CAIR:

Calon presiden partai Republik Donald Trump berbicara dalam kampanye di Winston-Salem, Carolina Utara, Senin (25/7/2016). (REUTERS/Carlo Allegri )
Washington DC, Amerika Serikat, (Metrobali.com)-
Lembaga think-tank Dewan Hubungan Amerika-Islam (Council on American-Islamic Relations/CAIR) menyampaikan bahwa “islamophobia” di tengah warga Amerika Serikat meningkat selama beberapa bulan terakhir, yang dinilai terkait dengan kampanye anti-Muslim yang dilakukan calon presiden AS Donald Trump.

“Hal ini jelas, sejak Trump menjadi calon presiden, islamophobia di AS telah memburuk. Pertama, dia mensistematisasi hal itu (islamophobia) dalam kampanyenya, dan kami lihat hal itu tidak pernah dilakukan oleh capres-capres sebelumnya,” kata Corey Saylor, Direktur CAIR Departemen Urusan Pengawasan dan Pemberantasan Islamophobia, saat ditemui di Washington DC, Jumat (4/11).

Islamophobia adalah kebencian atau ketakutan terhadap Islam atau Muslim, terutama ketika dikhawatirkan sebagai kekuatan politik.

Menurut Saylor, kampanye-kampanye Trump yang dinilai cenderung menebarkan benih kebencian terhadap Islam dan Muslim di tengah warga AS akhir-akhir ini juga telah meningkatkan aksi anti-Muslim di negeri Paman Sam itu.

“Jadi, setelah adanya serangan di San Bernardino (2015) ditambah dengan pernyataan Trump yang mengatakan akan melarang orang Muslim datang ke AS, kami melihat ada lonjakan besar aktivitas anti-muslim pada titik ini,” ujar dia.

“Misalnya, kami menghitung ada sekitar 34 insiden terpisah, di mana masjid menjadi sasaran aksi kekerasan dalam satu bulan. Normalnya, dalam satu bulan hanya ada satu atau dua insiden,” ungkap Saylor.

Dia berpendapat, dengan “atmosfer politik yang beracun”, tingkat kecenderungan anti-Muslim di AS sedikit banyak terasa sama dengan keadaan setelah terjadinya Serangan 11 September.

“Balik kepada pernyataan Trump tentang melarang Muslim masuk AS, ide ini bukanlah ide yang semata-mata muncul begitu saja dalam pikirannya ketika dia berbicara di podium,” kata dia.

“Hal ini (anti-Muslim) banyak didiskusikan dalam kampanye Trump. Mereka dengan sengaja menggunakan hal ini,” lanjut Saylor.

Dia menyampaikan kekhawatiran bahwa sikap “islamophobia” yang sering dimunculkan dalam kampanye Trump akan mendorong warga AS yang memang sudah memiliki pemikiran anti-Muslim menjadi semakin parah.

“Hal ini tentu sangat memprihatinkan. Amerika adalah negara yang hebat, namun kami sedang mengalami momen yang kurang baik,” ujar Saylor.

Sebelumnya, kandidat presiden AS dari Partai Republik Donald Trump dalam beberapa kampanyenya mengatakan ingin melarang orang Muslim masuk ke Amerika Serikat bila nanti terpilih sebagai presiden.

Pernyataan itu dia sampaikan terkait insiden penembakan, yang diduga dilakukan oleh pasangan Muslim di San Bernardino, California, pada awal Desember 2015, yang menewaskan 14 orang.

Trump ketika itu mengatakan “Islam memicu kebencian terhadap Amerika” dan selama pemerintah masih mencari tahu akar persoalan tersebut, ada baiknya semua orang Islam “tak dibolehkan masuk ke Amerika”.

Pernyataan tersebut langsung memicu kecaman, termasuk dari Kementerian Pertahanan AS, yang menilai pernyataan Trump justru “membahayakan keamanan Amerika”. Ant