Bisakah Paket Kebijakan Atasi Pelemahan Rupiah ?
Jakarta (Metrobali.com)-
Nilai tukar rupiah yang saat ini cenderung mengalami perlemahan terhadap dolar AS menjadi perhatian serius pemerintah dan Bank Indonesia, karena pelaku pasar keuangan merespons negatif atas situasi yang telah terjadi sejak awal tahun ini.
Investor pasar keuangan masih terlihat khawatir, meskipun pemerintah dan Bank Indonesia telah berupaya memberikan penjelasan bahwa perlemahan kurs mata uang akibat penguatan dolar AS ini juga terjadi di berbagai belahan dunia lain, terutama emerging market.
Kementerian Keuangan mencatat selama tahun 2015, rupiah mengalami depresiasi terhadap mata uang dolar AS sebesar 4,81 persen (year to date), yang terjadi akibat penguatan dolar AS sejalan dengan perbaikan ekonomi Amerika Serikat.
Menanggapi kondisi ini, pemerintah berupaya merespons dengan membuat paket kebijakan yang dapat menahan fluktuasi rupiah agar tidak semakin melemah terhadap dolar AS. Berbagai kebijakan reformasi struktural ini diterbitkan untuk memperbaiki kinerja neraca transaksi berjalan.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memastikan kebijakan ini menjadi andalan pemerintah untuk menjaga agar rupiah tidak terlalu bergejolak, karena negara-negara yang relatif stabil terhadap tekanan eksternal dan mata uangnya tidak berfluktuasi tajam, memiliki pengendalian neraca transaksi berjalan yang memadai.
“Negara-negara yang mengalami perlemahan mata uang terhadap dolar AS lebih kecil dari rupiah atau yang mengalami apresiasi adalah negara-negara yang defisit neraca transaksi berjalannya lebih kecil atau tren menurun, sehingga secara tidak langsung kita harus membereskan masalah neraca transaksi berjalan,” katanya.
Bambang mengatakan kebijakan yang diupayakan pemerintah ini dilakukan untuk memperbaiki kinerja neraca perdagangan dan neraca jasa keuangan, yang selama ini dominan menyumbang defisit dalam neraca transaksi berjalan.
Defisit transaksi berjalan yang melebar merupakan masalah internal yang harus dibenahi pemerintah, karena ikut memberikan dampak negatif terhadap rupiah, agar fundamental ekonomi tetap terjaga dan tidak rapuh dalam menghadapi tekanan ekonomi global.
Namun, Bank Indonesia masih optimistis defisit neraca transaksi berjalan berada pada kisaran 2,5 persen-3 persen terhadap PDB pada 2015, apalagi neraca perdagangan pada awal tahun masih tercatat surplus 1,48 miliar dolar AS.
Paket kebijakan yang telah diumumkan tersebut antara lain mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur fleksibilitas Bea Masuk Anti Dumping Sementara dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara untuk meningkatkan daya saing produk dalam negeri.
“Ini adalah cara kita untuk membatasi impor yang masuk berlebihan, baik yang kita curigai karena dumping maupun kita curigai karena masuk dalam jumlah yang besar. Biasanya kita punya mekanisme antidumping dan tindakan pengamanan, tapi kalau kita gunakan aturan biasa maka otomatis memakan waktu yang lama,” kata Bambang.
Kemudian, melakukan revisi aturan perpajakan PP 52 Tahun 2011 tentang “tax allowance” dan insentif “tax holiday” untuk mendorong peningkatan investasi langsung baik dari penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri.
Fasilitas perpajakan ini diberikan pemerintah untuk perusahaan yang melakukan reinvestasi di Indonesia, perusahaan yang berorientasi ekspor, dan perusahaan yang melakukan “Research and Development” serta menyiapkan skema PPN tidak dipungut galangan kapal untuk mengurangi biaya logistik.
“Ada tambahan insentif, khususnya kepada perusahaan yang melakukan reinvestasi dari laba yang didapatkan dari dividen yang tadinya ingin dibagikan kepada pemegang saham atau dikembalikan ke negara asal tapi kemudian diputuskan untuk reinvestasi, maka itu akan mendapatkan tambahan fasilitas ‘allowance’,” kata Bambang.
Selain itu, kebijakan lainnya adalah mendorong penggunaan biofuel yang saat ini ditetapkan sebesar 10 persen menjadi 15 persen, serta menyiapkan pembentukan BUMN reasuransi untuk mengurangi defisit di neraca jasa khususnya asuransi.
Kebijakan selanjutnya adalah membebaskan visa untuk turis asing dari 30 negara sebagai upaya menambah devisa dan mendukung kewajiban penggunaan Letter of Credit (L/C) untuk transaksi dalam setiap usaha tertentu seperti sektor pertambangan batu bara, migas, dan kelapa sawit (CPO).
Hanya berdampak pendek Direktur Institute Development of Economics dan Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan langkah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki reformasi struktural ekonomi agar kinerja rupiah tidak makin melemah dan mengurangi defisit transaksi berjalan, belum bisa menyelesaikan masalah.
Ia menjelaskan berbagai kebijakan tersebut sulit terlihat dampaknya dalam jangka pendek, misalnya kebijakan bea masuk antidumping yang belum bisa memberikan kontribusi dalam waktu dekat, karena pembuktian antidumping membutuhkan waktu.
“Kebijakan antidumping itu sulit karena lama pembuktiannya. Kalau dalam jangka menengah tujuannya mengendalikan impor, justru yang harus dituju adalah penguatan industri substitusi impor,” kata Enny.
Selain itu, kewajiban penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) atau biofuel sebanyak 15 persen untuk solar dilakukan pada saat yang kurang tepat karena harga BBM saat ini sedang murah, sehingga bisa membuat investor enggan berinvestasi pada sektor energi biofuel.
Namun, Enny melihat adanya kebijakan yang baik untuk mendorong investasi yaitu revisi aturan “tax allowance” untuk perusahaan yang melakukan reinvestasi di Indonesia, perusahaan yang menciptakan lapangan kerja, dan perusahaan yang berorientasi ekspor.
“Ini cukup menarik terutama ‘tax allowance’ untuk penundaan repatriasi devisa. Ini akan sangat signifikan terhadap permintaan dolar AS karena memang akan menjawab permasalahan terkait repatriasi devisa. Ini akan sangat efektif,” katanya.
Ia mengkhawatirkan apabila paket kebijakan ini belum memberikan solusi dalam jangka pendek, maka rupiah makin melemah terhadap dolar AS dan masalah dalam defisit neraca transaksi berjalan tidak teratasi sepenuhnya.
Ekonom OCBC Bank Wellian Wiranto mengatakan paket kebijakan stimulasi ekonomi Presiden Joko Widodo memang dapat menjadi pelengkap untuk menarik investor agar melakukan reinvestasi di Indonesia dari dividennya.
Tetapi, investor sebenarnya ingin mengurangi repatriasi dividen yang dikirim ke luar negeri, apabila pemerintah melakukan pembenahan atau reformasi struktural ekonomi domestik, bukan semata-mata tergantung pada insentif baru yang ditawarkan.
“Sebenarnya lebih ke apakah kondisi ekonomi domestik membaik, salah satunya dengan komitmen membangun infrastruktur itu. Jika ekonomi domestik membaik, investor akan menahan dividennya keluar,” kata Wellian.
Meskipun belum terlihat efektivitas dari paket kebijakan tersebut, namun nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa pagi (17/3) bergerak menguat sebesar 50 poin menjadi Rp13.180 per dolar AS dibandingkan posisi sebelumnya Rp13.230 per dolar AS.
Kepala Riset Monex Investindo Futures Ariston Tjendra menambahkan bahwa pemerintah yang telah mengeluarkan paket kebijakan untuk kemudahan berinvestasi, insentif fiskal, kebijakan pengurangan impor dengan pengenaan bea masuk antidumping serta pemanfaatan biofuel, menjadi salah satu faktor positif bagi rupiah.
“Selain itu, pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang bertujuan memperbaiki kinerja neraca perdagangan. Dengan begitu, diharapkan rupiah akan lebih stabil sehingga fundamental ekonomi tetap terjaga dan tidak rapuh dalam menghadapi tekanan ekonomi global,” tambahnya.
Secara keseluruhan, pemerintah mengharapkan paket kebijakan reformasi struktural ini dapat mengatasi berbagai tekanan yang mengganggu fundamental ekonomi dan rupiah tidak lagi berfluktuasi terlalu tajam terhadap dolar AS, agar para pelaku pasar makin nyaman berinvestasi kepada Indonesia. AN-MB
1 Komentar
HA,,,,HA,,,,HA,,,,,petruk naik dolar ikut naik, 20,000 lbh baik,,wkwkwk,,,