Ilustrasi Pura Besakih

Denpasar, (Metrobali.com)-

Benarkah di Areal Pura Besakih Dibangun Musola? Jika berita ini benar tentu kebijakan ini sangat melukai hati umat Hindu di Bali. Di mana tempat yang seharusnya menjadi privasi umat Hindu, kini sudah ada bangunan umat lain di areal yang disucikan itu.

Hal itu diingatkan Jro Gde Sudibya, Ketua FPD (Forum Penyadaran Dharma), forum diskusi kalangan intelektual Hindu, Kamis (22/12/22) menyikapi viralnya bangunan musola di areal Pura Besakih.

Dikatakan, dilandasi oleh motif perpanjangan kekuasaan dan pesanan bentang alam Besakih dihancurkan. Bangunan komersiil yang “ngungkulin” Pura Titi Gonggang, yang akan difungsikan sebagai tempat parkir, tempat jualan dan pertunjukan model keong emas di TMII, Jakarta.

Sementara itu, kata dia bangunan di Ulu sebelah kiri Jalan Astasura, dimana Lingga Pura: Manik Mas, Ulun Kul-kul, Bangun Cakti, Goa Raja, Rambut Sadhana berada, hanya beberapa meter dari kawasan Bencingah Agung, dimana Pura: Mrajan Kanginan dan Basukhian, dijadikan sejenis shopping center yang total berfungsi komersiil.

Padahal menurut Gde Sudibya di kawasan Bencingah Agung setiap raina Tilem Kesanga dilakukan Pecaruan ageng Bhuta Jajna yang bermakna Nyomya, transformasi Bhuta menjadi Dewa, dan diyakini alam Bali menjadi damai.
Dengan perubahan bentang alam Besakih sekarang ini, timbul pertanyaan apakah Pecaruan Buta Jajna akan bermakna nyomya?.
Besakih mengalami kondisi krisis, paruman sulinggih PHDI Pusat semestinya bersidang mencarikan solusi terhadap krisis ini.

Dikatakan, masyarakat Bali adalah masyarakat toleran, menghargai tinggi perbedaan, tetapi punya tradisi Puputan melawan ketidakadilan. “Hanganlah ketenangan masyarakat Bali “diusik” dengan mengorbankan Besakih sebagai “sesuduk kayun” rokhani krama Bali untuk kepentingan perpanjangan kekuasaan,” tandas Sudibya.

Kepada penguasa Bali, “kita hanya mengingatkan “pesan” kehidupan dari geguritan Sucita Subudi kapipil antuk Ida Nyoman Jelantik dari Griya Banjar Seririt Buleleng:
“Da mangutang yatna undagan hideppe lingling, Da drupon manyujuh sukla, Apan tuhu lintang sulit, Apang da dadi nungkalik, Nyudya Mertha Wesya tepuk, Bisa ngukur kemampuan, Yan tan prasida kreseng hati, Da mamurug apang da dadi pangenan. Sebuah, geguritan dengan rasa bahasa khas Buleleng, yang amat jelas maknanya. (SUT)

Editor : Hana