MENCERMATI semakin sulitnya kehidupan warga yang hidup di sektor pertanian di Bali, sudah saatnya Pemprov dan Pemkab menjadikan agenda penting di tahun 2013. Beratnya beban disektor ini sudah banyak dikeluhkan, bukan saja oleh petani tapi juga pemilik lahan.

Lahan pertanian sawah misalnya, beberapa persoalan bendasar yang perlu segera di selesaikan, yakni;  tingginya biaya produksi, meningkatnya tuntutan kebutuhan lahan permukiman dan fasilitas pariwisata, kerusakan lingkungan, cuaca tidak menentu, beban pajak,  rendahnya kemauan anak muda untuk bertani dan sebagainya.

Kalau dilihat dari beban tersebut, sepertinya telah dan ada kondisi yang cendrung membuat petani/pemilik lahan berada dalam kondisi tak berdaya, sehingga mempercepat keputusan untuk menjual sawahnya kepada siapa saja yang mau membayar. Tidak peduli lagi, peruntukan selanjutnya untuk apa.

Jika lahan sawah sudah dijual, tentu hal itu bukan lagi tugas pemilik lahan. Demikian juga bagi pemilik baru, sah-sah saja mengelola lahannya. Mau tetap dijadikan sawah, dijual belikan atau dijadikan perumahan. Adanya sistem pasar murni yang dihadapi oleh pemilik lahan sawah saat ini, maka semuanya akan berpulang pada hukum pasar, hingga sampai pada titik keseimbangannya. Jika visi dan misi pembangunan Bali sepakat membiarkan hukum pasar bekerja sepenuhnya, berarti tidak perlu diperdebatkan lagi, karena begitulah hukum pasar bekerja.

Namun sebelum semuanya diserahkan pada “Hukum Pasar”, ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab, yakni; Masih perlukah Bali memilik Sawah? Adakah hal yang strategis dan mendasar yang patut diyakini sehingga sawah di Bali perlu dipertahankan? Jika ingin mempertahankan sudahkah berangkat dari kesadaran yang sejalan dengan kedudukan, fungsi dan hakekat sawah yang sebenarnya bagi Bali dan di Bali? Jika hakeket sawah sudah disadari, dari mana dan bagaimanakah proses pelestarian sebaiknya dimulai dan dilakukan? Dan jika mau melakukan pelestarian dan perlindungan, siapakah yang seharusnya melakukan? Dan seterusnya.

Nampaknya pembangunan yang bertumpu pada mekanisme pasar tidak selalu sejalan dengan potensi lokal di masing-masing negara dan wilayah. Mencuatnya isu dunia tentang ketahanan pangan, ekonomi, HAM, lingkungan, pemanasan global dan sebagainya, sepertinya telah mendorong kesepakatan global untuk mempertahankan dan melestarikan lahan pangan produktif secara berkelanjutan. Oleh sebab itu, campur tangan pemerintah mutlak diperlukan.

Hal itu pun kemudian di respon oleh pemerintah Republik Indonesia dengan mengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.  UU No.41/2009 ini pun sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa tujuan bernegara adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Salah satu bentuk perlindungan tersebut adalah terjaminnya hak atas pangan bagi segenap rakyat yang juga merupakan dasar fundamental hak asasi manusia. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 28A dan Pasal 28C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Khusus untuk Bali, dengan telah ditetapkanya Perda No. 16/2009 tentang RTRW Provinsi dan telah ditetapkannya Perda RTRW Kabupaten di seluruh kabupaten/kota di Bali pada kurun waktu tahun 2012, adalah peluang untuk memulai langkah maju dalam memberi perlindungan lahan pertanian sesuai dengan potensi lokal di Bali. Dan semestinya torbosan untuk melindungi lahan pangan secara berkelanjutan khususnya lahan pertanian sawah harus segera diwujudkan dan dibuktikan.

Perlu diingat, Bali terus kehilangan lahan sawah. Alih fungsi lahan sawah di Bali dalam 10 tahun terakhir (Th 2000 s.d 2011) mencapai 2.330 hektare, atau rata-rata per tahun mencapai 233 hektare (0,54%) dari total lahan sawah seluas 81.908 hektare di seluruh Bali. Bahkan tahun 2012 sudah turunn menjadi 81.744 ha  saja ( Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali).

Semoga kebijakan dan arah pembangunan di Bali tidak terus berada di wilayah “remang-remang”. Remang-remang karena dibalik tingkat pertumbuhan rata-rata ekonomi Bali yang  cukup tinggi, tapi disatu sisi mengarah pada “ancaman keseimbangan” tata ruang dan daya dukung alam Bali sebagai pulau kecil. Misalnya, mulai munculnya kemacetan lalu lintas yang cukup parah, meningkatnya kriminalitas, kemiskinan, krisis air bersih dan keamanan dalam arti yang luas.

Semoga Ranperda Provinsi Bali tentang Subak yang saat ini masih dibahas bisa dioptimalkan. Karena keberadaan sawah di Bali bukan hanya untuk urusan pangan, tetapi juga menyangkut spirit dan landasan kehidupan “satu tubuh” Bali yang utuh dan mendasar. Sehingga kelak jika telah ditetapkan menjadi Perda Subak, benar-benar bisa memberi rujukan operasional dalam perlindungan lahan pangan (pertanian) secara bekelanjutan. Sehingga filosofi “Tri Hita Karana” bukan hanya selogan, tapi benar-benar bisa dirasakan dan dijalankan. (MN).

Oleh: Made Nurbawa