Catatan dari Seminar Nasional 50 Tahun UNUD (2) : Sulinggih: Jangan Pilih Politisi yang Tak Bela Bali
TEMA Perda Tata Ruang yang dalam setahun belakangan ini mendorong diskusi dan debat, mengundang ‘’kegerahan’’ beberapa Sulinggih. Para suci umat Hindu ini mengingatkan, umat Hindu agar cerdas memilih politisi dalam perhelatan pemilu, baik pemilu, baik ketika memilih anggota DPD, DPR/D, Gubernur maupun Bupati. Jangan sampai memilih politisi yang tidak mau membela aspirasi masyarakat Bali, Bhisama Parisada, dan tak mau ikut menjaga alam dan kelestarian budaya Bali. Penegasan para Sulinggih itu merespon pernyataan senada yang dilontarkan Ketua PHDI Bali, Dr. IGN Sudiana, ketika memaparkan materi dalam seminar.
Pernyataan dilontarkan beberapa Sulinggih, Ide Acharya Agni Yogananda, Ide Mpu Dangka Ramana Putra, Ide Mpu Reka Tenaya, dan Ide Rsi Agni Jayamukthi, dalam seminar Tata Ruang di kampus UNUD 24 April lalu itu. Mereka jelas-jelas sangat kecewa, karena Perda RTRW yang sudah sah, aspiratif, sesuai mekanisme dan melalui kajian mendalam oleh para ahli, tiba-tiba mau dirombak sebelum dilaksanakan. Dan yang jadi motor perombakan itu adalah beberapa anggota DPRD Bali yang dipilih langsung. Dasar untuk melakukan revisi adalah permintaan beberapa bupati, yang diduga dikendalikan oleh investor dan pemilik tanah dalam radius kawasan suci menurut Bhisama Kesucian Pura. Untuk melogiskan revisi, dibuatlah alasan-alasan yang sebetulnya tidak termaksud dalam Perda Tata Ruang tersebut. Ada anggota DPRD Bali yang menyebut, akan terjadi bedol desa-desa di kawasan suci serta bumi hangus bangunan sepanjang sempadan pantai, akibat pelaksanaan Perda Tata Ruang.
‘’Sebetulnya, kalau dibaca baik-baik, tak ada bedol desa, pembongkaran, bumi hangus, atau sejenisnya. Dalam radius kawasan suci, pemanfaatnya diatur dalam konsep Tri Wana: Maha Wana, Tapa wana, Sri Wana. Mahawana merupakan hutan, Tapawana tempat bangunan suci, lalu Sri Wana itulah kawasan untuk pemukiman penduduk, pembangunan pashraman, dan bangunan lain yang tidak mengurangi kualitas kesucian,’’ jelas Sudiana, Ketua PHDI Bali, dalam paparannya.
Kendati masih ada sebagian anggota DPRD Bali yang menyambut aspirasi untuk mempertahankan dan melaksanakan Perda No. 16/2009, rupanya ada beberapa yang getol melakukan revisi. Agar wacana revisi mendapat sambutan, masyarakat pun dijejali informasi yang keliru dan dipleset-plesetkan tentang substansi Perda RTRW tersebut.
‘’Kalau Desa Adat yang di sekitar radius kawasan suci diinformasikan akan digusur, tentu mereka menolak. Sayang, provokasi seperti itu dilakukan oleh oknum anggota dewan, untuk melogiskan usulan revisi. Padahal, baik karena pasal 150 Perda tentang penyesuaian, maupun pasal-pasal yang mengatur kawasan suci dan bhisama, tidak ada tersurat maupun tersurat untuk bedol desa, penggusuran, dan sejenisnya,’’ lanjut IGN Sudiana.
Prof. Dr. Made Bakta pun, dalam kesempatan sambutan maupun penutupan seminar, mengingatkan masyarakat, agar jeli memilih pemimpin Bali ke depan. Jangan pilih pemimpin yang tidak komit membela aspirasi masyarakat Bali, tidak mau membela kelestarian alam dan budaya Bali yang bernafaskan agama Hindu, tidak tegas-tegas membela bhisama kesucian pura.
Sementara senator Bali Wayan Sudirta, menanggapi pernyataan beberapa sulinggih tersebut, langsung ‘’menantang’’ mahasiswa ataupun aktivis LSM. ‘’Kalau sulinggih melontarkan hal itu, sebaiknya yang muda-muda jangan kalah. Jangan sampai Sulinggih yang membuat daftar politikus hitam, karena beliau tidak melihat pemuda dan LSM bergerak untuk penyadaran masyarakat, berkampanye positif untuk memilih politisi bersih dan berkomitmen. Saya tantang, LSM-LSM lah yang membuat daftar politikus hitam, daftar yang tak boleh dipilih, misalnya karena tidak mau membela bhisama, alam dan kelestarian Bali,’’ kata pria yang juga ketua Kaukus Anti Korupsi DPD RI tersebut.
Ketika seminar berlangsung semarak, memang hanya satu dari 4 anggota DPD RI Prov. Bali yang sudah jelas sikapnya memperjuangkan aspirasi penolakan revisi dan selalu hadir penuh dalam diskusi-diskusi yang membahas masalah ini. Tokoh tersebut adalah I Wayan Sudirta. Tiga lainnya, ada Alit Kesuma Kelakan, yang hanya hadir saat awal seminar dan permisi ketika pemaparan mulai, dan tak kembali ketika dialog berlangsung. Dua lainnya, Lolak Arimbawa dan Nengah Wirata, tidak nampak hadir.
Rektor UNUD, Prof. Bakta menyatakan, sudah mengundang semua anggota DPD Prov. Bali.
Memang sempat ada ‘’insiden kecil’’, karena pada hari dan jam bersamaan, di Program S-3 Kajian Budaya Faksas UNUD digelar diskusi yang mengundang 3 anggota DPD RI sebagai narasumber. Yakni, Wayan Sudirta, Alit Kelakan dan Nengah Wirata. Namun, karena jam acara bertabrakan, Sudirta mengusulkan acara di S-3 ditunda. Rektor UNUD memerintahkan agar undangan untuk anggota DPD yang terlanjur disebar ditarik kembali, agar para senator itu bisa hadir di Seminar Tata Ruang. Namun, toh hanya Wayan Sudirta yang hadir penuh, dan Alit Kelakan yang minta ijin disebut-sebut harus hadir dalam Diskusi 4 Pilar di S-3 UNUD tersebut. IKA-MB
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.