Ilustrasi

 

Denpasar, (Metrobali.com)

Pendidikan, terutama di Dunia Ketiga yang jumlah orang miskinnya banyak, ketimpangan sosial ekonomi tinggi, peran sentral pendidikan adalah membebaskan (liberating) insan-insan manusia dari kemiskinan dan dari “lembah” ketidak adilan sosial.

Hal itu dikatakan pengamat kebijakan publik Jro Gde Sudibya, Selasa 2 Mei 2023 di Denpasar menyikapi perkembangan dunia pendidikan di bawah kepemimpinan Gubernur Koster selama 4,5 tahun.

Dikatakan, dalam konteks pemikiran ini, penghapusan sistem persoalan SMAN Bali Mandara, yang telah terbukti menghasilkan lulusan dengan kualifikasi terbaik, berkarakter kuat, dari keluarga miskin, adalah kekeliruan kebijakan.

‘Semestinya sistem persekolahan ini, dijadikan model percontohan, dan kemudian dikembangkan minimal satu sekolah di setiap kabupaten/kota madya. Bukan “diamputasi”.
Penghapusan model persekolahan ini, merupakan contoh politisasi kebijakan pendidikan yang kebablasan, merugikan upaya pengembangan SDM berkelanjutan,” kata Jro Gde Sudibya

Dikatakan, dari perspektif pemikiran filsafat pendidikan Bapak Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, setiap pejabat publik adalah guru kehidupan bagi warganya, dalam: keteladanan, motivator dan pemberian pengasuhan.

Akan tetapi kebijkan Gubernur Koster lebih mementingkan pembangunan struktur fisik
menyangkut proyek pemugaran Besakih, yang menonjolkan nilai ekonomi komersiil, di tempat suci yang semestinya didominasi oleh: kedalaman rasa rokhani, ketenangan, kesucian, sehingga sebenarnya Gubernur Koster tidak mampu memberiksn keteladanan tentang nilai-nilai kesucian dan spiritualitas.

Dikatakan, dalam pembangunan proyek PKB di Klungkung, yang dalam pengurugan proyek telah merusak lingkungan Bukit Buluh dan sekitarnya, jadi tidak mampu memberikan keteladan dalam menjaga dan merawat lingkungan. Padahal salah satu visinya Wana Kertih, kesejahteraan hutan. Visi yang kontradiktif dengan realitas.

Dicontohkan, dalam proyek jalan tol Gilimanuk – Mengwi, diperkirakan akan “menerjang” sawah nan subur seluas 480 hektar dan mengancam eksistensi sekitar 80 subak. Yang bersangkutan tidak mampu memberikan teladan bagi upaya pelestarian Subak yang telah melegenda, dan bagian yang tidak terpisahkan dengan kebudayaan Bali dalam perjalanan sejarahnya yang panjang.

“Slogannya melestarikan Subak, fakta di lapangan ternyata berbeda,” kata Jro Gde Sudibya. (Adi Putra)