(Gambar: Aparatur pemerintah di saat bertemu dengan penyandang disabilitas tuli di Desa Bengkala, Kabupaten Buleleng, Bali)

 

Desa Bengkala berhasil melibatkan kelompok penyandang disabilitas dalam penanggulangan Covid-19. Keberhasilan ini diadopsi untuk menghadapi wabah penyakit, khususnya rabies, yang dapat menginfeksi hewan dan manusia.

 

Buleleng, (Metrobali.com)

 Pandemi Covid-19 memberikan banyak pembelajaran di sektor kesehatan. Keberhasilan memengaruhi kelompok berisiko tinggi sehingga mau divaksin, tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Kerja sama berbagai pihak melalui komunikasi risiko dan pelibatan masyarakat terbukti berhasil mendorong Desa Bengkala, Bali sebagai wilayah percontohan karena berhasil melakukan vaksinasi kepada 75% warganya. Berdasarkan pengalaman suksesnya menangani pandemi Covid-19, kini Desa Bengkala lebih siap menghadapi ancaman risiko kesehatan lainnya yaitu rabies.

 

Desa Bengkala yang berada di Kabupaten Buleleng, banyak menjadi rujukan tempat wisata bagi para wisatawan yang datang ke Bali. Desa ini terkenal unik karena sebagian besar penduduknya, yang dikenal dengan nama komunitas Kolok, adalah penyandang disabilitas tuli.

 

Saat pandemi, tiga tahun lalu,  desa ini cukup tertantang dalam mengatasi penyebaran virus Covid-19. Kendala komunikasi menyebabkan kelompok tuli kesulitan dalam mengakses informasi tentang Covid-19. Komunitas Kolok yang tinggal di sana terbiasa menggunakan bahasa isyarat lokal (kata Kolok) yang berbeda dengan bahasa isyarat Indonesia (BISINDO). Hal ini menyebabkan kesenjangan komunikasi antara tenaga kesehatan dan kelompok disabilitas penerima vaksinasi. Akibatnya, informasi tentang vaksin Covid-19 tidak selalu diterima secara utuh dan valid.

 

Di sisi lain, terdapat kecenderungan sikap komunitas Kolok, terutama para remaja, yang tidak mengikuti aturan penggunaan masker dan menjaga jarak. Sebagai komunitas bisu dan tuli, penggunaan masker akan menyulitkan mereka untuk membaca gerak bibir lawan bicara. Karenanya, diperlukan pendekatan komunikasi risiko untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya menjaga jarak dan menggunakan masker untuk menahan laju penyebaran virus Covid-19 saat itu.

 

Desa Bengkala, melalui Pemprov Bali, kemudian bekerja sama dengan Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) sejak tahun 2021 dengan mengutamakan pendekatan komunikasi risiko untuk mengatasi pandemi di komunitas Kolok.

 

Melalui berbagai upaya komunikasi risiko yang dilakukan dengan kolaborasi lintas sektor (pentahelix) dengan melibatkan pemerintah desa, mitra pembangunan, dan tokoh masyarakat, Desa Bengkala berhasil menemukan pendekatan yang efektif untuk memberikan informasi seputa rpandemi.

 

Pelibatan tokoh masyarakat sangat mempengaruhi keputusan komunitas Kolok untuk melakukan vaksinasi.. Sebagai kelompok berisiko tinggi, mereka bergantung pada informasi yang disampaikan oleh keluarga, Kelian Banjar (Ketua RW) atau Perbekel (Kepala Desa). Pada praktiknya, Komunitas Kolok sangat percaya pada informasi yang disampaikan oleh Perbekel dan Kelian Banjar sehingga mereka mengikuti saran untuk melakukan vaksinasi.

 

Akhirnya, pada bulan Maret tahun 2022 lalu, desa ini berhasil melakukan vaksinasi terhadap 30 dari 42 penyandang disabilitas di komunitas tersebut. Bahkan diantara mereka sudah menerima vaksinasi Covid-19 hingga booster.

 

Keberhasilan komunikasi risiko untuk meningkatkan cakupan vaksinasi Covid-19 di Desa Bengkala kemudian diadopsi lebih luas dalam program kesehatan masyarakat. Salah satunya dalam penanggulangan rabies. Hingga saat ini, penyakit rabies masih menjadi salah satu isu yang menyita perhatian masyarakat. Berbagai pihak turun tangan menanggulangi penyakit tersebut. AIHSP menjadi salah satu pihak yang secara aktif mendukung pemerintah setempat melakukan berbagai mitigasi, mulai dari penguatan Tim Siaga Rabies (Tisira), hingga komunikasi risiko dan pelibatan masyarakat dalam menghadapi Rabies.

 

Tanggulangi dan cegah rabies lewat pendekatan komunikasi risiko One Health

 

Keberhasilan Desa Bengkala dalam melakukan komunikasi risiko selama pandemi dengan melibatkan komunitas disabilitas, menjadi cara bagi desa tersebut untuk  menerapkan pendekatan One Health yaitu konsep yang mengoptimalkan hubungan erat dan ketergantungan antara kesehatan manusia, hewan dan ekosistem, serta peduli pada kesehatan hewan peliharaan maupun hewan liar, tumbuhan, dan lingkungan yang lebih luas.

 

Hal ini diamini oleh Tokoh masyarakat  di Desa Bengkala, I Gede Suarta yang mengatakan bahwa setiap langkah yang dilakukan di Desa Bengkala ini menggunakan pendekatan yang didorong oleh AIHSP tersebut.

 

Dia juga menceritakan awal kegelisahan soal rabies yang bermula pada 2018 silam. Tatkala itu, ada dua orang warga yang digigit anjing liar. Warga berhasil menangkap dan memeriksa anjing itu. Sampel air liurnya kemudian diambil dan diperiksa di Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar. Hasilnya, anjing itu positif rabies. Warga pun gelisah, takut ada korban jiwa.

 

Suarta, menginisiasi pembentukan aturan adat berupa perarem. Aturan itu kemudian disahkan pada 24 Agustus 2018 silam. Ada 13 poin yang diatur dalam perarem itu, seperti tata cara memelihara anjing, hingga sanksi bagi warga yang memelihara anjing sembarangan. Perarem itu bukan hanya berlaku bagi warga Bengkala, tapi juga warga adat di luar Bengkala.

 

Contohnya, warga yang membuang anjing sembarangan, akan dikenakan denda 50 kilogram beras per ekor. Bila anjing peliharaan menggigit orang, maka pemilik anjing wajib membayar denda satu ton beras ditambah biaya pengobatan. Namun bila korban gigitan meninggal dunia, pemilik anjing juga wajib menanggung biaya upacara.

 

Lebih lanjut Suarta juga menjelaskan bahwa kesadaran akan pentingnya vaksinasi untuk hewan ini terefleksi dari pengalaman pandemi Covid-19. Turunnya angka kasus Covid-19 akibat vaksinasi memberikan pemahaman bahwa vaksinasi tidak hanya dilakukan pada manusia, tetapi juga berlaku pada hewan. Terutama, karena saat ini hanya vaksin yang terbukti efektif menanggulangi rabies.

 

Pembelajaran dari pandemi Covid-19 juga diterapkan dalam menyampaikan informasi terkait rabies lewat pendekatan komunikasi risiko. Hal ini disampaikan oleh Suarta dalam upaya sosialisasi pencegahan rabies.

 

“Kami juga gencarkan sosialisasi lewat film. Kebetulan ada film yang membahas tentang rabies. Diputar beberapa kali seperti layar tancap. Akhirnya kesadaran warga terbangun dari sana,” kata Suarta.

 

Saat ini jumlah populasi hewan penular rabies (HPR) di Bengkala juga turun drastis. Dari 1.400 ekor pada 2018, tersisa 273 ekor pada Juni 2023. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan kesadaran untuk melakukan vaksinasi rabies kepada hewan baik hewan liar maupun hewan peliharaan.

 

“Tidak ada yang melarang memelihara anjing atau kucing. Kalau mau pelihara ya harus tanggungjawab,” ungkap pria yang juga anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Bengkala itu.

 

Lebih lanjut Suarta mengungkapkan, dalam penanggulangan rabies, aparatur desa juga melibatkan penyandang disabilitas sebagai anggota Tim Siaga Rabies (Tisira). Dari 12 orang anggota Tisira, dua orang di antaranya adalah penyandang disabilitas. Mereka adalah Putu Suara dan Juliana.

 

Upaya menggandeng penyandang disabilitas dilakukan karena langkah serupa pernah dilakukan saat penanggulangan Covid-19 lalu. Langkah itu terbukti berhasil untuk memberikan informasi pada sesama penyandang disabilitas.

 

“Kalau ada vaksinasi atau tindakan lebih lanjut untuk penanganan HPR  liar, mereka juga masuk tim. Itu pun sudah seizin desa, dinas dan desa adat. Pergerakan mereka jauh lebih lincah dari kami. Makanya selalu kami libatkan,” ungkap Suarta.

 

Sementara itu Kepala Dinas Pertanian Buleleng, I Made Sumiarta mengungkapkan, bahwa Desa Bengkala merupakan desa yang sukses mengendalikan kasus rabies. Hingga kini tidak ada kasus rabies di desa itu. “Bahkan kasus gigitan juga tidak ada. Kalau ada, biasanya sudah selesai di desa itu. Karena mereka punya aturan adat,” ujar Sumiarta.

 

Ia pun mendorong seluruh desa di Buleleng untuk mengadopsi langkah yang dilakukan Desa Bengkala karena langkah itu terbukti efektif menanggulangi penyebaran rabies.

 

Disamping itu, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali juga membentuk Tisira di seluruh desa/kelurahan di Provinsi Bali. Sumiarta menyebut AIHSP gencar mendukung pembentukan, dan penguatan Tisira di Provinsi Bali, khususnya di Kabupaten Buleleng, Karangasem, dan Jembrana. . Sebelum Desa Bengkala, tiga desa percontohan Tisira yaitu Desa Mayong (Kab. Buleleng), Batu Agung (Kab. Jembrana) dan Menanga (Kab. Karangasem) menunjukkan efektivitas Tisira dalam mencegah Rabies, sehingga hal ini kemudian menjadi bahan pertimbangan dan rekomendasi Forum Komunikasi Risiko One Health Bali kepada pemerintah provinsi untuk mereplikasi dan membentuk Tisira di seluruh Bali.

 

Bali dapat dikatakan cukup berhasil mengadaptasi pembelajaran dalam menanggulangi pandemi COVID-19 ke dalam penanggulangan Rabies. Hal ini menunjukkan implementasi One Health yang efektif didukung erat oleh kerja sama pentahelix dan komunikasi risiko yang melibatkan masyarakat. Selain Bali, AIHSP turut mendukung penanganan Rabies di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Selatan.

 

“Kami harap tahun depan desa juga mengalokasikan anggaran untuk operasional Tisira ini karena mereka yang akan jadi ujung tombak pendataan populasi dan identifikasi kasus. Nanti jangka panjang juga mereka disiapkan melakukan vaksinasi dan tindak lanjut,” demikian Sumiarta. (RED-MB)