Demer: UMKM Warung Kecil Enggak Mati, Penjualan Gas Melon Tidak Sampai 5 Persen dari Omset, Pengecer Bakal Dipermudah Jadi Pangkalan
Foto: Anggota Komisi VI DPR RI Dapil Bali Gde Sumarjaya Linggih yang akrab disapa Demer.
Denpasar (Metrobali.com)-
Kebijakan pemerintah pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang melarang pengecer menjual gas elpiji 3 mulai 1 Februari 2025 dinilai berdampak pada sektor UMKM yang merupakan pengusaha di tingkat akar rumput, khususnya warung-warung kecil yang mengandalkan penjualan gas elpiji 3 kg untuk mencari pendapatan. Hal ini karena pembelian gas bersubsidi hanya bisa dilakukan di agen atau pangkalan resmi yang terdaftar di Pertamina.
Anggota Komisi VI DPR RI Dapil Bali Gde Sumarjaya Linggih yang akrab disapa Demer menepis anggapan bahwa kebijakan baru ini dapat mematikan warung-warung kecil yang menjadi pengecer gas melon, yang merupakan bagian dari UMKM.
Dia menjelaskan bahwa warung-warung kecil tersebut tidak akan terdampak signifikan, karena omset yang diperoleh dari penjualan gas melon hanya sekitar 5% dari total omset mereka. Selain itu, warung-warung kecil ini juga menjual barang-barang lain selain gas melon, sehingga bisnis mereka tidak hanya bergantung pada penjualan gas tersebut.
“Warung-warung kecil enggak mati karena itu mungkin kalau kita bicara omset daripada gas melon mungkin sekitar gak nyampe 5% lah dari omset dia gitu loh. Mereka kan jualan yang lain-lain itu pengecernya, bukan jual pengisian gas melon aja,” terang Demer Senin 3 Februari 2025.
Anggota Fraksi Golkar DPR RI Dapil Bali itu mengakui bahwa keuntungan dari penjualan gas melon memang tidak terlalu besar, berkisar antara 1.000 hingga 2.000 rupiah. Namun, masalah muncul ketika ada praktik tidak jujur di mana harga gas melon bisa melonjak hingga 5.000 rupiah. Hal ini tentu merugikan masyarakat. Dalam hal ini, Demer menegaskan bahwa tujuan utama kebijakan ini adalah berpihak pada kepentingan rakyat, karena mereka yang seharusnya menikmati subsidi dan mendapatkan harga yang terbaik.
“Kita mau berpihak kepada pengecernya atau kepada masyarakat? Itu dulu. Kan lebih baik ke rakyat, karena rakyat yang harus menikmati subsidi ini dan harus menikmati harga yang terbaik,” katanya tegas wakil rakyat yang sudah lima periode mengabdi di DPR RI sebagai wakil rakyat memperjuangkan kepentingan Bali itu.
Seperti diketahui kebijakan baru tersebut memunculkan tantangan bagi warung kecil atau UMKM jika dialihkan menjadi agen sebab mustahil bagi pengusaha di tingkat akar rumput untuk beralih menjadi pangkalan resmi Pertamina, karena mereka membutuhkan modal yang tidak sedikit untuk membeli LPG 3 kg dalam jumlah besar. Hal ini terkait persyaratan permodalan, seperti kewajiban untuk menyediakan 100 hingga 200 tabung, yang dapat memerlukan modal minimal antara 15 juta rupiah hingga 30 juta rupiah hanya untuk tabung saja.
Namun, Demer menyatakan bahwa formula kebijakan ini akan diperbaiki agar distribusi gas dapat lebih merata dan mencapai masyarakat dengan lebih baik. “Nanti akan diformulasikan lagi gitu loh. Sehingga bisa lebih sampai ke masyarakat semuanya,” tegas wakil rakyat berlatar belakang pengusaha sukses yang juga mantan Ketua Umum Kadin Bali itu.
Demer berharap agar proses alih status pengecer menjadi pangkalan tidak dipersulit, dan agar persyaratan seperti kewajiban menyetok 100 hingga 200 tabung bisa disesuaikan dengan kemampuan modal masing-masing pengecer yang beralih menjadi pangkalan. Tujuan utamanya adalah memastikan harga eceran tertinggi dapat tercapai untuk masyarakat, sementara pangkalan tidak dirugikan atau dibebani dengan modal yang terlalu besar, yang bisa mencapai 30 juta rupiah untuk 200 tabung.
“Saya harapkan pengecer yang sekarang dipermudah naik kelas menjadi agen dan tidak harus dengan modal besar. Sehingga nantinya tetap tujuan pemerintah untuk rakyat mendapatkan harga eceran yang tertinggi itu tercapai,” pungkas politisi Golkar asal Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng ini. (wid)