Sejak dikasih amanah sebagai Ketua Umum Ikatan Wartawan Online pada akhir tahun 2017 hingga kini, nyaris setiap minggu saya menerima laporan adanya tindak kekerasan yang dialami oleh kawan-kawan wartawan.

Di luar urusan siapa yang salah, melakukan tindak kekerasan–apalagi kepada wartawan yang sedang melakukan tugas peliputan–adalah tidak dibenarkan secara hukum.

Bagi mereka yang kurang paham dengan tugas-tugas wartawan yang selalu ingin tahu, ceriwis dalam bertanya, membuka aib pejabat; memang menjadi profesi yang menyebalkan. Tapi begitulah suratannya, jika seseorang mau jadi wartawan yang baik, yang hebat, dan dikenang sejarah, memang harus menjadi wartawan yang menyebalkan.

Wartawan yang membuat narasumbernya kehabisan kata-kata karena semua data yang dia punya dikuras habis oleh sang wartawan.

Wartawan yang menyebalkan adalah yang membuat muka narasumbernya merah padam lantaran tak bisa mengelak untuk bicara terbuka soal-soal yang ditanyakan sang wartawan.

Wartawan yang menyebalkan adalah yang mampu membuat narasumbernya tersipu malu lantaran dirinya tak bisa bersembunyi oleh cecaran pertanyaan sang wartawan yang memiliki data lengkap tentang masalah yang ditanyakan.

Wartawan yang menyebalkan adalah yang membuatmu merasa semua dosa-dosamu kepada rakyat ditulis secara rinci dengan data yang akurat.

Wartawan yang menyebalkan adalah yang membuatmu keder saat bertatapan mata dengannya dan lantas membuatmu murka dan mengajak teman-temanmu mengeroyoknya.

Wartawan yang menyebalkan adalah dia yang tak bisa kau beli dan kuasai meski engkau memiliki banyak uang dan kekuasaan.

Wartawan yang menyebalkan adalah anjing yang menggonggongmu jika engkau berniat busuk dan mau bertindak jahat.

Menjadi wartawan yang “menyebalkan” memang pilihan. Sebab, banyak pula wartawan yang menyenangkan bagi narasumbernya.Sebab semua yang ditanyakan, semua yang digali dari narasumber hanya yang baik-baik saja.

Itulah sebabnya, wartawan yang menyebalkan cuma sedikit jumlahnya. Sebab, selain kudu terus belajar, juga memiliki risiko besar untuk disakiti oleh pihak-pihak yang tak menyukai tulisannya.

Maka tak heran kiranya, banyak wartawan yang menyebalkan menjadi korban kekerasan pihak yang berkuasa tapi  bertelinga tipis dan tak dapat menahan amarah.

Mereka yang menjadi korban kekerasan adalah Muhammad Fuad Syahfrudin alias Udin (jurnalis Harian bernas Yogyakarta tewas tahun 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi, Kalimantan Barat tewas 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press tewas di Timor-Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaludin (jurnalis TVRI di Aceh, tewas 17 Juni 2003), Ersa Siregara (jurnalis RCTI tewas 29 Desember 2003).

Selain itu, Herliyanto (jurnalis tabloid Delta Pos, tewas 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal Merauke, tewas 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas 18 Desember 2010, Muhammad Yusuf, 42 tahun, wartawan Kemajuan Rakyat dan Berantas News, yang tewas di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Kotabaru pada Minggu 10 Juni 2018.