yang hanya mengambil peran “sekala” seperti penguasa-penguasa Bali lainnya yang merupakan bekas “anglurah”. Bahkan gelar resminya seperti yang tercatat pada satu pelinggih di Besakih adalah I Dewa Kepasekan. Karena itu, kekuasaan spiritual menjadi terpecah-pecah ke dalam “Jro Gde” yang dalam perjalanan kerap juga terlibat dalam pertikaian politik dengan para bekas “anglurah” yang menyebabkan hancur-leburnya tatanan ini.
Pemerintah kolonial Belanda mendapatkan posisi Bali dalam kondisi seperti itu, sehingga Belanda mengambil jalan tengah pemisahan kekuasaan adat dengan pemerintahan. Hal itu terjadi karena Belanda memahami benar bahwa desa pakraman (yang disebut desa adat) merupakan kekuasaan agama. Tetapi untuk mengendalikan kekuasaan agama ini, Belanda menyerahkan pengaturannya kepada para “regent” sebagai kepala daerah swapraja. Tetapi “regent” bukanlah orang suci seperti “dalem”. Regent adalah pejabat sekuler di bawah pemerintah kolonial Belanda, yang melaksanakan pemerintahan atas nama Raja Belanda. Karena itu, tidak pada tempatnya untuk menempatkan regent sebagai kepala agama, sebab ini akan sama artinya dengan menyerahkan kuasa agama kepada Raja Belanda.
Oleh karena itu, walaupun terjadi posisi saling menghormati antara Jro Gde dengan Regent maka posisi kepala agama tetap berada pada posisi Jro Gde, yang biasanya memimpin satu pura besar yang di”sungsung” kumpulan desa pakraman. Salah satu contohnya adalah Jro Gde Batur merupakan koordinator beberapa desa pakraman dalam hal spiritual untuk memohon kesuburan kepada Dewi Danuh. Ki Tincap dan Ki Tinggi sebenarnya merupakan koordinator dari desa-desa pakraman “pra gunung” di sekitar Gunung Agung untuk mengelola Besakih, yang kemudian perannya diambil “anglurah”.
Kondisi seperti inilah yang diwarisi pemerintahan republik pada Tahun 1950-an. Karena itu, untuk melakukan koordinasi keagamaan, umat Hindu membentuk parisada sekitar tahun 1957. Parisada ini merupakan majelis umat Hindu, sehingga desa pakraman pada awalnya merupakan anggota parisada. Tetapi belakangan terjadi kerancuan antara adat dan agama, sehingga Gubernur Bali kemudian membuat majelis pembinaan lembaga adat yang disingkat MPLA. Sedangkan di kabupaten dibentuk badan pembinaan lembaga adat yang disingkat BPLA. Kedua lembaga ini terpisah dengan parisada.
Kerancuannya semakin melebar ketika itu berubah menjadi Majelis Desa Pakraman melalui Perda Provinsi Bali. Adat semakin memperlihatkan posisi tersendiri, yang terpisah dengan agama. Padahal adat Bali sesungguhnya merupakan kesatuan homogen umat Hindu yang harus dibina dalam kerangka besar agama Hindu. Karena itulah, hal ini akan semakin rancu lagi manakala desa pakraman menjadi wilayah otonomi pemerintahan. Desa pakraman yang merupakan lembaga homogen (khusus umat Hindu) akan menjadi pengelola masyarakat heterogen. Hal ini juga akan semakin mengaburkan peran-peran desa pakraman dalam mengelola tempat-tempat suci umat Hindu di Bali. Bahkan ini akan menjadi celah bagi dicampurinya urusan-urusan tempat suci oleh urusan-urusan pemerintahan yang heterogen dan sekuler.
Jika urusan sekuler dan suci tercampur maka desa pakraman akan menjadi korban dari janji-janji undang-undang desa. Upah yang sebesar Rp 1,4 Milliar per tahun, akan menjadi beban dari desa pakraman. Desa pakraman akan sering menjadi stempel dari program-program pemerintah yang sekuler, yang bahkan sering berpengaruh negative terhadap lingkungan. Karena itu, keuntungan yang didapatkan, akan jauh lebih kecil dibandingkan kerugian yang akan terjadi dalam kerusakan lingkungan, dan tercemarnya kawasan suci.
Oleh karena itu, pola pemisahan kuasa sekala-niskala seperti yang dipilih Majapahit dan kolonial Belanda, adalah pilihan pragmatis yang lebih tepat. Desa pakraman harus dibiarkan menjadi lembaga agama Hindu, atau menjadi kekuatan moral. Sebab peran itulah yang telah diambilnya pada masa-masa belakangan ini, setidaknya dari sekitar abad ke-15 – 21 Masehi ini. Walaupun “kramani” sebelumnya merupakan daerah otonom pemerintahan, tetapi itu telah menjadi sejarah belaka. Faktanya, desa pakraman adalah lembaga yang mengambil peran-peran agama. Kewajiban desa pakraman adalah melaksanakan “Panca Yadnya”, yaitu mengelola upacara dan pura, menghidupi orang-orang suci, memuliakan leluhur, memuliakan manusia melalui moral, dan menjaga keharmonisan lingkungan. Karena itu, desa pakraman lebih baik menitikberatkan peran ini sehingga bisa menjadi pelindung “spirit” Bali.
Dalam melaksanakan kewajiban itu, desa pakraman sebaiknya berada dalam Parisada Hindu Dharma, tidak lagi menjadi kumpulan masyarakat adat yang terpisah dari agama. Sebab agama dalam kerangka sosial harus membangun tiga tumpuan yaitu “sanggam” (kelompok umat), dharma (moralitas), dan guru suci. Hal itulah yang oleh masyarakat Bali disebut Tri Guru. Sanggam merupakan Guru Wisnu, yang mengatur kehidupan. Dharma adalah Guru Brahma, yang menjalankan ajaran suci, dan Guru Suci adalah Guru Shiwa yang memberikan tuntunan untuk menuju kebahagiaan rohani.
Konsep ini merupakan konsep Hindu yang terbangun pada masyarakat Kalingga. Konsep ini kemudian diambil dalam kerangka agama Mahayana oleh Kerajaan Asoka (sekitar 200 SM), yang kemudian menjadi Sanggam, Dhamma, dan Buddha dalam Mahayana. Konsep ini yang membawa kemajuan pada masyarakat Hindu sebelum Buddha. Konsep ini pula yang membangun umat Buddha menjadi besar dan jaya pada zamannya. Karena itu, konsep ini perlu direalisasikan lagi dalam kontek modern ini melalui desa pakraman yang merupakan kesatuan umat Hindu yang berada di bawah majelis umat Hindu. (GS-MB)