Oleh : ID.P.G. Rai Anom, S.TP.

Enam bulan terakhir Harian Umum Bali Post rajin sekali memuat berita seputar Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali. Setiap hari ada saja berita Pemprov yang dimuat. Entah Gubernurnya, program pembangunannya, para pembantu Gubernur apalagi permasalahan-permasalahan pembangunan dan sebagainya. Pendek kata, tiada hari tanpa berita Pemprov di Bali Post. Mungkin saking antusiasnya pengelola Bali Post, halaman muat berita Pemprov itu tidak lagi melulu dihalaman dalam, sebagaimana sebelum-sebelumnya, akan tetapi berita-berita itu sepertinya sudah naik kelas sehingga dimuat di halaman satu. Walaupun sering kali tanpa konfirmasi dan kapasitas narasumbernya  tidak layak masuk halaman satu.

Semua mengetahui, jumlah berita Bali Post yang dimuat pada halaman satu itu sering kali bukan hanya satu, tetapi bisa dua bahkan tiga buah. Teknik penyajiannya sengaja dibuat sangat atraktif dengan tujuan menarik minat siapa saja yang berkesempatan melihatnya . Kesengajaan penyajian (setting) tersebut terlihat dari foto-foto yang berwarna penuh (full colour), halaman dasarnya juga berwarna (diroaster) dan grafis-grafisnya yang khusus. Lay outnya tidak seperti biasa. Belum lagi karikaturnya. Luar biasa. Sangat kreatif dan inovatif sehingga terkesan sangat impresif.

Mendapati sajian berita Bali Post yang tidak biasa seperti itu, dan dimuat secara terus menerus, pada awalnya pasti berhasil menarik perhatian dan menyebarkan keyakinan. Namun karena kandungan beritanya monoton, membuat penulis berpikir dan bertanya-tanya. Mengapa Bali Post melakukan itu? Mengapa berita-berita Pemprov hampir tiap hari masuk halaman satu walaupun contennya terkesan dicari-cari, kapasitas narasumber, prinsip keseimbangan dan prinsip cover bothsidenya juga tidak terpenuhi? Pertanyaan berikutnya, mengapa suguhan berita-berita itu baru terjadi enam bulan terakhir?

 

Titik Picu

Setelah ditelusuri secara sangat sederhana, penulis mendapatkan bahwa titik pangkal atau titik picu munculnya pemberitaan yang dalam kebanyakan penyajian berbau tendensius bahkan provokatif itu berawal dari kunjungan kerja Gubernur Bali Made Mangku Pastika (MP) ke Kabupaten Klungkung Minggu, 18 September 2011. Saat itu Gubernur ke Klungkungan untuk melihat kondisi krama Bali korban bentrok antara Desa Kemoning dengan Budaga yang dirawat di rumah sakit. Usai melihat kondisi para korban, Gubernur diwawancarai sejumlah wartawan mengenai upaya penyelesaian kasus pakraman itu.

Pada saat wawancara berlangsung, wartawan Bali Post Biro Klungkung tidak ada di lokasi. Namun, keesokan harinya, Senin, 19 September 2011, muncul berita utama (headline) di halaman satu Bali Post dengan judul besar dan tebal : Pascabentrok Kemoning – Budaga: (dicetak miring dan berwarna merah di baris atas, Gubernur : Bubarkan Saja Desa Pakraman (dicetak besar dan tebal di baris bawahnya). Sebuah judul yang sangat kontradiktif dan provokatif dibandingkan fakta di lapangan. Dikatakan demikian karena tidak ada sama sekali pernyataan Gubernur MP seperti judul berita itu yang mengesankan bahwa judul itu adalah dikutip langsung oleh wartawan Bali Post dari pernyataan verbal Gubernur Bali.

Oleh karena tidak merasa mengeluarkan pernyataan demikian, dan pemuatan berita seperti itu sangat menyinggung masyarakat Bali, beberapa waktu kemudian, Gubernur mengajukan somasi kepada Bali Post. Isinya agar Bali Post meminta maaf atas berita yang tidak sesuai fakta itu. Apalagi, hal yang sama dilakukan kembali oleh Bali Post berkenaan dengan pernyataan Gubernur MP yang disampaikan pada Hari Senin, 19 September 2011, pukul 10.00 Wita dalam Sidang Paripurna ke-4 tentang Jawaban Gubernur Atas Pandangan Umum Fraksi-fraksi terhadap Raperda tentang Perubahan APBD Tahun 2011 dan Raperda Kepariwisataan Budaya Bali di Ruang Sidang Utama Gedung DPRD Bali. Dalam sidang tersebut Anggota Fraksi Golkar DPRD Bali Wayan Gunawan mengajukan intrupsi menanyakan kasus Kemoning – Budaga dan berita di Bali Post. Oleh karena belum membaca, Gubernur menjawab apa adanya. ”Saya belum baca koran itu. Jadi saya mohon maaf karena belum baca,”  kata Gubernur waktu itu (untuk memastikan pernyataan Gubernur, silakan unggah menu Video Galery pada website www.baliprov.go.id).

Pernyataan Gubernur MP itu, keesokan harinya, ditulis besar-besar bahwa Gubernur mengakui pernyataan sebagaimana judul berita Bali Post sehari sebelumnya dan karenanya meminta maaf. Padahal fakta sesungguhnya sama sekali tidak demikian. Berita itu seratus persen opini sepihak Bali Post yang dipaksakan disajikan kepada masyarakat. Tak hanya Bali Post. Media anggota Kelompok Media Bali Post yakni Bali TV juga ikut-ikutan melakukan hal serupa: menyiarkan dialog interaktif dengan topik Bubarkan Desa Pakraman pada hari Senin 19 September 2011 sore. Presenter dialog dengan sangat jelas dan tanpa ragu menyebutkan bahwa Gubernur Bali meminta maaf atas pernyataan yang sebelumnya dimuat Bali Post. Tanpa konfirmasi seikitpun pada Humas Provinsi Bali!

Tidak ingin penyebaran berita bohong dilanjutkan kelompok media Bali Post (kmb), Gubernur mengajukan somasi. Isi somasi adalah meminta kmb menghentikan penyebarluasan berita bohong dan agar memuat permintaan maaf kepada Gubernur selama tujuh hari berturut-turut di sejumlah media cetak di Bali dan kmb sendiri. Jawaban Bali Post kemudian adalah, agar Gubernur menggunakan hak jawab. Padahal, hakjawab itu sudah disampaikan dalam sidang DPRD Bali, demikian asumsi Gubernur.

Dari sinilah perseteruan terbuka. Bali Post bersikukuh dengan sikap bahwa Gubernur belum menyampaikan Hak Jawab. Sementara Gubernur menegaskan bahwa Hak Jawab sudah disampaikan. Di sisi lain, karena itu merupakan hak, tidak ada kewajiban bagi Gubernur untuk menggunakan atau tidak. Media diharapkan melakukan auto kritik atas pemberitaan yang salah yang telah dilakukannya.

Mendapati sikap Gubernur seperti itu, kmb seperti naik pitam. Pemilih kmb, Anak Bagus Gede Satria Naradha (SN) melawan dan tak mau disebut bersalah. Dengan penuh arogansi dan berpegang pada Undang-Undang Kemerdekaan Pers, setiap hari memuat berita yang memojokkan dan menjelek-jelekkan Pemprov Bali pada umumnya dan Gubenrur MP pada khususnya. Bali Post benar-benar menunjukkan diri sebagai media terbesar di Bali yang mampu menebar provokasi kepada seluruh pembacanya di seluruh Bali dalam sekejap.

Tebar provokasi pertama adalah, Gubernur berulang kali diberitakan mengancam kemerdekaan pers. Karenanya,  Bali Post berhak melakukan apa saja untuk membela kemerdekaan pers itu. Berita-berita propaganda sampai dengan penggalangan dukungan publik mengatasnamakan kemerdekaan pers dilakukan. Semua program Bali Mandara dikuliti setiap hari. Di halaman satu dan hampir di setiap halaman dalam. Bali Post juga tak malu-malu mengajak publik melakukan persembahyangan bersama melibatkan orang yang tidak tahu sama sekali duduk persoalan sebenarnya ke pura Kahyangan Jagat di Bali. Doa mereka, agar kemerdekaan pers tetap tegak.

Setelah berjalan beberapa hari, dan tidak tampak niat baik Bali Post memenuhi somasi Gubernur, Gubernur MP pun meneruskan somasi menjadi proses hukum. Sikap Dewan Pers yang tidak secara tegas menyalahkan Bali Post juga menjadi penyebab Bali Post digugat secara pidana maupun perdata. Dengan proses hukum ini, Gubernur berharap ada solusi damai karena ada masa mediasi selama 40 hari.

Oleh karena selama proses mediasi dalam artian menyelesaikan masalah secara damai, Bali Post dengan ABG Satria Naradha (SN) sebagai pemilik modal sekaligus pengarah opini tidak sekalipun menghadiri mediasi, maka Gubernur meneruskan kepada prses hukum. Sementara pada saat yang sama SN dengan Bali Postnya kian rancak menabuh gendrang perang perusakan reputasi Gubernur MP berikut program Bali Mandaranya. Semua program Bali Mandara dicari kelemahan dan dikuliti kemudian dimuat. Ada atau tidak ada konfirmasi sepertinya tidak penting. Tampak jelas dari sajian Bali Post bahwa SN tak peduli lagi dengan segala aturan jurnalistik dalam pemuatan berita.

 

Titik Balik

Berhari-hari dipaksa menerima berita yang tidak komprehensif membuat masyarakat penikmat informasi bertanya-tanya. Kerinduan akan Bali Post yang baik dan benar semakin besar. Namun setiap kali kerinduan itu datang dan jawaban Bali Post monoton berupa keangkuhan sajian berita-berita menjelek-jelekkan Pemprov Bali, muncul kesadaran masyarakat kalau-kalau ada sesuatu yang tidak beres dibalik berita itu. Pesan dibalik berita yang tidak informatif, tidak mendidik dan tidak profesional pun terbaca. Apalagi setelah tiga kali persidangan mediasi di Pengadilan Negeri Denpasar dimana Gubernur MP selalu hadir sedangkan SN tak sekalipun hadir. Kemuakan dan kejenuhan membuncah di masyarakat dan mereka mengekpresikannya dalam bentuk titik balik dari semula percaya pada Bali Post berbalik percaya dan simpati pada MP. MP adalah korban. MP adalah yang teraniaya.

Itu terungkap jelas dalam acara coffee morning Gubernur dengan pimpinan partai politik, akademisi, pengamat politik, dan pengamat ekonomi di Gedung Kertha Sabha awal Februari 2012 lalu. Semua yang hadir saat itu menyatakan kecewa atas pemberitaan Bali Post yang tidak sesuai fakta. Pernyataan-pernyataan diplintir. “Isi berita tidak nyambung dengan judul,” kata Ketua Partai Demokrat Made Mudarta. Oleh karena demikian keadaannya, mereka mendukung proses hukum yang dipilih Gubernur diteruskan. Tidak perlu Gubernur menarik apalagi mencabut gugatan kecuali SN benar-benar mau berdamai sesuai syarat MP.

Terbaca pula dalam forum itu niat tidak baik yang sengaja disetting SN dibalik berita-berita tendensius Bali Post. SN bahkan dituding dengan sengaja melakukan apa yang disebut character assasination (pembunuhan karakter) terhadap MP dengan melakukan usaha-usaha mencoreng nama baik dan harga diri MP sebagai Gubernur Bali. SN sengaja mencari-cari kejelekan dan kelemahan MP dan sengaja melebih-lebihkan atau memanipulasi fakta untuk memberikan citra yang tidak benar tentang MP dimata publik.  Tujuan SN adalah menekan MP mencabut gugatannya.

Dengan usaha-usaha seperti itu, SN berharap akan terjadi pengadilan massa atau pengadilan media massa (sepihak) terhadap MP karena secara teoritis, dalam model character assasination, media (dalam hal ini Bali Post grup), sengaja memuat dan menyiarkan berita bahwa MP telah melakukan kejahatan atau pelanggaran norma sosial tanpa melakukan konfirmasi. Akibat yang diharapkan adalah rakyat memojokkan dan merusak reputasi MP sehingga yang bersangkutan menjadi terhambat karirnya serta akibat yang lebih besar lainnya.

Apakah usaha-usaha itu berhasil? Ternyata gagal. Setelah enam bulan Bali Post membangun opini negatif mengenai MP, opini malah berbalik. Bali Post kini malah dinilai telah melakukan ‘penganiayaan’ terhadap MP. Lebih dari itu Bali Post bahkan telah dicitrakan sebagai media pembuat berita bohong, tanpa konfirmasi, melanggar kode etik jurnalistik, serta melanggar ketentuan Dewan Pers dimana SN merupakan anggota Dewan Pers itu sendiri. Sikap MP meneruskan proses hukum  pun akhirnya kian mendapat dukungan luas masyarakat.

Dukungan agar Gubernur meneruskan proses hukum juga muncul dalam seminar peluncuran buku kekerasan dalam dunia pers yang dilaksanakan Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Indonesia cabang Bali di Hotel Nikki Denpasar, Rabu, 29 Februari 2012. Dalam forum tersebut, peserta meminta agar pemilik modal, pengelola dan pengasuh media massa melakukan autokritik. Bercermin dari kasus MP dengan SN dimana SN menuding kekuasaan telah melakukan ancaman terhadap kemerdekaan pers, peserta malah balik mempertanyakan, “Tidakkah pers itu sendiri yang telah melakukan tindakan mengancam kemerdekaan pers dengan menyuguhkan informasi yang melanggar kaidah-kadiah jurnalistik yang dibuatnya sendiri karena kepentingan pemilik modal?” kata mereka.

Oleh karenanya, simpati kian mengalir kepada MP. Sikap berani MP menjaga konflik dengan SN dinilai bagus oleh peserta. Masyarakat Bali bisa memetik pelajaran banyak untuk menilai kinerja pers. Dengan kasus ini masyarakat menjadi tahu  banyak hal. Pertama, “Ooo begini toh caranya pemimpin Bali menyelesaikan konflik. Bukan dengan kekerasan, tetapi melalui jalur hukum yang terhormat.”  Kedua, masyarakat menjadi terbuka wawasan dan daya kritisnya bahwa sikap mereka yang menganggap semua berita yang disampaikan pers itu benar, ternyata tidak demikian kenyataanya. Ketiga, masyarakat juga menjadi sadar, ada problema serius dalam tubuh internal Bali Post sehingga banyak karyawannya – termasuk wartawannya – keluar dari lembaga itu dimana ketika terjadi konflik antara MP dengan SN mereka bersikap melawan Bali Post. Bukannya mendukung. Para mantan karyawan Bali Post itu bahkan kini membentuk wadah Aliansi Media Bali dan menjadi penggerak sejumlah media dengan komitmen menegakkan kadiah-kaidah jurnalistik yang baik dan benar. Dan kelima, masyarakat juga menjadi sadar dan tahu bahwa banyak pelanggaran kaidah jurnalistik dilakukan Bali Post, terutama terlalu mendewakan diri sebagai media industri yang terlalu tunduk pada pemilik modal sehingga tidak ada pembatasan antara berita advertorial dengan berita karya jurnalistik murni.

Demikianlah, usaha-usaha pembunuhan karakter Gubernur Bali MP dengan nyata telah dilakukan oleh Bali Post selama berbulan-bulan secara terus menerus. Syukurnya, usaha-usaha itu kini menunjukkan titik balik alias gagal. Harapan Bali Postagar masyarakat terprovokasi tidak terpenuhi. Fakta dilapangan berbicara lain. Dalam tempo enam bulan masyarakat Bali menunjukkan kematangannya. Dengan bekal kearifan lokal dan keluguan yang diturunkan para leluhurnya, masyarakat memilih dan memilah mana yang baik dan patut diterima, kemudian disikapi dan dibela dan mana yang tidak baik dan harus dibuang. Itulah ketahanan mental masyarakat yang lahir dari ilmu pengetahuan yang komprehensif dan budaya demokrasi yang panjang disertai praktek etika yang telah teruji. Salut untuk masyarakat Bali dan saatnya kedewasaan dan kematangan publik Bali ini dikelola dengan baik dan benar oleh para pemimpin di daerah ini.

Satyam eva jayate. Bali dwipa jaya.