PERHELATAN APEC di Denpasar, Bali, beberapa waktu lalu memperlihatkan posisi penting Indonesia di kawasan Asia-Pasifik. Petinggi 21 negara hadir minus Presiden Barack Obama dari Amerika Serikat yang harus menghadapi masalah penolakan anggaran oleh Kongres.

Kinerja ekonomi Indonesia pun dipuji banyak tokoh dan lembaga internasional, walaupun kondisi riil masyarakat belum tentu makin sejahtera. Hal itu terlihat juga saat pertemuan G-20 di Russia. Presiden SBY bercengkerama dan menyampaikan pidato di depan 20 pemimpin negara paling besar volume ekonominya di dunia.

Citra global yang positif mestinya mendorong pemerintah Indonesia untuk serius berbenah. Faktanya, tingkat pertumbuhan relatif stagnan, sehingga angka pengangguran cukup tinggi dan penurunan angka kemiskinan melemah.

Sementara itu, tingginya volume impor dan defisit transaksi berjalan menyebabkan cadangan devisa terkuras drastik. Dalam jangka tiga hingga empat bulan, devisa negara digelontorkan hampir 10 miliar dolar AS untuk stabilisasi ekonomi nasional.

Berbagai masalah pelik itu ternyata dapat diuraikan dengan bahasa sederhana dan logika orang biasa.

Penulis muda, Muhammad Idrus, bukan sekadar pengamat ekonomi, namun praktisi pasar. Tak heran, bila lima bab penjelasan buku yang ditulisnya sebanyak 140 halaman berjudul “Rupiah Kuat, Bangsa Bermartabat”, yang diterbitkan penerbit: Kinan Komunikasi Group (2013) tentang dampak pelemahan rupiah menarik dibaca.

Ternyata anjloknya mata uang rupiah tak membuat para eksportir untung besar, bahkan harga bahan baku produksi meroket, penjualan properti melambat, dan industri manufaktur terpuruk. Lalu, siapa yang diuntungkan? Idrus merintis bisnis mulai dari usaha rumahan hingga berkembang jadi grup properti dan perdagangan valuta asing. Kini Idrus menjadi salah seorang Ketua BPP HIPMI Bidang Infrastruktur Laut dan Pesisir, sesuai “passion” dan kompetensinya sebagai warga berlatar Bugis yang tinggal di kawasan pantai Jakarta Utara.

Fluktuasi nilai rupiah sebenarnya sudah terjadi dari masa ke masa. Pada masa kontemporer di tahun 1997, 2007, dan 2012. Faktor penyebabnya sangat beragam, sehingga solusi yang diajukan penentu kebijakan moneter juga beraneka. Efektivitas kebijakan itulah yang digugat penulis.

Idrus berpengalaman sebagai praktisi perdagangan valuta asing dalam masa cukup lama, hingga terpilih sebagai Ketua Umum BPP Asosiasi Pedagang Valuta Asing Indonesia (BPP APVA Indonesia).

Karena itu, analisisnya tak asal bunyi. Semua sisi gelap semisal gejala mafia mata uang yang memperlakukan rupiah selaku komoditas belaka diungkap, termasuk gaya hidup ambigu para pejabat tinggi dan elite konglomerat yang bangga menyimpan mata uang asing.

Tak aneh rupiah rontok di negeri sendiri akibat berbagai aspek domestik yang menekan, di samping pengurangan stimulur fiskal AS.

Sebagai pelaku pasar Idrus tak gelap mata, nasionalismenya bangkit. Ia tak rela ekonomi nasional tergoncang karena spekulasi mata uang terselubung, di samping “Gerakan Cinta Rupiah” yang sekadar “lips service”.

Kalau benar semua pihak bertekad menjadikan rupiah kuat, maka langkah fundamental yang harus dilakukan adalah mengubah rezim devisa bebas.

Konstitusi RI 1945 sejatinya menetapkan sistem ekonomi nasional yang kokoh melalui rezim devisa terkendali.

Langkah strategis ialah penggunaan rupiah sebagai alat transaksi di seluruh wilayah Indonesia sejalan dengan UU nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang.

Bagi mereka yang melanggar dalam setiap transaksi tidak menggunakan rupiah, maka diberi sanksi kurungan satu tahun atau denda Rp 200 juta, sebagaimana termaktub dalam pasal 33.

Dalam konteks itu, diperlukan konsistensi kebijakan, terutama di tingkat peraturan pelaksanaannya. Sebab, kenyataannya justru pemegang rupiah mengalami kesulitan bertransaksi di negeri sendiri di beberapa sektor seperti pelabuhan atau pengurusan impor, bahkan ada penjualan barang elektronik yang menggunakan patokan harga asing.

Sebagai wirausahawan muda, Idrus gelisah menyaksikan kegamangam kebijakan nasional dalam mencapai stabilitas ekonomi melalui penguatan rupiah dan kontrol inflasi.

Idrus mendesak agar dilakukan aksi radikal, antara lain perubahan mind-set pejabat tinggi yang senang mengoleksi valas dan perilaku masyarakat yang super konsumtif dengan menghamburkan mata uang asing.

Demi mengobarkan spirit baru di kalangan eksekutif muda, Idrus meluncurkan buku berjudul “Rupiah Kuat, Bangsa Bermartabat” pada Kamis (14/11/2013) di Jakarta.

Dukungan dari berbagai kalangan lintas kelompok dan profesi menunjukkan buku ini sangat penting untuk disimak.

Sejumlah kalangan memberikan komentar atas buku itu, seperti Menteri Sosial Dr Salim Segaf al Jufri Mensos menyatakan: “Kondisi makro ekonomi suatu bangsa sangat mempengaruhi perilaku masyarakatnya. Penulis buku ini, tokoh wirausahawan muda, Muhammad Idrus, secara tepat menggambarkan bagaimana dampak dari pelemahan mata uang rupiah sebagai alat tukar dan komoditas. Tak hanya itu, penulis yang merupakan praktisi keuangan, juga menawarkan solusi penguatan rupiah. Bukan hanya dari aspek kebijakan, namun juga perubahan sikap masyarakat dan elite yang memiliki dana melimpah. Penguatan rupiah bukan sekadar agenda pemulihan ekonomi, tapi pengembalian martabat bangsa,”.

Kemudian, Irwanda W. Wardhana, peneliti Badan Kebijakan Fiskal dan Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi dan Politik di University of Texas, AS menilai: “Buku ini perlu dibaca bagi siapa saja yang tertarik dengan perkembangan terkini mata uang rupiah. Penyajiannya mengalir dengan bahasa yang mudah dipahami. Informasi yang dipaparkan mencerahkan sekaligus menggelitik daya kritis pembacanya.

Seperti yang penulis sampaikan: Dolar pun mewujudkan impian sekelompok orang menjadi lebih ekslusif, dan menjadi pembeda status sosial dan ekonomi dengan kelompok atau kaum proletar. Buku ini layak menjadi penghuni perpustakaan pribadi di rumah anda,”.

Lalu, dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB Dr Mukhammad Najib berkomentar: “Buku ini menyadarkan kita betapa rentannya nilai rupiah dibanding mata uang negara lain. Hal itu terjadi bukan semata karena belum stabilnya situasi politik nasional, tapi karena lemahnya fundamental ekonomi kita.

Gerak ekonomi yang lebih dominan konsumsi daripada produksi turut berkontribusi bagi pelemahan rupiah. Dengan pengalaman di pasar uang, saudara Idrus tidak hanya memetakan situasi nilai tukar, namun juga menawarkan pemikiran bagaimana memperkuat rupiah.

Rangkaian pengamatan, pemikiran, dan pengalaman yang disajikan dalam bahasa popular oleh Idrus membuat bukan ini tidak hanya enak dibaca, tapi juga lebih mudah dipahami.

Semoga buku ini bisa menambah wawasan dan perspektif baru kepada pembaca, terutama mereka yang memiliki minat khusus kepada sektor keuangan dan moneter.” Sedangkan Farouk al Wayni: Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) menyatakan, “Upaya yang patut dihargai untuk mengaitkan persoalan mata uang rupiah kita dengan persoalan ekonomi-politik Indonesia. Persoalan ekonomi Indonesia memang perlu dilihat bukan dari sekedar pendekatan ekonomi semata, tetapi juga pendekatan ekonomi politik”.

Drs Sapto Waluyo, M.Sc

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Reform (CIR) Jakarta