Ilustrasi

 

Denpasar, (Metrobali.com)

Masyarakat Bali tahu tentang Bali , sekala niskala bukan orang lain. Jangan menebar isu macam-macam dalam masyarakat yang pada dasarnya tenang, untuk target politik mempertahankan kekuasaan, dalam masyarakat yang lagi susah secara ekonomi akibat pandemi selama 3 tahun.

Hal itu dikatakan pengamat Publik Jro Gde Sudibya, Selasa (28/3/23) menanggapi selebaran banner yang diunggah netizen di media sosial.

Menurutnya, banner ini sangat berbahaya dan mengasut masyarakat Bali dan memecah rasa menyama braya demi kepentingan politik 2024. Ini harus diwaspadai. Teks yang ada di banner ni telah mengadu domba masyarakat Bali demi keuntungan politik Wayan Koster untuk maju dua periode.

Disarankan, ikutlah cara berpolitik Pak Rai ( I Gusti Ngurah Rai ) sebelum beliau gugur di medan laga untuk “tegak lurus” dengan Pemerintah pusat ( baca Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara).
Sejarah mengajarkan, belajarlah dari padanya, tamsilnya untuk tidak terperosok dalam lubang yang sama berkali-kali.

Dikatakan, surat Pak Rai kepada seorang overste Belanda, kurang lebih, “keamanan di Bali adalah tanggung jawab kami, mengenai perundingan tanggung jawab pemimpin kami di Jawa”. Kata bersayap yang penuh makna, dari seorang pejuang nasionalis yang mengorbankan jiwa raganya demi ibu pertiwi yang tercinta.

“Simaklah dengan baik, narasi pertempuran heroik di Margarana, sebelum beliau dkk.bersimbah darah di medan laga, maka kita akan menjadi malu (kalau masih punya urat malu) dalam pengelolaan Bali dewasa ini,” kata Jro Gde Sudibya.

Sekadar berbagi, menurut penuturan Pak Item (Kt Widjana) pejuang kemerdekaan asal Buleleng, pada waktu long march Pak Rai dkk.kembali dari Gunung Agung, pemuda pejuang Buleleng yang tidak ikut long march, menunggu di Bukit Wanagiri sebelah Barat Pura Yeh Ketipat, ketika rombongan datang, ada perbedaan yang sangat menyolok, sinar matanya sangat tajam dan tidak tampak kelelahan dalam long march ke Gunung Agung.

Sambil bercengkerama di tengah hutan mengatur gerakan berikutnya, terdengar sayup-sayup lagu keroncong dari seorang pemuda peserta long march, dan kemudian mereka berpisah. Beberapa waktu berselang rombongan Pak Rai inilah yang kesemuanya gugur di pertempuran Margarana yang heroik 20 November 1946. Pasca peristiwa itu, pemuda pejuang Buleleng selalu terkenang sorot mata Pak Rai dkk.saat pertemuan di Bukit Wanagiri.

Moral ceritanya, lanjut Jro Gde Sudibya begitulah para pejuang kemerdekaan menjaga komitmen persatuan untuk mempertahankan kemerdekaan yang sekarang kita nikmati bersama. Hanya sangat disayangkan perjuangan ini, sekarang banyak dikhianati oleh mereka yang haus kekuasaan (kosa kata yang tidak dikenal dalam pikiran para pejuang). (Adi Putra)