Catatan Akhir Tahun : Ulu Ledak Sang Kromoson
Oleh : I Wayan Westa
//Sebagian besar planet kita masih didominasi para tiran, dan bahkan di negara-negara yang paling liberal pun masih banyak warga yang menderita kemiskinan, kekerasan dan penindasan.//
[Yuval Noah Harari]
Sampai detik ini, Albert Einstein, ilmuwan keturunan Yahudi itu tetaplah fisikawan terbesar dunia. Temuannya tentang teori Relativitas tak tergoyahkan membuat dunia fisika kian terbuka serta pemahaman perihal alam semesta makin meluas. Ia menandatangani surat termasyur kepada Franklin Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke-32, membujuk agar AS menanggapi gagasan bom atom itu dengan serius.
Apa yang terjadi kemudian?
Nun delapan puluh tahun silam, tepat pukul 08.15 waktu Jepang, 6 Agustus 1945, bom atom dijatuhkan di Hiroshima. Wartawan John Hersey menulis tragedi ini begitu mengiris, karyanya menjulang sebagai jurnalisme sastra termegah di abad ke-20, masterpiece pemenang Pulitzer Prize.
Hiroshima rata jadi tanah, membuat dunia menggigil. Amerika dikutuk dunia. Peraih nobel fisika ini tepakur dengan perasaan bersalah. Ia muak dengan pembuangan sia-sia nyawa manusia, lalu melibatkan diri dalam demonstrasi antiperang.
Namun perihal perang dan kekerasan dunia tak cuma berkecamuk dari zaman bom atom diciptakan, jauh sebelum suku-suku di bumi hidup nomaden, perang telah menjadi warisan paling mengiris penduduk bumi. Untuk tak dianggap berlebihan, peradaban dunia pun terbangun dari sisa-sisa konflik dan perang. Kekerasan menimpa dunia jauh sebelum manusia disebut beradab. Kian hari peralatan perang makin canggih. Ancaman nuklir , senjata biologis pemusnah massal tak terelakkan.
Itulah kenapa “manusia awatar” sekelas Krisna, Gotama, Yesus, Dalai Lama serta guru-guru dunia lainnya; hadir demi misi perdamain dunia. Toh ribuan orang suci yang pernah singgah di bumi, tak juga sanggup menghentikan perang. Kekerasan berlanjut hingga detik ini, tak ubahnya kutukan; manusia hidup dalam tegangan perang dan damai, sebagaimana kisah novel pengarang Rusia, Leo Tolstoy.
Tidak juga di abad modern, kekerasan tak cuma hadir di medan perang—kekerasan juga muncul dalam beragam bentuk, dalam aneka problem hidup kian luas. Kekerasan kini tidak cuma ditembakkan dari moncong-moncong bayonet dan bedil. Kekerasan verbal, kekerasan psikologis, kekerasan seks, bahkan kekerasan regulasi negara. Pajak yang tinggi, pemerintahan totaliter adalah wujud dari kekerasan itu.
Namun di tengah-tengah dehumanisasi itu, di tengah-tengah krisis kemanusiaan, selalu muncul pergerakan anti kekerasan. Sebab sungguh perang bukanlah penyelesaian konflik yang manusiawi, ia menyisakan trauma akut. Gandhi, bapak anti kekerasan India sudah sejak mula mengawal kemerdekaan India dengan gerakan anti kekerasan, toh akhirnya sang sanatani ini dibunuh anak bangsanya sendiri, ditembak dari jarak begitu dekat sembari menyebut nama Tuhan.
Kepedihan dan keprihatinan semacam inilah yang digulirkan Ketut Putrayasa di Galeri Nasional, dalam pameran bersama bertajuk SKALA: Trienal Seni Patung Indonesia. Telah lama sesungguhnya pameran itu digulirkan, delapan tahun silam, tepatnya; 7—26 September 2017. Akan tetapi, hingga kini; devosi dalam tindakan tetap dibadankan seniman kelahiran Tibubeneng, Bali ini.
Saban hari kita bisa melihat seniman ini melepas penyu di putaran Pantai Berawa. Penyu-penyu yang nyaris ‘disate’ para nelayan, dibeli sang seniman guna dilepas ke samudera lepas. Kerap dalam perjalanan jauh Putrayasa membawa serta beraneka makanan, untuk kera dan anjing-anjing liar di jalanan. Sering dalam nasib-nasib yang naas, ia mengubur bangkai-bangkai anjing dan kucing tertabrak mobil di jalan. “Saya berharap roh anjing ini tenang di alam sana”, kilah ayah satu putra ini.
Sudah sejak lama laku anti kekerasan dijalani Putrayasa, sebelum ia melakukan protes anti kekerasan di Galeri Nasional dalam bentuk seni instalasi granat super besar. Granat jumbo seberat kurang lebih satu ton ini terbuat dari plat tembaga murni dan stainles dengan teknik las astelin dan kenteng.
Sang seniman, Ketut Putrayasa menamai karya instalasi ini ; Motility. Secara biologis ia diterangkan sebagai sel atau organisme yang memiliki daya gerak spontan. Metafor ini lalu digambarkan sperma berkepala granat ̶ dengan satu pesan; bahwa dalam diri manusia tersimpan potensi kekerasan yang sewaktu-waktu bisa meledak dengan mudah.
Dari segi bentuk karya ini memang sederhana, cuma seonggok sperma berkepala granat. Bentuk dan rupanya pun tidak indah, tidak terlihat estetik di mata awam. Namun dari pesan yang hendak disampaikan, ini sebentuk teror batin dan duka yang dingin, tentang betapa pedihnya hati sang seniman menyaksikan kekerasan dunia. Korban-korban perang hanya menyisakan trauma akut; kehancuran, kematian sia-sia, dan cacat fisik seumur hidup.
Di mata batin seniman Ketut Putrayasa, kekerasan acap menjelma dalam berbagai kerusakan akut, tidak saja dalam perang frontal. Kekerasan pada lingkungan misalnya, sungguh mengamputasi ekosistem dan sendi-sendi kebudayaan manusia. Kerusakan lingkungan di belahan bumi menunjukkan bukti, betapa kejamnya sisi kapitalisme itu.
Di Kalimantan Timur misalnya, sebagaimana catatan kosmolog Karlina Supelli(2013), perempuan Dayak Benuaq memintal serat tanaman Doyo (Curculigo Latifola) menjadi benang mencelupnya ke pewarna dari sari tetumbuhan lalu menenunnya menjadi ulap(tenun) Doyo yang elok.
Menurut pengajar filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini, sudah beberapa tahun terakhir ini perempuan-perempuan Dayak Benuaq kesulitan menemukan tanaman Doyo yang hanya hidup di lantai-lantai hutan yang gelap dan lembab. Hutan sekitar kampung beralih menjadi perkebunan raksasa monokultur, atau habis terbabat untuk industri perkayuan atau bekas galian tambang yang dibiarkan menganga menyisakan kubangan raksasa.
Bagi Ketut Putrayasa, ini adalah bentuk kekerasan pada hayat hidup, yang kelak menentukan kwalitas hayat hidup bersama. Secara pelan atau masif akan menjadikan dunia kian poranda. Namun kekerasan itu telah hadir setua evolusi manusia di bumi. Agama-agama lalu hadir memberi secercah percerahan dan rasa damai. Toh agama-agama tak sanggup menghaluskan ketumpulan otak reftil manusia. Perang agama muncul kepermukaan semata-mata membela keyakinan dogmatis. Lintasan sejarah agama-agama penuh dengan gejolak kekerasan dan penghilangan nyawa.
Di Tengah-tengah problem hidup yang keras itu dan dampak- traumatik perang instalasi granat berekor hadir untuk menyapa, bahwa seni dan seniman bisa mengasah kepekaan kemanusiaan kita lebih intens. Memang tugas seni adalah melunakkan kekerasan serta menyadari bahwa; tugas hidup itu bukanlah saling meniadakan.
Panggilan paling mendasar dari hidup adalah merawat. Inilah kenapa saban waktu bila ada teman atau sahabat tidak bisa menebus biaya pengobatan di rumah sakit, Ketut Putrayasa berusaha meringankan beban mereka. Ini sebentuk seni empati, terapi doa dalam tindakan dengan cara dan jalan sekecil apa pun.
Pertanyaan kemudian, ada apa dengan “sperma berkepala granat” ini ? Seniman patung ini berangkat dari narasi sejarah kekerasan India. Bahwa di zaman itihasa Ramayana dan Bharatayuddha, perang dipicu oleh sosok perempuan. Sita dan Drupadi adalah tokoh yang didalih sebagai pemicu perang.
Bukankah perang antara Rama dan Rahwana diawali dengan penculikan Sita oleh Rahwana, Raja Alengka. Perang antara Pandawa dan Korawa dipicu Drupadi karena perempuan cantik yang lahir dari api ini menolak lamaran Duryadana. Dan ketegangan demi ketegangan meletus jadi perang besar.
Namun sejak revolusi industri perang kerap dipicu dari ego kekuasaan laki-laki. Itulah kenapa Ketut Putrayasa menghadirkan instalasi “sperma berkepala granat”. Karena sungguh, hari ini peradaban kita adalah peradaban yang amat maskulin. Laki-laki selalu dominan menciptakan konflik. Ketakutan-ketakutan pada perang melahirkan bentuk perlombaan senjata yang kian hari makin canggih. Perang berarti keuntungan bagi industri senjata, cuan bagi negara pemasok.
Sejak dari zaman purba peradaban manusia diracau perang dan kekerasan, layaknya kutukan bawaan, gen yang tertitipkan alam. Realitas dunia dan peradabannya sering dijarit dari sisa-sisa konflik dan perang. Namun upaya-upaya damai pasti telah muncul sejak zaman silam. Mantra-mantra dan doa-doa dari suku-suku purba melantunkan harapan; mereka ingin hidup damai dan rukun. Berharap karunia langit dan bumi penuh berkah suka cita dan perdamainan. Inilah alasan kenapa lembaga PBB dilahirkan ̶ agenda utamanya adalah melindungi perdamaian dunia.
Namun kecemasn-kecemasan pada perang dan kekerasan terus berlanjut, tak ada yang bisa menjamin perang bisa dihentikan. Dan menurut Putrayasa, di titik inilah tugas seniman, ia tak hendak menjadi polisi moral, alih-alih menghakimi kesalahan orang. Akan tetapi anti kekerasan dan perdamaian mesti digulirkan terus. Bukankah para filsuf, seniman, penulis telah menyuarakan suara perdamaian itu sejak awal.
Nun di pojok belahan bumi bernama Jawa, lebih dari lima ratus silam Mpu Tantular telah menyuarakan suara perdamaian itu. Dalam karya magnum opus Kakawin Sutasoma, Tantular menolak kekerasan. Ia menisbahkan traktat anti perang, mengubah kebengisan menjadi kasih sayang.
Lewat tokoh Sutasoma yang mendapat anugerah mantra mahāhŗdayadharani dari Durga, mantra penjinak yang mampu mengubah setiap kejahatan dan kekuatan musuh serta menjamin agar manusia dibebaskan dari segala penyakit dan halangan.
Dengan azimat mahāhŗdayadharani Sutasoma juga membebaskan sembilan puluh sembilan raja yang ditawan Porusada, raja yang akan dijadikan tumbal kepada Kala. Namun Kala menolak persembahan itu sebelum Sutasoma diikutkan sebagai tumbal.
Dan apa yang terjadi kemudian? Setelah penundukan demi penundukan dilakukan Porusada, perang dahsyat menjatuhkan korban begitu banyak – Sutasoma datang sendiri tanpa senjata, ia berjanji menghentikan semua kekerasan, siap mengorbankan diri demi pembebasan sembilan puluh sembilan raja.
Kala tak jadi menyantap Sutasoma, Kala mengalami somya, terserap dalam kasih sayang yang dalam. Segala senjata berubah jadi bunga-bunga, yang galak dan mengerikan berubah jadi penuh kasih. Itulah traktat non kekerasan Mpu Tantular yang boleh jadi juga menginspirasi seniman Ketut Putrayasa – yang dalam keseharian ia kembali menjadi manusia biasa, penuh peluh, bergelut dengan hidup yang keras, licik penuh tipu-tipu.
Memang kerap dalam lusinan karya-karya instalasi seniman ini ia selalu hadir dengan metafor fisik radikal; nyleneh selalu nungkalik dengan cerapan estetika awam. Sebut saja misalnya, mulai dari Sisyphus Game, The Stronghold, Post Scriptum, The Golden Toilet semua berangkat dari suatu perlawanan lewat kritik metaforis pada kecenderungan hal-hal bengkok yang terjadi kini.
Boleh jadi ini semacam “estetika kuburan”, tempat Sutasoma mendapat anugerah Durga. Bahwa hal-hal penting tidak melulu lahir dari keningratan luhur. Estetika juga bisa lahir dari ruang-ruang permenungan kumuh, dari hidup yang kotor penuh perjuangan, pelajaran jelata yang menghargai hidup semulia semut dan anjing-anjing yang diberi makan Ketut Putrayasa di jalanan. Dan sang seniman bahagia melakukan itu. **
Pakubuan Kusa Agra
29-12-2024