Demi Tujuan Kekuasaan, Agama, Adat dan Budaya Dipertaruhkan
Ilustrasi akibat perang Suriah gedung dan bangunan bertingkat luluh lantah
Denpasar, (Metrobali.com)-
Agama yang jadi doktrin kaku, hukum mutlak yang mematikan rasionalitas, alat kekuasaan bisa menjadi penghancur peradaban. Sejarah agama-agama membuktikan itu, yang terakhir krisis politik dan kemanusiaan yang diderita negara bangsa Suriah.
Hal itu dikatakan pengamat politik dan sosial Jro Gde Sudibya, Rabu 15 Februari 2023 menyikapi berbagai perkembangan politik, sosial dan ancaman kemanusiaan di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia.
“Hanya karena politik.identitas, kini Suriah dan tetangganya hancur ber-keping-keping,” kata Jro Gde Sudibya.
Dikatakan, kondisi Suriah, merupakan tragedi. Presidennya yang dokter mata yang berempati pada rakyatnya, tetapi adiknya yang militer bersikap keras terhadap gerakan pembaruan dari gerakan “musim semi” di dunia Arab, melahirkan krisis politik berkepanjangan di negara itu yang punya tradisi panjang multi kulturalisme. Dan, akibatnya, terjadi tragedi kemanusiaan, suku asli Irak yang minoritas, berbahasa Ibu sama dengan Yesus Kristus dari Nazareth, mengalami pembasmian etnis (cleansing ethnic).
Sudibya mengingatkan, bahwa peristiwa yang sama bisa saja terjadi di negeri ini, kalau elitenya menggunakan isu adat, budaya dan agama sebagai instrumen dalam kompetisi kekuasaan, dan menggunakan politik “bumi hangus” , kompetisi politik at all cost.
“Di sini arti penting politik sebagai amanah, keutamaan dalam politik dan sikap kenegarawanan. Belajar dari Suriah, ongkos politik yang terlalu besar untuk keberlanjutan negara bangsa,” katanya.
Bagaimana dengan fenomena huhungan masyarakat di Bali? Bali, katanya masyarakatnya harus waspada. Gubernur Wayan Koster (WK) sudah sejak lama menggunakan politik identitas (baca : Agama Adat, seni dan budaya Bali) untuk tetap melanggengkan kekuasaan 2024.
“Tapi, sayang para akademisi yg berada digaris depan yg semestinya bisa memberi pencerahan terkooptasi dengan kekuasaan, apalagi para dosennya banyak berotientasi kapital,” kata Jro Gde Sudibya.
Dari pengamatan di ruang ruang publik di Bali, kata Sudibya sepek terjang lembaga umat Hindi di bawah payung PHDI yang belum selesai sekesai masalah yang dihadapinya.
“Dan juga PHDI Bali yang tidak menjalankan tugas “Kenabiannya” mencerahkan masyarakat terutama para elite politik, untuk tidak bermain “api” menggunakan isu: adat, budaya dan agama, yang bisa memecah belah masyarakat, dan merendahkan taksu adat, budaya dan agama, yang semestinya kita junjung bersama,” katanya. (SUT-MB).
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.