Sebuah kata mutiara yang selalu menjadi panduan Guru, Made Dhama, baik dalam masa perjuangan, memasuki lingkungan kerja dan bisnis, maupun dalam hidup keseharian. Kata ini sangat terpatri  di sanubarinya, seperti terungkap dalam biografi yang ditulis Nyoman Putrawan:“Dari Medan Perang Ke Dunia Usaha” (Biografi Veteran Perang Kemerdekaan RI), yang penuh heroik, romantis, dan menarik direnungkan.

“Mudah-mudahan penulisan buku ini memberikan pencerahan kepada kita hari ini,  akan pentingnya kehadiran kesadaran sejati, paling tidak dalam diri sendiri. Dalam perjuangan melawan penjajah, kezaliman dan kebatilan, tidak sepatutnya menghitung untung-rugi, tidak layak pula menghitung siapa yang paling berjasa antara satu dengan yang lain. Semua Swadharma  (baca: perjuangan) telah dicatat oleh alam dan dipastikan akan mendapatkan pahala yang setimpal atas pengorbanannya itu”, kata N. Putrawan,  saat peluncuran awal buku ini, Minggu, 27 November 2011.

Peluncuran awal buku ini dilaksanakan di Kalanganyar, Sudimara, Tabanan, bertepatan dengan perayaan ulang tahun ke 84 Guru Made Dhama. “Pilihan tempat ini sengaja dilakukan keluarga, agar Guru dapat bertemu dan bernostalgia dengan kawan-kawan veteran, sekaligus merupakan salah satu tempat yang paling berkesan bagi Guru di masa revolusi kemerdakaan”, kata Ngurah Putra, mewakili keluarga dan karyawan PT. Dirgahayu..

Setelah gagal menyerbu tangsi Kayu Mas, keadaan pasukan pejuang kocar-kacir, dan Ngurah Rai mengarahkan Guru Made Dhama dan kawan pejuang lainya ke Kalanganyar, yang dikuasai NICA. “Pada saat itu, tepatnya 26 April 1946,  sesungguhnya kita belum siap berperang, namun karena keadaan, ya kita menyerbu Tangsi Kalanganyar, dan mendapat dukungan rakyat disini sehingga berhasil menguasai wilayah ini ”, kata Guru Made Dhama menjelaskan, yang diamini segenap veteran yang hadir.

Disadari atau tidak, sesungguhnya perang “Puputan” tidak pernah berakhir. Kalau pun “puput” hingga momentum 20 November 1946, namun refleksi semangat yang dialirkannya kepada para generasi adalah sebuah cermin — potret keteladanan bagi kita. “Guru, Made Dhama adalah sosok yang tak pernah menyurutkan tanggung jawabnya, dan tak pernah capai dengan strategi-strategi perjuangan, termasuk ketika memasuki dunia usaha: Disiplin adalah Napasku…”, Kata Wayan Tagel Eddy, dosen sejarah, fakultas sastra Unud.

Kini, idealisme memang relatif kian surut, bahkan hampir punah sama sekali digerus waktu dan zaman. “Mencermati kondisi dan situasi kekinian, idealisme nampaknya bagai sebuah gurauan atau lelucon. Tak seorang pun akan percaya seratus persen jika masih ada idealisme yang tersisa dalam perjuangan, atau pun dalam mengisi kemerdekaan: menuju kesetaraan, keadilan dan kesejahteraan. Lihat saja disekitar kita! Apa beda NICA gandek, dengan birokrat  pendukung investor?”, kata Agung Wardana mempertanyakan. Dalam kondisi apapun, sesungguhnya idealisme selalu tumbuh. Bayangkan, jika sebuah idealisme tidak menjadi bagian dari perjuangan, barangkali saja tak satu pun perjuangan, atau pembangunan dapat diwujudkan.

Dari nukilan kata mutiara diatas, tampaklah Guru, Made Dhama, tak pernah membayangkan jasa apa yang kemudian akan diterimanya, dan tidak juga pernah pamrih terhadap rasa bhakti yang telah dikorbankannya. Itu semua semata-mata karena tanggung jawabnya yang disandang sebagai pejuang dan pengusaha. Guru, Made Dhama setidaknya mampu memberikan tauladan bagi keluarga, segenap karyawan dan kawan-kawan seperjuangannya.

Di hari ini, bulan November ini, ada citra sungkawa yang patut jadi “Renungan Sejarah”. Dua peristiwa mahapenting yang diperingati setiap tahun, Hari Pahlawan dan Puputan Margarana adalah hari-hari penuh korban, jiwa dan raga. Melalui irama paduan suara karyawan PT. Dirgahayu,  tonggak yang telah menjadikan kita lebih baik dari hari-hari kemarin, mengambil kembali bagian milik kita seutuhnya dari tangan-tangan penjajah, menuntaskan kita sebagai suku bangsa yang benar-benar merdeka, dan menghirup “satu udara” di negeri ini digemakan.

Maka, tidak harus saling berseteru, karena kita sesungguhnya “saudara.” Ternyata, perjuangan belum usai, sebagaimana kumpulan puisi “Kerawang-Bekasi” Chairil Anwar, yang dibacakan malam itu: “…Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian…”. Mudah-mudahan menjadi tanda tetap tumbuhnya idealisme di hati kita. (Dhamantra Centre)