Keterangan foto: Tokoh pemuda yang juga Ketua Karang Taruna Kota Denpasar I Ketut Ngurah Aryawan.

Denpasar (Metrobali.com)-

Menjelang pemilu legislatif (Pileg) dan pemilu presiden (Pilpres) 2019 segmen pemilih generasi milenial (kelompok usia 17-35 tahun) menjadi “komoditas politik yang panas” dan paling banyak diincar para aktor politik. Sebab suara generasi ini hampir mencapai 35 persen dari total DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang lebih dari 187 juta pemilih. Sebagian dari mereka juga merupakan pemilih pemula.

Menurut tokoh pemuda yang juga Ketua Karang Taruna Kota Denpasar I Ketut Ngurah Aryawan, pemilih generasi milenial ini punya karakteristik yang unik dan lebih kritis. Bahkan dalam menentukan pilihan  anggota legislatif mereka juga cenderung mayoritas melihat sosok figur ketimbang partai politik (parpol) sang caleg.

“Generasi milenial ini memang sudah seharusnya bersikap lebih kritis dengan melihat latar belakang dan rekam jejak pribadi para caleg. Bukan semata melihat latar belakang parpol sang caleg,” kata Ngurah Aryawan di Denpasar, Selasa (18/9/2018).

Ngurah Aryawan mengibaratkan hubungan parpol dengan para pengurus dan juga caleg seperti mobil dengan sopirnya. Artinya parpol hanyalah sebuah kendaraan untuk mencapai tujuan perjuangan politik yakni menyejahterakan masyarakat.

Jadi ketika suatu parpol mendapat citra tidak baik, hal itu bukan salah parpol sebagai sebuah lembaga politik. Melainkan akibat ulah oknum di dalamnya yang berprilaku tidak sesuai dengan cita-cita dan visi mulia berpartai dalam ruang demokrasi.

“Ibarat kalau mobil menabrak orang, yang salah bukan mobilnya tapi karena sopirnya yang tidak hati-hati. Bahkan ada yang ugal-ugalan di jalan raya. Begitu juga dengan parpol. Bukan parpolnya yang salah tapi oknum di dalamnya,” terang pria yang juga bakal caleg DPRD Kota Denpasar dapil Denpasar Barat 2 dari Partai Gerindra itu.

Jadi generasi muda kaum milenial harus mampu kritis melihat hal itu ketika mereka juga sadar betul tindakan pembodohan partai hanya merugikan bangsa ini. Jangan juga apatis terhadap politik atau figur caleg karena ada citra negatif dan asosiasi tertentu terhadap parpol tertentu.

“Jadi saya harapkan dalam Pileg dan Pilpres nanti generasi milenial mampu lebih kritis melakukan riset dan pendalaman terhadap rekam jejak seorang caleg. Tidak terjebak dengan stigma atau citra parpol sang caleg,” tegas pria yang kerap menjadi narasumber dalam berbagai diskusi tentang pemberdayaan pemuda itu.

Baginya generasi milenial punya peran besar menentukan arah bangsa lewat partisipasi politik baik hanya sekedar menjadi pemilih aktif dengan menyalurkan hak suara politik di TPS. Namun juga sebagai aktor utama pelaku politik itu melalui menjadi pengurus parpol hingga sebagai caleg atau calon kepala daerah.

“Sebab estafet kepemimpinan bangsa dalam beberapa tahun ke depan akan diisi oleh generasi milenial. Jadi kalau mereka saat ini apatis dengan politik bagaimana bisa ada perbaikan kehidupan bangsa ke depan,” ucap pria yang dikenal sangat aktif membantu penyelesaian permasalahan sosial di Denpasar itu.

Apalagi generasi milenial ini sangat melek teknologi dan sangat aktif di berbagai platform media sosial untuk mencari dan berbagi informasi. Hal itu harus dimanfaatkan untuk lebih banyak mencari informasi tentang perkembangan politik. Kondisi itu juga harus ditangkap parpol dan para caleg untuk memberikan edukasi politik di ruang siber khusunya media sosial.

“Sekarang ini juga saatnya para caleg menampilkan perang gagasan yang konstruktif dan konsisten demi pemecahan berbagai permasalahan sosial di masyarakat. Narasi wacana di media sosial harus mengarah pada kompetisi yang sehat dalam menyalurkan gagasan. Bukan sekadar selfi-selfi pencitraan dengan mendompleng acara seremonial,” ungkap pria yang dikenal gencar menggerakkan kreativitas generasi muda itu.

Hasil survei CSIS pada Agustus 2017 menyebutkan sebanyak 81,7 persen milenial pengguna Facebook, 70,3 persen pengguna whatsapp dan 54,7 persen pengguna instagram. Akan tetapi berkenaan dengan Pileg dan Pilpres 2019 nanti pola pikir kelompok milenial terkait partisipasi dalam menentukan pilihan dapat saja bisa berubah dan tidak hanya bersikap apatis.

“Untuk itu generasi milenial perlu diajak untuk melihat lebih dalam soal pemilu untuk meningkatkan partisipasi dan mengikis apatisme mereka. Kita harus yakinkan bahwa satu suara mereka akan mengubah arah bangsa ke depan.  Generasi milenial juga punya potensi besar untuk terciptanya pemilu yang sejuk, damai dan berintegritas,” tandas Ngurah Aryawan.

Di sisi lain, caleg dari kalangan generasi milenial juga punya daya tarik tersendiri dalam Pileg 2019. Hal ini juga bisa merujuk pada hasil Temuan Survei Nasional Persepsi dan Prilaku Pemilih dalam Pemilu Legislatif 2014 oleh Poltracking yang dipublikasikan Desember 2013. Latar belakang caleg sebagai figur baru dan muda (68,4 persen) lebih disetujui oleh pemilih dibandingkan caleg berlatar belakang lainnya.

Di sisi lain, perilaku memilih publik cenderung ditentukan oleh figur atau tokoh caleg ketimbang pertimbangan parpol. Sebagaimana juga, ketika publik lebih memilih (mencoblos) caleg (69 persen) dibandingkan partai politik peserta pemilu (12 persen ). Artinya, caleg berperan penting sebagai street level politicians yang menampilkan perwajahan partainya.

“Pola umum ini juga kami yakini akan tetap berlaku pada Pileg 2019 nanti,” pungkas Ngurah Aryawan.

Pewarta : Widana Daud

Editor      : Whraspati Radha