Belajar Kehidupan dari Tetua Bali, di Tahun Baru Saka 1945
Nyepi ring Desa Pakraman Tajun, ring Airsanya (Kaja Kangin) Bukit Sinunggal, Den Bukit, Bali Utara.
Oleh Jro Gde Sudibya
Memulai kehidupan di Tahun Baru Caka 1945, 22 Maret 2023, kita bisa belajar dari Tetua Bali dari perjalanan panjang sejarahnya semenjak Peradaban Bali Mula yang dimulai di daerah pegunungan.
Menyebut beberapa sebut saja intisari kehidupan tsb.: pertama, belajar dari alam untuk bisa bertahan hidup dan bertahan secara berkelanjutan, dalam batas-batas keseimbangan alam itu sendiri. Dalam bahasa ke kinian, tidak merusak alam untuk memenuhi kebersahajaan kehidupan. Merusak alam untuk memuaskan keinginan tanpa batas (keserakahan), tidak saja tidak patut, tetapi merupakan kealpaan dan kesalahan kehidupan. Kedua, berguru dengan Alam, menyimak “ritme” dan “iramanya”, menangkap aroma “keharuman” tanah Bali, menjadi merasa dekat dengan Tuhan (atau nama lainnya), bekerja dalam “ritme” dan “irama” tsb. Seorang pertapa di Alas Penulisan sering mengatakan, Tuhan tidak punya nama, orang-orang suci memberikan Nya nama, untuk memudahkan para pengikutnya memahami dan menjalani keyakinan tsb.
Dalam keyakinan Alas Penulisan (focal piint dari Peradaban Bali Mula), murid-murid otentik yang berguru pada Alam, bisa memberikan nama apa saja terhadap “Kemahamulyaan Rahasia Alam” tsb., bagi dirinya sendiri dan atau kelompoknya. Bisa disebut Sang Hyang Embang, Sang Hyang Suwung, Sang Hyang Paraning Numadi (istilah yang datang belakangan). Yang oleh Sarvelli Radhakrishnan seorang intelektual berkebangsaan India yang menjadi Profesor Filsafat Timur di Oxford University dan kemudian Presiden India di sebut sebagai agama spiritual, agama yang sangat pribadi sifatnya, yang disebutnya sebagai “prophetic religion”, agama yang mampu mengembangkan wawasan Kenabian bagi insan manusia bagi dirinya sendiri.
Barangkali pernyataan ini terlalu “tinggi” bagi Tetua Bali tempo dulu, karena bagi beliau-beliau itu, kata-kata “tinggi” menyebut beberapa: kesucian, kebijaksanaan, pencerahan (diksi yang tidak dikenal di era Bali Mula), bukan untuk “konsumsi ” ke luar diri, yang bisa menimbulkan salah pengertian, menjebak ke Ego an pada masyarakat umum yang sebagian tidak terlalu paham tentang pengetahuan Niskala. Dalam bahasa ke kinian, pengetahuan di dan di dalam diri, untuk transformasi kehidupan, yang barangkali bisa bermanfaat bagi lingkungan Keluarga, Dadia, Banjar dan Desa pakraman.
Tidak ada niatan untuk “mengukir” sejarah, karena merupakan jebakan ke Ego an, apabila nantinya menjadi peninggalan, itu urusan generasi berikutnya untuk memberikan penilaian. Ketiga, keyakinannya yang amat sederhana, tetapi kaya makna (dalam bahasa ke kinian), APTI WIDHI MERAGA GURU, “ketekunan bhakti kemudian mencapai Realitas Tertinggi” adalah guru otentik kehidupan, dalam: Kebersahajaan, Kesetiaan merawat Alam, bhakti kepada Ida Leluhur dan kemudian Para Dewa dalam bhakti sukla Tarpana (“menyenangkan para Dewa untuk “hadir” ke “Marcapada”) memberkahi ketenangan, ketentraman dan bahkan kedamaian di hati.
Berkah ini, menstimulasi pikiran dan tindakan GUYUB (menjaga dan merawat persatuan), MASUIWITRA (sikap welas asih dan persaudaran).
Keteladan kehidupan yang tetap bisa menjadi “Titi Pengancang”, orientasi nilai, tolok ukur etika dan moral dan “batu penjuru” menapaki tahun baru Saka 1945.
Selamat Tahun Baru Saka 1945.
Jro Gde Sudibya, Pengasuh Dharma Sala “Bali Werdhi Budaya” Pasraman Rsi Markandya, ring palebahan “Airsanya” Bukit Sinunggal, Br.Pasek, Ds.Tajun, Den Bukit, Bali Utara.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.