Denpasar, (Metrobali.com)-

Deflasi Selama 5 bulan, Bukan Keberhasilan tetapi Kegagalan dalam Pengelolaan Ekonomi. Deflasi Berlanjut 5 bulan, Bentuk Nyata Kegagalan Presiden Jokowi dalam Mengelola Ekonomi.

Hal tersebut dikatakan I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik, Rabu 8 Oktober 2024, menyikapi sisa sisa kekuasaan Presiden Jokowidodo  yang berakhir tanggal 20 Oktober 2024.

“Ada-ada saja Presiden Jokowi, di hari-hari menjelang “lengser” 20 Oktober 2024, berpendapat deflasi (penurunan harga sejumlah komoditas termasuk pangan) dalam 5 bulan berurutan, diklaim sebagai keberhasilan dalam mengelola ekonomi,” kata I Gde Sudibya.

Dikatakan, keberhasilan dalam mengelola ekonomi, adalah pernyataan politik yang keliru, punya kecenderungan menyesatkan publik.

Menurutnya, deflasi berkepanjangan, Indikasi kegagalan dalam mengelola perekonomian, dengan “seabrek” argumentasi.

Pertama, daya beli masyarakat menurun, berdasarkan statistik resmi pemerintah, BPS, dalam 5 tahun terakhir 2019 – 2024 jumlah kelas menengah berkurang 10 juta orang, masuk ke kelompok rentan menjadi miskin.

“Ada jutaan orang daya belinya merosot, yang membuat mereka mengurangi konsumsi, dan atau bertahan konsumsinya dengan “makan” tabungan,” katanya.

Kedua, jumlah penduduk miskin kita yang super tinggi, dengan menggunakan tolok ukur Bank Dunia, garis kemiskinan (poverty line):pengeluaran orang per kapita per hari 2 dolar AS, jumlah penduduk miskin 40 persen penduduk, hampir mendekati angka 100 juta orang. Gambaran dari rendahnya daya beli massal.

Ketiga, berlaku semacam diktum dalam ekonomi pembangunan, deflasi berkepanjangan Indikasi kelesuan ekonomi berkepanjangan, tanda-tanda awal kegagalan pengelolaan ekonomi.

” Ekonomi yang bertumbuh sehat, ditandai oleh pertumbuhan investasi, kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, dengan risiko terjadinya inflasi yang tetap terkendali, depressed inflation idealnya maksimum 1 – 2 persen,” kata I Gde Sudibya.

Ekonom ternama Alfred Marshal mengemukakan teorinya, yang banyak dipercaya oleh para ekonom tingkat dunia: “inflation is inhaerent with ekonomi develoment”, inflasi melekat dalam pembangunan ekonomi.

Dikatakan, inflasi dalam pengertian terkendali, bukan “run way inflation”, inflasi tak terkendali yang tidak saja merugikan perekonomian, tetapi menjadi pemicu jatuhnya rezim kekuasaan.

Menurutnya, dalam sejarah kontemporer negeri ini tercatat, inflasi super tinggi tahun 1966,450 persen, beberapa bulan kemudian, terbit Tap MPRS No.33/1967 yang mencabut kekuasaan Presiden Soekarno.

Selanjutnya, inflasi tinggi tahun 1998, 80 persen, dengan pertumbuhan ekonomi negatif 14 persen, di tahun 1998, 21 Oktober 1998, Pak Harto “lengser keprabon”.

“Dari sejarah “keras” ini, semestinya para tuan dan puan penguasa, tidak melakukan manipulasi terhadap data inflasi dan juga deflasi demikian juga tafsirnya, karena menyangkut “periuk nasi” puluhan juta manusia dan bisa “membakar” kekuasaan,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik. (Sutiawan).