Ilustrasi

Oleh : Jro Gde Sudibya

Secara sekala, perubahan iklim yang dipicu oleh kenaikan suhu bumi, menciptakan pemanasan global telah merupakan keniscayaan. Dalam Kesepakan Paris (2016), kenaikan suhu bumi di atas 1,5 derajat celcius, dari rata-rata suhu bumi selama 100 tahun pra revolusi industri, diperkirakan oleh para pakar perubahan iklim dunia, banyak manusia di belahan bumi akan mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan.
Cuaca ekstrem membuat, pola musim berubah, produktivitas pertanian termasuk tanaman pangan menurun, terjadi “dasa muka” bencana hidrologi, banjir, longsor, erosi dan naiknya permukaan air laut dengan risiko lingkungannya. Para pakar lingkungan yang bergabung dalam Kesepakatan Paris, akhir tahun 2024 mengemukakan, suhu rata-rata bumi telah naik 1,6 derajat celsius, telah melampaui Kesepakatan Paris 1,5 derajat celsius. Sudah bisa dibayangkan termasuk oleh penduduk awam sekalipun, bencana mengancam akibat perubahan iklim. Tidak kurang dari Sekjen PBB Antonio Guterres, dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB di Mesir, Bulan Juni 2022 menyatakan, “dunia memasuki jalan tol neraka iklim”. Kata bersayap, yang mempunyai dampak mengerikan bagi masa depan bumi, termasuk manusia penghuninya. Bali, dihadapkan pada kondisi yang lebih berbahaya dan mengerikan. Berdasarkan data Google, 70 tahun terakhir,1950 – 2020, suhu bumi Bali telah naik 1,9 derajat celsius, jauh melampaui Kesepakatan Paris (2016) yang 1,5 derajat celsius. Secara ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam bahasa sederhananya, kenaikan suhu bumi yang begitu tinggi di Bali 1,9 derajat celsius, menjadi pangkal penyebab anomali yang berlangsung. Hujan sangat lebat dalam kurun waktu lama, disertai angin kencang, sangat banyak pohon tumbang demikian juga bangunan, termasuk Pura.
Menyimak fenomena alam keras yang sedang menimpa Bali, kita bisa menyitir kidung berbahasa Bali yang begitu populer Sucita Subudi, kapipil antuk Ida Njoman Djelantik dari Griya Banjar. Seririt, Buleleng.
“Ne sekala lan niskala, Atepang mangden mamesik, Reh jati palingan tunggal, Hyang Wisesa ngeraganin, Da malasang di hati, Tingkahe nibakang unduk, Kayanya patut jalanan, Ke Niskala mangden pasti, Mudra Iku, Tikasang parah ring Hyang”.
Berangkat dari pemikiran sekala lan niskala di atas, terbersit pikiran, kenapa Alam Bali yang pada hakekat dasarnya pingit, tenget dan suci, begitu rentan dan mudah ditimpa bencana. Menjadi patut dipertanyakan, kekuatan transformasi jajna untuk menjaga Alam Bali, tetap selamat-lestari, BUTHA HITA. Di era kepemimpinan Raja Cri Aji Jayapangus, demikian juga di kepemimpinan sebelumnya Ida Dalem Cri Masula-Masuli, Cri Kesari Warmadewa, dalam tafsir ke kinian, sebut saja ada bhisama yang menyatakan: jika upakara mengalami degradasi, tinggal upakara Tari Wali yang metaksu, itupun semakin jarang dipentaskan, maka pertahanan Bali secara niskala akan senantiasa “jebol”, baca, bencana alam menjadi ke seharian kehidupan.
Lontar Roga Sengara Gumi, banyak mengulas tentang fenomena alam Bali ini.
Dalam konteks ini, menjadi menarik disimak, geguritan Sucita-Subudi,
“De mangutang yatna, Undagan ideppe lingling, Da drupon menyujuh sukla, Apan tuhu Lintang sulit, Apang Da dadi nungkalik, Nyudya mertha wesia tepuk, Bisa ngukur kemampuan, Yan tan prasida kreseng hati. Da mamurug, Apang Da dadi pangenan.

Jro Gde Sudibya, intelektual Bali, bermukim di Desa Tajun, kaja kangin Bukit Sinunggal.