Daun Mahang

Masyarakat Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, seakan mendapatkan angin segar bisnis baru yaitu bisnis daun mahang merah atau warga lokal biasa menyebutnya daun sapat (Macaranga Triloba).

Seperti yang dilakukan oleh Nasrullah warga Kecamatan Pandawan, Hulu Sungai Tengah, kendati baru dua pekan menggeluti bisnis sebagai pengepul daun kayu sapat, dia sudah dapat memanen hasil kerjanya dengan omset puluhan juta rupiah.

Nasrullah tidak meraup keuntungan untuk diri sendiri, sebagai pengepul, dia juga mampu membantu warga sekitar dan juga warga Dayak dari Pegunungan Meratus, untuk menjual daun bahan baku obat herbal tersebut ke rumahnya di RT 1 RW Setiap, Kecamatan Pandawan.

Ditemui di rumahnya, Nasrullah menjelaskan, warga yang datang menjual daun kayu sapat ke tempatnya tidak hanya dari desa tempat tinggalnya, tapi juga dari Desa Kayu Rabah, Karantina, Awang, Semanggi, Kambat Selatan dan kecamatan lainnya.

Nasrullah membeli daun kayu hutan tersebut dengan harga Rp2.500 per kilogram, untuk yang masih basah, sedangkan yang kering dibeli dengan harga Rp9 ribu per kilogram.

Rata-rata warga membawa daun dengan menggunakan karung dengan berat rata-rata 25 hingga 30 kilogram, artinya dalam setiap karung daun sapat kering, warga mampu membawa uang sekitar Rp270 ribu.

Mahalnya harga daun sapat kering, mengakibatkan warga lebih memilih menjual daun tersebut, dengan mengeringkannya terlebih dahulu, sehingga kini hampir sebagian besar jalan desa dipenuhi dengan jemuran daun sapat dan padi.

Kegunaan daun sapat tersebut, kata Anas, sebagai bahan baku obat-obatan herbal, yang akan dikirim ke berapa daerah dan negara seperti ke Tiongkok.

“Sebelum kami jual, daun-daun tersebut dihaluskan menjadi bubuk, kemudian akan kami kirimkan ke Buntok,Kalimantan Tengah, bahkan ke Tiongkok,” katanya.

Selain membeli daun, Anas, juga memberdayakan beberapa warga sekitar untuk membantu mengeringkan daun-daun tersebut yang masih basah, dengan upah Rp3.000 perkilogramnya, dan untuk tulang daunnya dihargai Rp500 per kilogram karena tulang daun masih bisa dihaluskan dengan mesin penggiling tepung.

Menurut dia, minat masyarakat sekitar untuk ikut dalam bisnis daun kayu sapat ini cukup tinggi, di sekitar tempat tinggalnya saja terdapat sekitar 30 keluarga yang juga ikut mengembangkan usaha daun sapat.

“Jadi usaha ini selain untuk memanfaatkan potensi kayu sapat yang selama ini banyak tumbuh liar menjadi berguna, juga untuk menambah pendapatan dan kesejahteraan keluarga,” katanya.

Selain Anas, di daerah tersebut kini juga terdapat sekitar tiga pengumpul, yang senantiasa siap membeli daun basah dan kering dari warga.

Di kediamannya, Anas dibantu dua karyawannya menangani pembelian dan pengolahan daun sapat yang masih manual, untuk pengeringan apabila cuaca cerah dan panas cukup satu hari saja kemudian dilakukan peremukan daun menggunakan tangan atau kaki.

Kemudian, daun diayak untuk memisahkan serat atau tulang daun dengan daun halus, dan akhirnya menghasilkan olahan halus yang kemudian dijual atau diekspor hingga luar negeri.

“Terakhir kami menjual sekitar 2 ton daun sapat kering dengan nilai puluhan juta rupiah,” katanya.

Mudah Didapat Pohon “Macaranga Triloba” merupakan pohon yang mudah dijumpai di wilayah Kalimantan, bahkan pohon ini masuk sebagai tumbuhan liar.

Di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, pohon kayu sapat memang banyak terdapat di beberapa desa antara lain di Desa kayu rabah, karena daerah ini terletak di dekat daerah rawa atau lebak, tempat di mana banyak pohon kayu sapat tumbuh liar.

Awalnya, warga menganggap pohon tersebut sebagai tanaman penggangu yang harus dimusnahkan, namun kini sebagian besar pohon kayu sapat kehilangan daun atau meranggas, karena dahannya dipotong oleh warga untuk dikeringkan dan dijual.

Sebagian warga desa sangat bersemangat dan seakan tidak kenal lelah, untuk mengumpulkan lembaran demi lembaran dauh kayu sapat tersebut.

Karena semangatnya, kendati hujan, sebagian warga tetap berupaya untuk mendapatkan daun-daun tersebut, dengan berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya.

Bahkan karena terlalu semangat mencari daun sapat, salah seorang bocah tewas diduga disambar petir saat memetik daun pohon yang juga disebut sebagai Mangan Merah.

Kabar duka tersebut, dialami oleh keluarga Matruji dan Sinah, Suami istri ini telah kehilangan putra bungsu mereka Inan yang berumur 13 tahun.

Menurut Pambakal Kayu Rabah, Syahruji, murid SD kelas 6 itu tewas, Selasa (24/3/2015) di Panggang Ramba, Kayu Rabah Pukul 15.00 Wita, diduga karena disambar petir saat memetik daun di pohon kayu sapat yang berjarak 200 meter dari kediamannya.

“Korban Inan sebenarnya telah diingatkan temannya agar segera pulang karena cuaca saat itu sedang gerimis dan terdengar suara petir, namun dijawab korban masih tanggung karena saat itu masih ingin mengumpulkan daun kayu sapat,” katanya.

Tak berselang lama, terdengar suara petir yang menggelegar dan menyambar tubuh Inan yang masih di atas pohon kemudian terjatuh dengan kondisi sangat memprihatinkan, korban meninggal di tempat.

Kayu Mahang, atau kayu sapat berdasarkan buku dengan judul “Mahang Damar Macaranga Triloba” dengan pengarang Sastrapradja Setijati Et dari institusi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang terbit 1979, menyebutkan pohon mahang merupakan pohon berukuran sedang.

Tingginya dapat mencapai 35 meter, batang bebas cabangnya dapat sampai 25 meter. Batangnya bulat,halus dan berwarna agakabu-abu kehijauan. Diameter batang dapat mencapai 70 cm dan kadang-kadang berbanir tetapi kecil.

Kayunya ringan dengan BJ.0,45. Kelas keawetan V dan kelas kekuatan III. Kayunya baik untuk kayu bakar.Kulitnya mengeluarkan gom yang baik untuk industri lem.Kulit yang dicampur dengan daun muda atau kuncup dan buahnya digunakan sebagai obat tradisional.

Perbanyakan alami dengan bijinya. Umumnya tumbuh di hutan belukar tua, daerah padang terbuka dan hutan primer yang dibuka.Penyebarluasannya terbatas di dataran rendah atau tempat yang berbukit dengan ketinggian sekitar 100 meter. AN-MB