KPK

Di antara sekian titik krusial pemberantasan korupsi dalam pemerintahan Presiden Joko Widoddo, ada satu titik paling penting dalam ikhtiar itu, yakni mencegah ambruknya kedigdayaan Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK).

Setidaknya, itulah yang dinyatakan oleh sejumlah pakar hukum dan pengamat politik dalam menilai perkembangan terakhir masalah ketegangan antara KPK dan Polri yang terepresentasikan dalam perkara hukum yang melibatkan orang-orang penting di kedua lembaga itu.

Menyikapi ketegangan itu, Presiden Jokowi memilih bersikap netral, membiarkan kedua institusi memperlihatkan transparansi dan keadilan dalam memproses perkara yang masing-masing mereka tangani.

Namun, di tengah netralitas sikap Jokowi itulah, gempuran terhadap komisioner KPK justru datang beruntun. Sejumlah warga mengajukan gugatan terhadap komisioner KPK. Pihak kepolisian yang menerima gugatan itu segera menanggapi dengan antusias dan terjadilah apa yang diistilahkan dengan pelumpuhan fungsi lembaga antirasuah itu.

Melihat perkembangan yang tak menyehatkan itu, pakar hukum Saldi Isra memberi masukan bahwa Presiden Jokowi perlu segera engambil keputusan untuk menyatakan kepada publik untuk tidak melantik Budi Gunawan yang sudah disetujui oleh DPR dan memilih calon Kapolri baru untuk dimintakan persetujuannya dari DPR.

Saldi yang juga guru besar hukum tata negara dari Universitas Andalas itu percaya bahwa Jokowi tak akan mengecewakan pemilihnya dengan membiarkan masalah pengangkatan Kapolri baru menjadi berlarut-larut.

Hal senada juga disampaikan oleh pengajar ilmu hukum dari Universitas Gadjahmada Zainal Ariin Mochtar. Menurut Zainal, Jokowi perlu membuka seluas-luasnya masukan dari berbaga pihak untuk mendapatkan calon Kapolri yang berintegritas.

Memilih calon Kapolri yang mendukung pemberantasan korupsi otomatis adalah figur yang tidak akan melakukan kriminalisasi terhadap para komisioner di KPK. Selama ini, sejak sengkarut ketegangan KPK-Polri dalam apa yang dijuluki dengan kasus cicak versus buaya, hubungan harmonis para pejabat Polri dan komisioner KPK selalu menimbulkan kekhawatiran khalayak.

Kasus ketegangan KPK dan Polri belakangan ini, yang mengemuka sejak penetapan BG sebagai tersangka oleh KPK, membuat Jokowi dalam posisi blunder menghadapi tekanan politisi parpol yang mengusungnya dan tekanan publik.

Menghadapi dua tekanan yang berseberangan itu, Jokowi pun bermanuver dengan membentuk tim sembilan yang diketuai Ahmad Syafii Maarif. Kepada mantan orang nomor satu di ormas Muhammadiyah itu, Jokowi berjanji tak akan melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Publik merasa lega mendengar pernyataan Jokowi yang disebarkan secara luas kepada publik lewat Syafii Maarif yang dikenal sebagai tokoh senior yang juga tokoh dalam hubungan antarumat beragama itu.

Puncak pengambilan keputusan strategis yang akan diambil oleh Jokowi agaknya terjadi setelah keputusan sidang praperadilan yang diajukan Budi Gunawan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang menurut rencana akan diambil pada Senin (16/4). Jika mengacu pada janji Jokowi kepada Syafii Maarrif, agaknya apapun keputusan praperadilan di PN Jakarta Selatan itu tak berdampak banyak pada ikhtiar Jokowi untuk memilih calon Kapolri baru.

Diterima atau ditolak permohonan Budi Gunawan dalam sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan, Jokowi akan memilih calon Kapolri baru dan tak akan melantik Budi Gunawan.

Pilihan atas calon Kapolri baru yang pro-KPK akan menyelamatkan Jokowi dalam perjalanan politiknya selanjutnya. Orang yang bersimpati pada KPK untuk memberantas korupsi tentu cukup banyak di lingkungan Polri. Jika orang yang demikian inilah yang ditemukan Jokowi, tugas Jokowi untuk melunasi janji kampanyenya dalam pemberatasan korupsi akan berjalan mulus sehingga Jokowi dapat berkonsentrasi untuk tugas-tugas strategis lainnya, misalnya membersihkan institusi-institusi lain dari anasir yang korup.

Persoalan yang kini dihadapi Jokowi sesungguhnya adalah mengendalikan kekuasaan sesuai dengan kemauan pribadi dan bukan sesuai dengan kompromi di antara sekian banyak kepentingan yang bercokol di banyak kepala elite parpol.

Publik percaya bahwa jika Jokowi mengendalikan kekuasaan eksekutif yang dipegangnya sesuai dengan kemauan pribadi, tentu Jokowi akan berkonsultasi dulu dengan lembaga-lembaga yang bisa memperlihatkan integritas calon Kapolri. Pertaruhan politik Jokowi adalah mengikuti elite politik atau kepentingan publik yang tak sejalan dengan para elite politik itu. Jika yang pertama yang dipilih Jokowi, secara politik jangka pendek akan menguatkan posisi sang Presiden namun dalam perjalanan karier politik kepresienannya, Jokowi tersandera oleh penyangkalan atas janji-janji semasa kampanyenya.

Kini, ketegangan KPK – Polri yang memperkeruh tugas-tugas KPK dalam penegakan hukum terhadap tersangka korupsi diakui sejumlah komisioner KPK mengalami kemacetan. Sejumlah kasus-kasus korupsi yang mestinya sudah bisa dituntaskan menjadi tersendat-sendat karena energi di tubuh KPK terkuras untuk menghadapi banyaknya tuntutan masyarakat terhadap sejumlah komisioner KPK.

Publik pun mulai mendorong Jokowi untuk mengikuti pendahulunya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menggunakan kewenangannya dengan mengintervensi Polri dalam mengatasi kasus hukum yang melibatkan komisioner KPK.

Presiden Jokowi tampaknya masih mengikuti nasihat filosof Mencius, yang mengatakan bahwa menyampaikan sebuah kebenaran yang terlalu dini, sebelum waktunya yang tepat, akan mendatangkan bahaya. Namun, yang tak setuju dengan filsafat Mencius mengatakan bahwa kata-kata itu hanya berlaku di zaman kuno saat kekuasaan dipegang kaisar yang garang. M Sunyoto/Antara