I Made Pria Dharsana

Aturan properti untuk warga asing ganjal investasi. Benarkah?

Dalam satu dekade terakhir, perkembangan perekonomian global bertumbuh sangat cepat, membuat berbagai negara saling bersaing berlomba untuk meningkatkan sektor diberbagai bidang beberapa yakni teknologi, infrastruktur sampai sumber daya manusia yang mumpuni, dalam rangka meningkatkan perekonomian di satu negara dalam era globalisasi melalui investasi dalam negeri maupun diluar negeri, investasi langsung maupun tidak langsung.

Hal ini juga membuat Indonesia mau tidak mau dengan segenap kemampuannya untuk berusaha mengupayakan berbagai cara salah satunya mensejahterahkan kedaulatan rakyat dan membuat negara semakin maju kedepannya, di era kemajuan revolusi teknologi 4.0 . orang melakukan dan menjalankan bisnis bisa darimana saja tanpa dibatasi tempat dan waktu. Salah satunya produk pemerintah yang digadang-gadangkan untuk meningkatkan  pertumbuhan dibidang ekonomi yakni melalui investasi dan mengundang berbagai pihak khususnya investor, melakukan kerjasama bilateral atau multilateral antar pemerintah dan negara-negara maupun berbagai warga negara asing datang untuk memberikan suntikan dana segar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Dengan kehadiran perusahan-perusahan asing yang menanamkan modalnya tentu diantaranya membawa tenaga kerja asing termasuk juga ada orang asing yang berkeinginan mempunyai property di indonesia. Dalam bidang property atau perumahan  peraturan yang mengatur mengenai hak untuk orang asing diatur dalam  Undang-Undang no. 6 tahun 2011 dan Undang-Undang No. 1 tahun 2011 mengenai kawasan permukiman yang mengatur mengenai hunian rumah yang kemudian keluar peraturan pemerintah  nomor 103 tahun 2015 sebagai pengganti dari PP nomor 41 tahun 1996 tentang rumah tempat tinggal atau hunian bagi orang asing yang berkedudukan di indonesia. Ada beberapa pengertian yang mendasar mengenai jalan awal sampai adanya isu krusial mengenai pp 103 tahun 2015 sebelum masuk lebih dalam mengenai kebijakan dan pengaturan pemerintah di bidang pembangunan perekonomian industrial.

Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman mengatur penghunian rumah oleh orang asing, pada Pasal 52, tertulis bahwa: 1.orang asing dapat menghuni atau menempati rumah dengan cara hak sewa atau hak pakai. 2.Ketentuan mengenai orang asing dapat menghuni atau menempati rumah dengan cara hak sewa atau hak pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dapat disimpulkan menurut penjelasan undang-undang perumahan dan kawasan pemukiman mengatur penghunian rumah oleh orang asing dengan mendapat hak sewa atau pakai. Hak pakai atau sewa itu sendiri tentu saja pemegang hak sekunder dibebankan diatas dari pemegang hak primer yaitu Hak Milik. Secara ringkas Hak sewa menurut Pasal 44 UUPA 5 tahun 1960 adalah orang yang berhak memiliki hak atas tanah orang lain atas dasar sifat sewa-menyewa yang ditentukan dalam jangka waktu tertentu dan membayar uang sewa kepada pemiliknya. Begitu pula Hak pakai menurut Pasal 41 UUPA 5 tahun 1960, adalah hak untuk menggunakan/memungut hasil dari tanah yang dikuasai oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau pengelolaan tanah adalah yang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Hak pakai dalam hal ini pemberiannya terhadap orang asing yang menghuni bangunan atas tanah Negara ataupun hak milik terhadap nilai kehadirannya di Indonesia, yakni : Orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia secara menetap (penduduk Indonesia); dan Orang asing yang tidak tinggal di Indonesia secara menetap melainkan hanya sewaktu-waktu.

Dengan kata lain yang perlu diketahui daripada berkedudukan di Indonesia tidak harus diartikan sama dengan tempat kediaman atau domisili, akan tetapi bila orang asing tersebut melaksanakan kegiatan ekonomi di Indonesia dan pada waktu kegiatan tersebut dilakukan secara berkala. Dan dalam melakukan kegiatan tersebut mereka wajib memiliki tempat tinggal atau hunian bila secara berkala tetapi harus datang untuk mengurus atau memelihara kepentingannya (lihat butir poin nomor 2 diatas) . Terdapat dua factor pembeda diantara dua golongan tersebut berhubungan dengan dokumen yang harus ditunjukkan pada waktu melakukan perbuatan hukum memperoleh rumah, yaitu : -Bagi orang asing penetap : Pemberian izin oleh Pemerintah yakni berupa Izin Tinggal Tetap; dan -Bagi orang asing lainnya : Pemberian izin oleh Pemerintah yakni berupa Izin Kunjungan atau Izin keimigrasian lainnya berbentuk tanda yang tertera pada paspor atau dokumen keimigrasian lainnya yang dimiliki oleh orang asing yang bersangkutan. Apabila dalam hal ini orang asing tersebut melakukan perjanjian yang bersifat jenis hak pakai dan orang asing tersebut ingin meninggalkan Indonesia dalam kurun waktu 1 tahun orang asing tersebut wajib mengalihkan hak atas tanahnya tersebut kepada pemilik tanah (Hak Milik dari pemiliknya Perorangan atau Negara).

103/2015 juncto PERMEN 13/2016 menetapkan ketentuan pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia, yaitu : Dengan catatan orang asing tersebut adalah warga Negara asing, bukan dwi kewarganegaraan; Orang asing tersebut sedang berkedudukan (tidak harus diartikan sama dengan tempat kediaman atau domisili). Orang asing tidak wajib tinggal di Indonesia namun harus dalam kurun waktu tertentu wajib datang atau hadir memelihara kepentingan dengan member manfaat bagi pembangunan nasional.

Lebih lanjut Dalam hal memajukan investasi tentu saja pemerintah membutuhkan peraturan- peraturan atau berupa  kebijakan yang digadang-gadang dapat mendatangkan kemudahan bagi berbagai investor. Sehingga Bekerja sama antar instansi pemerintah khususnya dalam penyelenggaraan pembentukan hukum. Berbagai insentif diciptakan, salah satunya 12 paket Kebijakan Ekonomi. Nampaknya 12 paket tersebut memberikan sinyal positif dengan memberi dampak bagi Indonesia dalam hal peringkat kemudahan berbisnis (EODB) pada tahun 2018 berada diposisi 73. Namun tidak hanya sampai disitu pemerintah juga terus menggodok pengaturan dibidang pertanahan. Yang baru baru ini muncul yakni PP 103 tahun 2015 pada pasal 2 ayat 1 tertulis bahwa orang asing boleh membeli properti yang memiliki izin tinggal yang berstatus hak pakai. Dampak dari pengaturan ini memberi perkembangan yang pesat peningkatan dalam hal transaksi maupun investasi (Roda Perekonomian) dalam wilayah Republik Indonesia. Yang didorong atas perubahan PP no 40 tahun 1996, dapat memberi dasar sebagian landasan hukum dan kepastian hukum.

Namun seiring berjalannya waktu tak hanya dampak positif yang dapat dirasakan, namun juga berbagai kritik dan saran menggerogoti kebijakan pengaturan tersebut, beberapa  diantaranya yakni dikatakan bahwa status (Hak Pakai) dinilai kurang bersifat kompetitif status (Hak Pakai) hal yang dimaksud kalah saing dari ketentuan yang ada di negara-negara lain. Alasan tersebut yakni disejumlah negara, salah satunya singapore yang sudah menerapkan hak pakai bagi warga negara asing dalam jangka waktu 99-100 tahun tanpa pecah. Pengembang perumahan meminta pemerintah mengubah aturan kepemilikan oleh warga negara asing (WNA) . salah satu usul perubahan, oleh Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinanan Pusat Real Estate Indonesia (REI), Paulus Totok Lusida, adalah perpanjangan masa hak pakai rumah tunggal bagi warga asing dapat menarik investor.  “ kenapa jangka waktu hak pakai yang diberikan kepada orang asing di Indonesia tidak diberikan langsung sekaligus 80 tahun saja ? lagi pula properti tidak dapat dibawa lari ke luar negeri. ujarnya.(koran tempo, aturan properti warga asing ganjal investasi,12 juli 2019).

Disamping itu datang lagi kritik yang menyebut ketentuan tersebut dinilai kurangnya mempunyai daya saing terhadap ketentuan property dari negara lain ; perhatian utama para pengembang perumahan (developer) adalah jangka waktu dan jenis hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh WNA. Disamping itu, pada umumnya pengembang keberatan untuk  tanah yang berstatus Hak Pakai (HP) karena: (1) jangka waktunya lebih singkat dibandingkan dengan HGB; (2) kurang diminati oleh pihak perbankan sebagai agunan (bankability); dan (3) rumah susun (rusun) yang ada pada umumnya dibangun diatas tanah-bersama itu HGB, maka WNA tidak dapat memiliki satuan rumah susun (sarusun) yang disebut sebagai Hak Milik Satuan Rumah  Susun  (HMSRS).

Adapun alasan hingga saat ini mengapa kebijakan pengaturan perumahan di Indonesia dinilai kurang kompetitif atau dinilai oleh WNA atau pihak-pihak lainnya kurang efisien karena mekanisme dalam birokrasinya dapat dipangkas dan sangat berbelit-belit, tentu saja jika kita tergesa-gesa dalam mengambil keputusan yang semata-mata hanya berorientasi pada uang (money oriented) bahwasannya hal tersebut dinilai kurang baik karena terkesan grasa-grusu walaupun tujuannya baik untuk memajukan perekonomian dalam negeri dalam hal ini (investasi).

Tapi yang perlu diketahui juga berbeda negara, berbeda juga pedoman dari negara tersebut. Seperti halnya Indonesia yang berpedoman pada Hukum, dimana semata-mata tidak mesti selalu menshortcut persoalan dengan jalan alternatif karena alasan pembangunan. Yang perlu digaris bawahi dalam baik itu kemanfaatan hukum maupun kepastian perlu ditinjau secara mendalam, peninjauan yang dimaksud yakni mengenai, bagaimana sistemasi hukumnya apakah bertentangan dengan konstitusional atau tidak.

Peraturan yang dibuat nantinya jangan sampai memberi jalur pada perkembangan investasi yang notabene produknya adalah pemberian hak tinggal bagi orang asing karena alasan bekerja di Indonesia sehingga melepas ikatan antar hukum dengan pemerintah dalam hal pengelolaan, pengawasan , karena Hukum itu sendiri bersifat kompleksitas tidak hanya semata-mata harus serba cepat. namun tidak juga berlarut-larut dalam permasalahan karena kita berada dalam tuntutan untuk bertindak cepat dan sigap dalam mengarungi bahtera era globalisasi.

Adapun alasan yang mendera pemerintahan saat ini apabila memangkas mekanisme birokrasi pengaturannya, yakni berikut alasannya Pemberian kemudahan ini justru menimbulkan permasalahan baru karena :

pertama, jangka waktu HP atas Tanah yang masih berlaku. Tentu alasan bahwa PP No. 103 Tahun 2015 dianggap sebagai lex specialis, tidak berlaku dalam hal ini. Semua ketentuan yang terkait dengan jangka waktu hak atas tanah wajib tunduk pada PP No 40 Tahun 1996 sebagai Peraturan Pelaksanaa UUPA

Kedua, PP No. 103 Tahun 2015 menjadi PP yang eksklusif, jika tidak hendak disebut diskriminatif. Bagaimana dengan jangka HP waktu untuk WNI? Bagi WNI, tidak ada perubahan jangka waktu HP, yakni tetap mengacu kepada PP No. 40 Tahun 1996, Yakni 25 Tahun, dapat diperpanjang 20 tahun, dan dapat diperbaharui selama 25 tahun.

Dalam pengaturan pemberian hak atas tanah berupa HGU, HGB dan Hak Pakai yang diberikan sekaligus perpanjangan dan pembaharuan didepan kemudian oleh Mahkamah Konstitusi menolak dengan amar putusan atas perkara Nomor 21,22/puu-v/2007 mengenai Undang-Undang Penanaman Modal, tanggal 25 maret 2008, tercantum dalam amar putusanya dikarenakan bahwa :

Pada ketentuan pasal 22 ayat (4) UU Penanaman Modal bersifat sangat ekseptional dan terbatas sehingga Negara tidak lagi dapat menjalankan kehendaknya untuk menghentikan dan memperpanjang hak-hak atas tanah sebagaimana jika hak atas tanah itu tidak diberikan. Bisa dilihat adanya pertentangan (pada Pasal 2 ayat 2 huruf a) yang menyebutkan adanya pengaturan, penyelenggaraan, peraturan, perundangan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.

Sebagai factor penghambat Negara untuk melakukan pemerataan kesempatan untuk memperoleh hak-hak atas tanah tersebut secara adil. Terdapat kata “ Sekaligus “ pada pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) dan sekaligus di muka pada ayat (4) telah mengurangi, memperlemah bahkan dalam keadaan tertentu menghilangkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi dan bertentangan oleh Negara.

Pernyataan pasal 22 UU Penanaman Modal bertentangangan dengan pasal 33 UUD 1945, ketentuan yang berlaku pemberlakuan hak atas tanah dalam peanaman modal juga diatur dalam peraturan perundang-undangan lain apabila dinyatakan juga mengatur menganai penanaman modal. Khusus mengenai hak atas (HGU, HGB dan Hak Pakai) berlaku ketentuan UUPA 5 Tahun 1960 dan PP Nomor 40 Tahun 1996.

Jika ditinjau kembali atas apa yang diatur berkenaan dengan pemberian HGU, HGB dan HPyang diberikan , diperpanjang dan diperbaharui sekaligus didepan, dibatalkan MK alasan yang dimaksud diatas, telah bertentangan dengan asas-asas, tentunya asas pembentukan materi peraturan perundang-undangan, asas pengayoman, asas kenusantaraan, asas keadilan, asas kesaman kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, dan pemerintahan, dan asas ketertiban dan kepastian hukum.

Disamping itu juga unsur-unsur penolakan amar putusan MK diatas salah satunya telah melanggar hak penguasaan tanah oleh Negara, yang mana salah satunya terdapat pada Pasal 2 yang tercermin dalam Pasal 33 UUD atas UUPA No. 5 1960 : Pasal 2 Ayat (1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Ayat (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 Pasal 2 ini memberi wewenang untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan peraturan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan, bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan hubungan hukum orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Dalam putusan itu, MK berketetapan, yang dimaksud dengan hak menguasai negara mencakup empat pengertian. Hak Menguasai Negara mencakup lima pengertian tersebut adalah  kebijakan (beleid), termasuk melakukan pengaturan (regelen daad), melakukan pengurusan (Bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheer daad) dan yang terakhir melakukan pengawasan (toezicht houden daad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan asas-asas tersebut sudah dilanggar dalam ketentuan amar putusan pemohon ini yang mengakibatkan terjadinya penguatan eksepsi amarputusan ini pengawasan.

Orang asing yang berada di Indonesia memiliki banyak faktor tujuan salah satunya seluruhnya melakukan kegiatan ekonomi untuk mendukung pembangunan nasional. Adapun pula berbagai isu krusial telah disebut diatas yang harusnya termuat malah tidak termuat dalam PP No. 103 Tahun 2015 berkesan ketertegasan atas dasar mengejar paket Ekonomi Jilid 3 yang antara lain terdorong untuk menumbuhkan kegairahan pada pasar properti karena stagnasi sedang mendera saat itu. Jika dilihat pada PP No. 103 Tahun 2015 tidak komprehensif. Sehingga perlu adanya perhatian pemerintah untuk bergegas dalam hal perbaikan di pengaturannya ini agar dapat memangkas kompleksivitas dari pada persoalan tersebut. Agar tidak melulu berstagnanasi pada hal tersebut. Satu hal yang terakhir yang harus ditekankan bahwa, semua hal butuh proses di dunia ini,” hakim saja dalam beracara butuh proses yang panjang dalam memutus perkaranya“ apalagi merevolusi sebuah aturan Negara dan menciptakan sebuah results berupa good investment product yang di idam-idamkan oleh pihak investor domestik maupun mancanegara.(Prof. Maria SW Soemardjono, 2018)

Dengan mengacu kepada ketentuan yang ada dan berkenaan harapan pengembang agar pemerintah melakukan perubahan ketentuan atas pemilikan perumahan atau hunian tempat tinggal bagi orang asing di indonesia tidak dapat dilakukan dengan menyimpang dari asas hukum. Tidak dapat ketentuan hukum dilanggar semata-mata demi kepentingan bisnis.

Penulis : I Made Pria Dharsana

Pengamat Sosial dan Aktif Sebagai Notaris