Denpasar (Metrobali.com)-

SP-3 (surat pernyataan penghentian penyidikan) kasus dugaan korupsi pembelian tanah di Desa Nyidah, Kec. Kediri, Tabanan, terhadap 2 tersangka, yakni  NS dan SDM, mendapat kecaman keras dari BCW (Bali Corruption Watch). Ketua BCW, Putu Wirata Dwikora mempertanyakan SP-3 itu, apalagi karena Kejati Bali menangani kasus tersebut setelah sebelumnya ditangani Polda Bali.

‘‘’Kalau akhirnya keluar SP-3, mengapa Kejati mengambil alih kasus itu dari Polda Bali? Apalagi sempat beredar berita, kasusnya diserahkan ke Kejari Tabanan, tapi berita kemarin, SP-3-nya dari Kejati Bali?” urai Putu Wirata, sembari menjelaskan, akan meminta KPK untuk mengusut keluarnya SP-3 ini sekaligus meminta kasusnya diambil alih.
Sebab, sebelum ditangani Polda dan Kejati, kasus dugaan korupsi di RSI Tabanan itu sudah dilaporkan ke KPK. KPK lah yang merekomendasikan Kejaksaan untuk menindaklanjutinya, dan sudah muncul dalam annual report KPK, jelas Putu Wirata. Karena Kejaksaan akhirnya mengeluarkan SP-3, tidak ada cara lain selain meminta KPK mengambil alih penanganan kasus itu, agar jangan ada kesan, kasus-kasus korupsi di Bali mudah sekali mendapat SP-3. Selain kasus RSI Kediri ini, korupsi B-art ISI Denpasar dengan tersangka Prof. Rai, rektor ISI, juga dinyatakan SP-3 oleh Kejaksaan, padahal beberapa pelaku lain sudah dinyatakan bersalah.
Putu Wirata mempertanyakan alasan SP-3. Seperti diuraikan kepada media, penyidik tidak menemukan penggelembungan harga, sekalipun tanah yang semula harganya Rp 9 miliar, dibeli oleh Pemkab Tabanan senilai Rp 14 miliar. Sebab, pembelian itu dilakukan melalui tangan kedua, yakni Nyoman Suci, bukan dibeli langsung dari tangan pertama, yakni pemilik tanah.
‘’Alasan itu mestinya dikejar lebih jauh. Kalau membeli dari Suci, mengapa sertifikatnya bukan atas nama Suci? Kalaupun alasannya belum disertifikatkan, bukankah mesti ditelusuri, dan patut diduga bahwa munculnya nama Suci merupakan modus untuk mengelak dari tuduhan korupsi?” imbuh Putu.
Dan kalau penyidik serius, pengakuan dan kesaksian Nyoman Suci harus didalami, karena hal itu mencurigakan. Untuk apa ia membeli tanah seluas 7 ha, dan kemudian dijual ke Pemda, apakah bukannya dia termasuk bagian dari skenario dalam pengadaan yang diduga di-mark up tersebut?” cetus Putu sembari meminta penyidik agar mendalami pengadaan tanah tersebut dengan peraturan perundangan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan pemerintah, misalnya Peraturan Presiden No. 36/2005 tentang ‘’Pengadaan Tanah untuk Pelaksanaan Pembangunan Bagi Kepentingan Umum’’.
‘’Kalau serius mendalaminya, pasti akan terungkap, alasan-alasan kaitan Suci dalam pengadaan 7 ha tanah yang akhirnya dijual lebih mahal ke Pemkab Tabanan,’’ lanjut Putu dalam menentukan harga tanah perlu dicari pembanding, agar harga yang dibebankan ke keuangan negara benar-benar harga yang wajar. ‘’Peraturan perundangannya jelas ada, kalau penyidik memang berniat mengusut. Aneh juga, setelah mengambil alih dari Polda, Kejati kok ngasih SP-3. Kalau Cuma begitu, kan ga usah ambila lih dari Polda?’’ kata Putu Wirata. SUT-MB