MetroBali

Selangkah Lebih Awal

Billy Mambrasar, sempat mengira kena “prank” ditunjuk sebagai stafsus

Billy Gracia Yosaphat Mambrasar, saat diperkenalkan sebagai staf khusus Presiden Joko Widodo di halaman tengah Istana Merdeka Jakarta, Kamis (21/11/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/aa. (ANTARA FOTO/WAHYU PUTRO A)

Jakarta (Metrobali.com) –
Presiden Joko Widodo menunjuk tujuh staf khususnya dari kalangan generasi milenial pada Kamis (21/11) petang.

Salah satu staf khusus tersebut yakni Gracia Billy Yosaphat Y Mambrasar atau Billy Mambrasar, pemuda asal Serui, Kepulauan Yapen,Papua  menempuh pendidikan di Universitas Oxford Inggris. Ia baru berusia 31 tahun saat ditunjuk menjadi staf khusus Presiden Jokowi.

Ia merupakan pendiri Yayasan Kitong Bisa, yakni yayasan yang fokus mengurusi pendidikan anak-anak di Papua. Yayasan itu didirikannya pada 2009 silam.

Melalui Kitong Bisa, Billy memberikan akses pendidikan untuk anak-anak tidak mampu, khususnya di Papua dan Papua Barat. Sejumlah pelatihan keterampilan juga diselenggarakan.

Billy sendiri mengaku tak pernah mengira, dirinya bisa menjadi staf khusus presiden. Ia dipanggil kembali ke Tanah Air dua hari lalu, saat berada di London, Inggris. Padahal saat itu, ia baru saja mendarat di London untuk mengisi sejumlah acara di negara itu.

“Saya sempat mengira bahwa itu “prank”, ternyata benar. Negara memanggilku untuk kembali,” tulis Billy dalam akun Instagramnya.

Sebelumnya, namanya sempat disebut-sebut menjadi calon menteri maupun wakil menteri menjelang pengumuman menteri kabinet Indonesia Maju, sebulan yang lalu.

Setelah ditunjuk menjadi staf khusus, Billy berkomitmen untuk membangun Indonesia dari Papua, bukan membangun Papua dari Indonesia.

“Kami berkomitmen membantu Pak Presiden dan pemerintah untuk tidak bekerja layaknya rutinitas. Kami mencoba memunculkan nilai kekinian dan teknologi yang berbeda untuk membuat sistem pemerintahan yang lebih efektif dan efisien,” terang Billy.

Anak Penjual Kue

Billy berasal dari keluarga yang jauh berkecukupan. Ayahnya hanya seorang guru honorer dan ibunya berjualan kue untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Rumahnya pun belum diterangi listrik sehingga Billy harus belajar menggunakan pelita dan lampu minyak.

“Subuh ibu bikin kue, paginya ibu pergi ke pasar jualan, kami ke sekolah sambil bawa kue untuk dijual,” ujar Billy.

Sebagai penjual kue, ia memiliki semangat pantang menyerah dalam menjual dagangannya. Pasalnya, jika kue tersebut tidak habis maka tidak bisa dijual kembali keesokan harinya. Sisa kue jualan itu, dimakannya bersama saudaranya ketimbang basi.

Saat ini, ia dalam proses penyelesaian tesis studi gelar Magister (MSc) dalam bidang bisnis di Universitas Oxford, Inggris. Gelar tersebut merupakan gelar keduanya, setelah menyelesaikan studi di Australian National University (ANU) dengan beasiswa dari Pemerintah Australia dan menjadi mahasiswa terbaik pada 2015

Sebelum ditunjuk menjadi staf khusus, Billy rencananya akan melanjutkan pendidikan doktoralnya dengan Beasiswa Afirmasi dari LPDP di Universitas Harvard, Amerika Serikat, dalam bidang pembangunan manusia.

Gelar sarjana diraihnya dari Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB. Untuk biaya kuliah didapat dari beasiswa afirmasi dan otsus dari pemerintah daerah.

Tidak mampu

Saat mengatakan tekad untuk kuliah di ITB. Orang tuanya sempat menentang, Billy tidak mungkin bisa kuliah di luar Papua karena ketiadaan biaya. Namun semangatnya yang tinggi bisa mengatasi kendala tersebut.

“Karena saya penjual kue, saya terbiasa tidak mudah menyerah dan membulatkan tekad kuliah ke Jawa. Saya ingin kuliah di ITB, kampus teknik terbaik. Melihat tekad saya, orang tua kemudian berkeliling minta bantuan, mengetuk pintu dinas satu ke dinas lainnya untuk minta bantuan dana,” kenang Billy kepada ANTARA beberapa waktu lalu.

Saat kuliah, ia kembali berjualan kue, mengamen, maupun menyanyi di kafe dan pernikahan untuk mendapatkan tambahan uang makan dan biaya hidup.

Selesai kuliah sarjana, Billy mendapatkan pekerjaan di perusahaan minyak dan gas asal Inggris. Ia mendapatkan gaji fantastis di perusahaan itu.

Namun hatinya gelisah, melihat di sekelilingnya masih banyak anak-anak Papua yang kurang beruntung. Setahun bekerja, ia kemudian mengundurkan diri agar bisa fokus mendirikan Yayasan Kitong Bisa.

Kitong Bisa mempunyai arti “kita bisa”, dengan kata lain semua anak-anak Papua bisa meraih pendidikan meski berasal dari keluarga miskin.

Saat ini, Kitong Bisa melalui usaha sosialnya, mengoperasikan sembilan pusat belajar, dengan 158 relawan dan 1.100 anak. Sekitar 20 di antara anak didiknya menempuh ilmu di sejumlah perguruan tinggi ternama dunia. Lainnya ada yang menjadi pengusaha dan juga bekerja di sejumlah perusahaan.

“Saya melihat kompleksitas pendidikan dan juga akses pendidikan masih menjadi kendala di Papua, oleh karenanya kami fokus dalam pembangunan SDM. Hal ini sesuai juga dengan komitmen Presiden Jokowi dalam membangun SDM,” terang dia.

Billy juga pernah diundang untuk magang oleh Pemerintah Amerika Serikat dan berbicara di State Department Amerika Serikat. Dalam kunjungan ke Gedung Putih, ia juga bertemu dengan Presiden Barack Obama.

Pada 2017, ia ditunjuk sebagai utusan Indonesia yang berbicara tentang isu pendidikan di Kantor Pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat.

Saat ini, ia juga menjabat sebagai duta muda pembangunan berkelanjutan atau SDG’s asal Indonesia.

Selain Billy, enam staf khusus lainnya dari kalangan milenial yakni Adamas Belva Syah Devara, Putri Indahsari Tanjung, Andi Taufan Garuda Putra Andi, Ayu Kartika Dewi, Angkie Yudistia, dan Aminuddin Maruf Aminuddin.  (Antara)