sby jokowi prabowo sahur bersama

Jakarta (Metrobali.com)-

Pasca-Pilihan Umum Presiden 2014 yang bersuasana kekeluargaan di antara kontestan yang bertanding, yakni pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, agaknya menjadi tonggak pencapaian demokrasi di Tanah Air.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut andil dalam membangun suasana kerukunan yang menjadi dambaan mayoritas warga Indonesia itu. Dalam acara buka bersama di Istana Negara Jakarta pada Minggu (20/7), Presiden Yudhoyono mengundang kedua pasangan capres-cawapres untuk hadir.

Kedua kontestan tampak saling berinteraksi dalam suasana kekeluargaan. Acara itu berlangsung sejuk dengan Presiden sebagai tuan rumah yang hendak mengajak agar kedua belah pihak saling legowo ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil Pilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014 pada Selasa (22/7) sesuai dengan jadwal.

Setelah sebulan bertarung melalui kampanye, masing-masing pasangan capres-cawapres yang ditopang oleh tim sukses dan jutaan pendukung masing-masing, berbagai hal telah berlangsung.

Pengalaman berkampanye itu hendaklah menjadi refleksi dan bahan kontemplasi kedua belah pihak. Tentu ada ekses-ekses yang berlangsung yang membuat suasana kampanye agak menegangkan. Kampanye negatif dan hitam terjadi di sana-sini. Tentu kampanye yang inkonstitusional itu dilakukan oleh pendukung kontestan yang sulit untuk dikendalikan oleh kedua kontestan.

Namun, ekses dari kampanye negatif yang kurang memberikan unsur edukasi politik itu akhirnya terlewati dan kedua kontestan telah bersilaturahmi secara kekeluargaan. Para kontestan telah sepakat untuk membangun demokrasi Indonesia yang matang, dan damai.

Kemenangan dalam Pilpres 2014 akhirnya harus dipahami sebagai kemenangan rakyat Indonesia. Dari titik pandang inilah, presiden terpilih pada Pilpres 2014 adalah presiden yang harus memberikan manfaat bagi rakyat, terutama rakyat yang masih terpinggirkan dari proses pembangunan.

Sekat-sekat politik perlu diruntuhkan. Para politisi memang diberi peluang untuk memainkan peran sebagai oposisi atau mitra dalam bentuk koalisi. Presiden terpilih dituntut berperan dalam menyejaterahkan rakyat dan politisi yang beroposisi juga punya perspektif esensial dalam proses penyejahteraan rakyat tersebut.

Dengan berpijak pada pemahaman bahwa presiden terpilih harus bekerja untuk rakyat yang terpinggirkan itulah maka menempati posisi kepresidenan ibarat sebuah pekerjaan rumah dan bukan pesta menikmati kekuasaan.

Harus diakui, secara material, politisi yang berkompetisi dalam ajang Pilpres 2014 adalah pribadi-pribadi yang tergolong makmur sejahtera yang memiliki harta kekayaan dalam hitungan puluhan miliar rupiah hingga triliunan rupiah. Sungguh masuk akal jika ada seorang kolumnis budaya yang mengajukan tuntutan agar presiden terpilih mempunyai sisi-sisi keyududan atau asketisme dalam melakoni hidup.

Presiden yang yudud adalah presiden yang berempati pada kondisi rakyat yang masih berjuang jungkir-balik dalam mendapatkan sesuap nasi setiap hari. Empati itu direfleksikan dalam laku sederhana sang presiden. Orang-orang yang sulit makan di Tanah Air, yang masih membutuhkan bantuan dalam bentuk pembelian beras dengan harga murah, masih jutaan jumlahnya.

Kemenangan Pilpres 2014 sebagai kemenangan rakyat harus lah dimaknai sebagai pemihakan pada kelompok rakyat yang masih marginal tersebut, dengan membuat kebijakan-kebijakan politik ekonomi yang berpihak ke rakyat kecil.

Dengan pilihan kebijakan seperti itulah maka Pilpres 2014 menjadi bermakna. Demokrasi bersuasana kekeluargaan itu juga mendapatkan signifikansinya jika yang menikmati hasil-hasil pembangunan yang utama adalah mereka yang masih berada di garis kemiskinan.

Jika suasana damai dan kekeluargaan yang dibangun pasca-Pilpres 2014 berbelok menjadi pesta untuk sekelompok tim sukses dan pendukung presiden terpilih, sungguh ironi yang terjadi.

Politik pro kroniisme perlu dihindarkan oleh presiden terpilih. Seringkali dalam kekuasaan, godaan material yang bisa diatasi oleh sang penguasa puncak, masih menyisakan persoalan jika orang-orang di lingkaran kekuasaan itu memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, yang dalam kosmologi Jawa sering disebut sebagai aji mumpung.

Tak pelak lagi, dalam setiap pertarungan politik, sang pemenang akan menghadapi banyak pihak yang menuntut balas budi dalam bentuk macam-macam. Ada yang meminta posisi-posisi strategis, ada juga yang meminta pemihakan dalam bentuk kebijakan politik ekonomi yang menguntungkan.

Di sinilah diuji ketegasan sang presiden terpilih. Yang perlu dicamkan barangkali sebuah prinsip berikut ini: yang memenangkan seorang presiden adalah suara jutaan rakyat. Kepada rakyat yang berjuta-juta itulah sesungguhnya seorang presiden pertama-tama harus memberikan balas budinya. Namun, karena jabatan presiden bukan lagi untuk kelompok tertentu, maka kepada seluruh rakyat itulah balas budi harus diberikan.

Pada dasarnya, sang presiden terpilih, yang menang dalam Pilpres 2014, adalah sosok yang masih harus berjuang lagi untuk memenangkan martabat dirinya sebagai presiden yang berhasil dalam lima tahun ke depan.

Sang presiden terpilih kini sedang dituntut untuk berhasil menjalankan amanat suara rakyat yang mempercayakannya mengelola potensi dan aset bangsa. Jadi sesungguhnya belum ada kemengangan final dan sebagai sosok yang manusiawi, sang presiden terpilih setiadaknya mesti punya impian untuk menjadi presiden yang lebih baik dari pendahulunya.

Untuk mencapai impian itu, berbagai persoalan sedang menghadang dirinya. Untuk mencapai impian itu juga sangat dibutuhkan pembantu-pembantu yang bekerja untuk kepentingan bangsa.

Seorang politisi yang mempunyai jiwa pelayanan pada rakyat banyak, itulah parameter karakter yang dibutuhkan oleh presiden terpilih untuk menentukan siapa yang layak menjadi pembantu alias menteri-menterinya. Jadi bukan politisi yang kaya raya yang konglomerat, yang akhirnya hanya membuat kebijakan yang berpihak pada perusahaan-perusahaan yang dimilikinya dan kelompok bisnisnya.

Jebakan untuk memilih pembantu atau menteri dari figur yang tidak prokerakyataan selalu ada. Presiden terpilih pasti menghadapi banyak intrik politik ketika harus menentukan siapa yang pantas menjadi pembantu dalam kabinet yang disusunnya.

Dalam pengalaman sebelumnya, koalisi banyak partai ternyata menimbulkan problem serius, dan mendatangkan malapetaka dalam bentuk tingginya kepentingan yang bercokol pada diri menteri anggota koalisi parpol itu.

Koalisi tanpa syarat agaknya menjadi jalan keluar dari problem koalisi pemerintahan sebelumnya. Istilah koalisi tanpa syarat itu cukup menarik. Istilah itu mengingatkan istilah cinta agape, atau cinta tanpa syarat, yang menjadikan cinta itu jadi bermakna.

Jadi presiden terpilih diharapkan punya daya kendali atas keputusan politik termasuk dalam menetukan orang-orang yang dipercaya untuk menjadi pembantu dalam kabinetnya. AN-MB