Canggu Traffic Jam, Bali Lovers and Equity Brand
Kemacetan luar biasa yang berlangsung di Canggu dalam beberapa minggu terakhir, telah menarik perhatian netizen yang begitu intens dan massif. Timbul pertanyaan menggelitik, dari sisi sebut saja psikologi pemasaran, Fenomena Apa Ini?
Jawaban spekulatif dari fenomena ini, bisa saja, pertama, kuatnya “equity brand” yang dimiliki Bali sebagai DTW dunia, sehingga melahirkan komunitas wisatawan yang begitu fanatik mencintai Bali -Bali Lovers-, sehingga bawah sadar mereka menjadi begitu terusik, menyimak “sirkuit kemelut” kemacetan di daerah wisata yang begitu lukratif CANGGU. Mereka paham, merujuk pemikiran pakar marketing dunia Philips Kotler, realitas terhadap DTW akan bisa tergerus citranya, melahirkan persepsi negatif yang kemudian berdampak buruk pada brand. Sebagai Bali Lovers, komunitas yang mencintai Bali, bawah sadar mereka menginginkan fenomena ini seharusnya segera diakhiri. Dalam bahasa marketing, “expection in advance” mereka tentang Bali yang unik, tenang dan damai, tidak “dikotori” oleh ketidaknyaman pengalaman berlalu lintas di Cangggu. Kedua, brand,equty brand tentang Bali, merupakan akumulasi panjang dari “memorable experience” dari wisatawan, melahirkan kesetiaan, yang bisa tergerus oleh realitas ketidaknyamanan -inconvinience- dalam lingkup luas: kemacetan, menumpuknya sampah, gangguan keamanan, persepsi akan rasa aman dan kualitas pelayanan yang tolok ukurnya dinamis, sejalan dengan disrupsi perubahan. Ketiga, membangun brand DTW, memerlukan waktu yang panjang, upaya berkelanjutan, menguras sumber daya dan kemampuan merawat budaya, tidak semua DTW sanggup melakukannya.
Bali punya keunggulan yang terberi , sebut saja -competative gifted”, yang semestinya disyukuri dan kemudian dirawat secara berkelanjutan. Ketiga, sudah menjadi nyaris klasik pernyataan: industri pariwisata adalah industri yang nyaris anti resensi, “tahan banting” terhadap volatilitas ekonomi, tetap bertahan dab bertumbuh dalam ekonomi global yang labil. Persyaratannya, tidak terjadi perang dan pandemi massif. Industri yang padat tenaga kerja, skala investasi yang tidak terlalu besar, yang jika dikelola secara benar dan bertanggung jawab, ramah: lingkungan. budaya, dalam dirinya melekat proses berkeadilan: kesempatan kerja dan distribusi pendapatan.
Industri pariwisata yang merupakan kekayaan yang terberi – natural and spiritually gifted-, seharusnya disyukuri, dirawat secara benar dan bertanggung jawab oleh semua stake holders: pengambil kebijakan, pelaku usaha dan masyarakat penunjang budaya.
I Gde Sudibya, pemerhati kebudayaan Bali dan industri pariwisata Bali.