Ilustrasi
Denpasar, (Metrobali.com)-
Saat ini, banyak tercipta Bidadari palsu yang ada di pikiran sang penghayal, sesaat seseorang masuk alam kematian, yang akan menjemput mereka masuk ke sorga.
Hal itu dikatakan Agus Wijaya  Ketua IDHI ( Ikatan Dosen Hindu Indonesia ), Jumat (5/2).

“Sorga palsu itu dijual dengan harga yang sangat murah oleh sang penghasut. Pembelinya lumayan banyak. Untuk membeli sorga palsu itu, sang pengikut rela mengorbankan apa saja termasuk raganya menuju kematian,” kata Agus Wijaya.

Dikatakan, jual bidadari dan sorga beramai ramai ini bukan hanya ada di Agama sebelah, tetapi ada juga orang-orang yang beragama Hindu melakukan hal yang sama, yang merasa paling benar, yang menganggap orang lain bodoh, yang penuh kesombongan, yang suka mencaci maki saudaranya yang lain, yang suka mengusir saudaranya yang lain, yang menganggap orang lain tidak paham Hindu Dharma.

“Mereka berpandangan, hanya orang-orang dari kelompok merekalah yang paham Hindu Dharma. Hanya orang-orang dari kelompok merekalah yang akan masuk ke sorga palsu itu setelah kematian kelak, miris memang,” tandas Wijaya.

Ia mengatakan, mereka para penipu tersebut adalah para orator ulung yang suka membuat video bernada kebencian, hasutan, dan disebarkan di berbagai media sosial.

Wijaya mengatakan, para penghasut itu tiap hari membuat dan menjalankan gerakan mencari pengikut, yang di permukaan terlihat manis tetapi di dalam hatinya penuh kebencian.
“Mereka mencari pengikut dengan cara mengadu domba sesama umat. Mereka bangga ketika umat saling bertikai. Mereka melihat sambil tersenyum manis ketika ada orang lain yang tadinya bersaudara kemudian bertengkar dan bermusuhan,” kata Wijaya.

Ia menambahkan, para penghasut itu selalu tersenyum ketika banyak orang mau menjadi pengikutnya. Bahkan banyak tokoh-tokoh PHDI berhasil masuk perangkapnya.

“Hati-hati, mereka bukanlah penganut Agama Hindu, karena mereka tidak percaya hukum karma,” katanya.

Bagi mereka, kata Wijaya yang penting hatinya puas bisa mengajak dan membohongi orang lain menjadi pengikutnya.

Sementara itu, pengamat sosial dan agama Hindu Gde Sudibya mengatakan, penjelasan Agus Wijaya tersebut, membantu memberikan penjelasan terhadap pertanyaan: kenapa kesucian Bali begitu  tercemar, oleh orang- orang yang punya rasa percaya palsu, merasa diri tercerahkan ( sebenarnya tidak ).
Sudibya mengatakan, begitu jemawa mengklaim diri suci,  datang ke Pura-Pura dan mengklaim diri telah berbuat banyak menjaga kesucian Bali. Terjadi anomi (anomali ): kekacauan peran dalam masyarakat, meminjam pemikiran E Durkheim, sosiolog Perancis ternama, “nungkalik gumine” ( ungkapan dalam bahasa Bali ), ” Bah, begini isi dunia ” ( meminjam bahasa  orang Medan ).
Tantangan yang harus dijawab oleh umat Hindu di Bali, yang masih punya rasa kepedulian: nindihin gumi  nindihin kepatutan.
Kesucian Bali yang Tercemar
Menurut Gde Sudibya, kalau kita merujuk aras berpikir dan laku kepemimpinan Cri Aji Jayapangus, raja besar Bali di masa awal – Bali Mula – , pembangun pura: Dalem Balingkang, Pucak Tegeh Penulisan, Bale
Agung Cenigaan, Pucak Sinunggal, tercemarnya kesucian Bali sebagai akibat dari pengayah yang tidak lagi lascarya, melanggar etika/dharma kriya.
“Ironinya mereka datang ke pura-pura dengan rasa percaya diri palsu, jemawa, mengklaim diri telah berbuat menjaga kesucian pura dan juga kesucian Bali,” kata Sudibya.
Editor : Sutiawan