Defisit Januari – Februari Rp.31.2 T, Bulan Berikut Diperkirakan Semakin Melebar
Jakarta, (Metrobali.com)
Defisit RAPBN tahun 2025 dalam dua bulan Januari – Februari Rp.31.2 T, diperkirakan bulan – bulan depan akan semakin melebar. Hal itu dikatakan Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi, Senin 17 Maret 2025.
Menurutnya, perkiraan defisit RAPBN tahun 2025 berdasarkan kesepakatan pemerintah dan DPR per Oktober 2024 sebesar Rp.600 T, jadi rata-rata bulanan defisit sebesar Rp.50 T.
“Itupun dengan asumsi bahwa Kabinet berjumlah 34 orang, sedangkan jumlah Kabinet sekarang, Menteri, Wakil Menteri, Kepala Lembaga setingkat menteri berjumlah 109 orang. Ini berarti jumlah defisit akan jauh lebih besar dari prediksi semula Rp.600 T,” kata I Gde Sudibya.
Dikatakan, ekspor ke AS, China dan juga negara-negara lainnya akan mengalami tekanan, akibat kebijakan kenaikan tarif dari Presiden Donald Trump, yang pasti berdampak terhadap penerimaan negara.
Menurutnya, respons pasar uang dan modal yang negatif terhadap pendirian Danantara, harga saham BUMN Bank Pemerintah sempat turun sekitar 29 persen, capital out flow dari pasar uang dalam satu bulan terakhir yakni sebesar Rp.200 T, akan berdampak terhadap foreign direct investment, dan kemampuan negara dalam memungut pajak.
Menurutnya, sistem pemungutan pajak baru yang disebut Coretax perlu waktu untuk bisa bekerja optimal, di samping moral hazard dalam pemungutan pajak dan cukai.
Menurut perkiraan Bank Dunia, ada potensi penerimaan pajak sebesar Rp.1,500 T per tahun yang bisa dipungut, jika terjadi pembenahan dalam sistem perpajakan dengan moral hazard yang rendah.
“LPEM FEB UI memperkirakan, tanpa kehati-hatian dalam mengelola fiscal, Indonesia punya risiko menjadi negara gagal,” kata Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi.
Mirisnya, lanjut I Gde Sudibya di tengah potensi krisis keuangan dan ekonomi yang begitu nyata, dengan risiko politik tinggi, menyimak sejarah penggantian kekuasaan tahun 1966 dan tahun 1998, Kabinet “jumbo” Merah – Putih, tampaknya nyaris tidak punya “sense of crisis” untuk menenangkan para pelaku di pasar uang dan modal, dan tidak membangun empati bagi masyarakat kelas menengah bawah, yang terpuruk pendapatannya dan nyaris kehilangan harapan akan masa depan.
Dikatakan alam prediksi ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi 8 persen patut diberikan catatan.
ICOR Indonesia diperkirakan 6,8 persen, jika mau tumbuh dengan 8 persen, diperlukan investasi 8 × 6,8% = 54,4% dari PDB yang berjumlah Rp .22,139 T, data tahun 2024. Diperlukan investasi sebesar: 54,5% × Rp.22,139 T, sekitar Rp.12 ribu T.
Dikatakan, Pemerintahan Prabowo paham dana ini, tidak ada, yang mau ditutup dengan kapitalisasi dana Danantara sebesar Rp.15,680 T. Persoalannya tidak sesederhana perhitungan ekonomi tri di atas kertas.
Menurutnya, ada beberapa tantangan besar yang dihadapi negara Indonesia.
Kredibilitas pengurus Danantara diragukan publik, sebagai politisi yang “diendorse” pusat kekuasaan, sehingga Danantara dipersepsikan publik sebatas alat kekuasaan.
Ditambahkan, pasar merespons negatif pendirian Danantara, IHSG di bursa efek turun tajam, investor di pasar uang menarik dananya ke luar negeri.
3.Dengan kapitalisasi sebesar US$ 900 M, menyimak fenomena korupsi, iklim investasi yang tidak mendukung, pelayanan birokrasi yang mahal, membuat investor luar negeri enggan untuk berinvestasi di Indonesia.
“Akibatnya, dana Danantara akan terserap oleh para oligarki, dengan risiko: merebaknya moral hazard yang berkaitan dengan investasi, kesenjangan ekonomi akan semakin dalam, ketidakadilan ekonomi semakin besar, karena dana Danantara yang “nota bene” uang rakyat, “mensubsidi” para oligarki yang sudah super kaya,” kata I Gde Sudibya.
Jurnalis : Nyoman Sutiawan